Mau Kemana 212 Setelah Diakuisisi Oleh Prabowo?

Nusantarakini.com, Jakarta –

Pembaca harus membuang persepsi negatif terlebih dahulu terhadap motif tulisan ini. Ini bukan untuk urusan politik elektabilitas. Dan ini bukan untuk menguntungkan siapa pun. Tulisan ini lahir dari rasa perih melihat umat Islam Indonesia yang kehilangan arah dan daya tawarnya. Padahal kesempatan dan kekuatan sudah ada di tangan.

Tadinya bersemi menjadi suatu kekuatan yang menjanjikan sebagai determinator, tapi belakangan menyimpang menjadi sekedar penunjang atau bumper bagi kekuatan Prabowo. Tadinya bukan Prabowo apalagi Jokowi. Sekarang sepenuhnya di bawah rantai komando Prabowo. Lho kok bisa beralih komando. Di situ yang saya sayangkan. Jutaan orang yang bagus-bagus dan cerdas-cerdas, dialihkan konsesinya kepada Prabowo.

Kalau partai-partai pendukung Prabowo beralih komando ke tangan Prabowo, masih dapat dimaklumi. Tapi ini suatu unsur yang tercipta oleh sejarah yang unik dan menurut saya menjanjikan untuk masa depan umat, dengan mudah dan cepatnya beralih kendali ke dalam rantai komando Prabowo. Dan itu pun tampaknya masih di bawah derajat Gerindra sebagai sokoguru utama pilar politik Prabowo.

Sehingga akibatnya, peluang mentransformasikan 212 sebagai unsur alternatif bagi struktur sosial politik dan budaya Indonesia di masa depan kehilangan kesempatannya. Sebab sudah merosot menjadi subsistem penopang pilar politik Prabowo.

Menarik 212 kembali kepada orbitnya yang independen jelas sudah sulit dan hanya akan mengesankan sebagai kekuatan yang ovonturir di tengah kompetisi politik antar kekuatan politik yang ada. Padahal jelas basis moral 212 berbeda dengan Partai Politik yang hanya sekedar mengejar konsesi kekuasaan dan ekonomi. Adapun 212 diproyeksikan sebagai kontra partai yang sejak awal mutu dan sifat partai sangat memuakkan bagi khalayak. Namun sekarang akhirnya tak lebih daripada sub dari partai. Jadi lebih merosot lagi derajatnya dari pada partai-partai konsorsium penopang Prabowo.

Saya hanya menyayangkan peluang yang diabaikan oleh 212 untuk memantapkan kedudukannya sebagai kekuatan perubahan yang berada di luar partai dan bisa ditempuh tanpa harus babak belur dalam pemenangan kontestan pilpres tertentu.

Memang, kenyataan ini merupakan hal yang tak terelakkan bagi massa yang tidak matang seperti 212. Kepemimpinan di dalam 212 itu pun sangat tidak teratur dan bekerja secara spontan saja. Pengaturannya dilaksanakan oleh kelompok alumni 212 yang sebenarnya tidak diketahui secara jelas profil dan orientasinya.

Mengupayakan agar 212 kembali ke kedudukannya semula sebagai unsur independen dan menjanjikan harapan suatu corak budaya baru di masa depan, masih bisa manakala para pengambil keputusan di dalamnya itu menyadari pentingnya orientasi semacam itu ketimbang peluang jangka pendek dari rezeki sirkulasi kekuasaan. Itupun jika Prabowo menang. Bagaimana kalau Prabowo kalah, 212 harus menanggung nasib sebagai massa oposisi yang terkait dengan Prabowo.

 

 

~ Ibnu Ulya