Lion Air, Mafia Kekuasaan, Pasar Massa Indonesia dan Pentingnya Revolusi Massa

Nusantarakini.com, Jakarta –

Rusdi Kirana bermetamorfosis dari tukang tiket pesawat menjadi Bos penerbangan yang paling cepat pertumbuhannya dan paling besar