Budaya

Apa Yang Terjadi Padamu, Itulah Yang Terbaik Bagimu

Nusantarakini.com, Jakarta –

Suatu ketika seorang lelaki paruh baya merenung akan kehidupan yang dialaminya. Terutama tentang kehidupan perkawinannya. Dia menikah dengan seorang perempuan yang berasal dari bangsa yang berbeda, dari negeri yang jauh, tentu dengan adat istiadat yang asing bagi orang tuanya yang berasal dari Batak.

Perempuan asing yang menjadi istrinya itu, bagaimanapun merupakan pilihan sadarnya sendiri. Berasal dari negeri Australia. Ia berjumpa dengan istrinya saat menempuh S2 di Melbourne.

Suatu ketika, saat dia masih berpacaran dengan istrinya, ibunya sempat berkenalan dengan perempuan Australia itu ketika sedang berada di Jakarta untuk pekerjaan riset. Sebagai seorang wanita Batak yang memegang teguh nilai-nilai kekeluargaan Batak, ibunya mendapatkan kesan, bahwa pacar Australia anaknya tidak seperti yang diharapkannya. Ibunya menginginkan seorang pendamping hidup bagi anaknya, yang keibuan, tahu adat sebagai istri, pintar mengambil hati mertua, dan segala hal citra baik perempuan dilihat dari visi orang Batak.

Pendeknya, ibunya kurang sreglah dengan perempuan Australia itu. Ibunya hawatir bilamana perempuan asing itu kelak jadi istri bagi anaknya, anaknya akan menjadi asing dan akan menimbulkan suasana yang tidak memuaskan dari sudut pandang budaya Batak. Tentu saja kehawatiran ibunya itu dapat dimaklumi. Dan memang itulah yang terjadi kemudian. Setidaknya bagi ibunya sampai ibunya wafat.

Waktu berlalu. Anak-anaknya pun lahir dari perempuan Australia itu. Merekapun tinggal di Yogyakarta. Sedang Ibunya dan keluarga besarnya tinggal di pelosok Tapanuli Utara. Hanya sekali waktu saja dia dan istrinya menyempatkan diri mengunjungi ibunya.

Jika berkunjung, suasana tidak seperti yang diharapkan seorang mertua kepada menantu. Parmaennya – sebutan fungsional bagi menantu perempuan – tentu saja tidak dapat berlaku layaknya parmaen orang Batak yang harus menjunjung tinggi kedudukan mertua. Pendeknya, bagi ibunya, hambarlah hubungan menantu – mertua antar mereka. Wajar saja, beda budaya.

Yang satu, ibunya seorang Batak yang tebal adatnya, sementara istrinya, seorang Barat yang bagi ukuran orang Batak, tidak mengenakkan untuk dijadikan cara beradat dalam hubungan mertua – menantu.

Kadang, pertengkaran terjadi antara dirinya sebagai suami dengan istrinya. Kendati dia seorang yang memahami budaya Barat, tapi karena latar dirinya seorang Batak yang patriarkal, mengutamakan laki-laki di atas perempuan, yang mengenal baik cara adat Batak menempatkan suami, sekali waktu dia merenung, betapa hambarnya beristri dengan visi dan cara budaya yang berbeda. Dia sebenarnya menginginkan istri yang penurut, berada sepenuhnya dalam kontrol dan naungan seorang suami. Tapi apa mau dikata, dia tidak mungkin mendidik ulang istrinya agar bersikap dan berlaku layaknya istri dari adat budaya Batak. Istrinya, hasil asli didikan Barat yang liberal dalam relasi gender. Bahkan kepada dirinya pun, istrinya memperlakukan dirinya laiknya seorang mitra yang sejajar mutlak. Kedudukannya sebagai suami, hanya sebagai fungsi pasangan saja. Tak lebih. Apalagi masing-masing mereka juga mandiri secara sumber keuangan. Tidak ada konsep suami seperti halnya dalam visi tradisi budaya Batak.

Merasakan kenyataan tersebut, sedikit banyak ada rasa tidak puas sekali waktu. Apalagi jika ia perbandingkan dengan mereka yang beristri perempuan penurut dan tahu adat. Ibunya menyesali mengapa anaknya harus memilih perempuan Barat ketimbang boru tulangnya (anak perempuan adik ibunya) sendiri.

Waktu berlalu. Ibunya hanya dapat menyesalinya dalam hatinya. Dia memendamnya demikian ketat. Satu kali pun tak dia tampakkan perasaannya kepada anaknya itu. Hanya kepada suaminyalah ia sanggupmencurahkan pikirannya.

Suatu ketika saat terjadi pertengkaran antara dirinya dengan istrinya, ia pergi menenangkan diri ke sebuah tempat menyepi. Ia renungkan perjalanan hidupnya. Ia ingat seluruh keinginan ibunya kepada dirinya. Ia ingat ketika ia diusahakan dengan boru tulangnya. “Sekiranya memang boru tulang itu yang jadi istriku, tentu pertengkaran seperti ini tak akan terjadi,” renungnya. Pertengkaran mereka terjadi saat dirinya meminta istrinya untuk turut pulang ke kampungnya untuk menghadiri kenduri keluarga di kampung. Pada saat yang sama, istrinya sedang bekerja untuk perhelatan suatu seminar riset yang diorganisasikan oleh lembaganya. Rupanya istrinya lebih memilih pekerjaannya ketimbang permintaan suaminya. Dia pun makin lama makin merasakan betapa tidak nyamannya mempunyai istri yang tidak penurut dan beda adat.

Tapi memikirkan nasib anak-anaknya, yang cantik-cantik, dua putri kecil yang berambut pirang seperti Ibunya itu, dia tak kuasa menghancurkan masa depan mereka. Biarlah dirinya yang harus menderita ketimbang anak-anaknya yang manis-manis itu. Demikian tekadnya.

Tak diduga-duga, kabar duka datang dari kampungnya. Ibunya meninggal. Ia panik jumpalitan bersiap pulang. Penerbangan malam menuju Medan diambilnya. Istri dan anak-anaknya tak dibawanya. Dia tak berminat, karena baru saja mereka bertengkar. Tak kuat dia memantas-mantaskan diri sebagai pasangan akur di hadapan ibunya yang telah pergi. Dia lebih bebas dengan terbang sendiri dan pulang ke kampung halamannya untuk melihat ibunya yang telah pulang ke haribaan-Nya. Lagi pula, dia sekalian ingin menenangkan diri dan merenung atas perjalanan hidup yang ditempuhnya selama ini.

Sepekan lebih dia berada di rumah, tempat dirinya tumbuh pada waktu kecil, segala kenangan lama muncul silih berganti di alam khayalinya. Pada saat yang sama, ia mulai merasakan atmosfer adat lama tak dirasakannya sejak lama. Ibu-ibu yang membumbui percakapan dan menggunjing aib orang setiap kali antar mereka berkumpul. Sanak famili yang memperlakukannya bagaikan barang antik yang menimbulkan penasaran sehingga ingin melihatnya. Ada saja orang yang hanya ingin bertemu dirinya. Tapi dirasakannya bukan untuk suatu silaturrahmi, tapi lebih pada ingin melihat dirinya laiknya barang langka. Dia juga melihat sifat orang kampungnya yang saling membanggakan harta dan capaian anak-anaknya. Setiap orang begitu sibuk dengan pikiran untuk saling mengintip capaian dan kemerosotan masing-masing. Itulah yang paling menyesakkan dirinya ketika berlama-lama di kampung halamannya.

Tiba-tiba dia merasakan betapa bernilainya hidup dengan cara di Barat yang sudah lama dilakoninya. Tahu adat sampai dimana batas-batas ikut campur dengan urusan orang. Tahu mana batas wilayah privat, mana wilayah publik. Di kampungnya, hampir semua jadi wilayah bersama secara sosial. Ada orang masuk angin pun, seolah dia pula yang masuk angin. Ada orang yang beli mobil, dia pula yang sakit hati. Itulah yang dirasakannya yang negatif dari cara hidup di kampungnya. Suatu cara hidup yang lama ditinggalkannya dan hampir sudah lupa bahwa cara hidup semacam itu masih eksis. Dia sudah lama menyatu dengan cara hidup dan budaya urban yang hidup serba perseorangan dan memandang baik bahwa urusan masing-masing merupakan urusan masing-masing. Selama masih dapat ditanggung masing-masing, maka pantang orang untuk ikut campur pada urusan masing-masing.

Perlahan-lahan, meresap dalam hatinya kerinduan berjumpa dengan putri-putrinya, dan istrinya. Bagaimanapun, itulah hadiah terbaik yang diberikan Tuhan pada dirinya. Dia mensyukuri anugerah itu, walaupun ibunya tidak cocok dengan istrinya dari Barat itu.

Rupanya selama sepekan di kampung halaman, memberinya satu pengertian bahwa apa yang sudah ada dan berada di tangan, sebenarnya itulah yang terbaik bagi seseorang. Yang disangka baik belum tentu baik bagi diri. Pengertian itu baru dapat dipahami manakala dirasakan sendiri perbandingan antara yang diharap-harap dengan apa yang sudah terjadi.

 

 

~ Sungai Embun
Sappilpil, 25/11/2018

Terpopuler

To Top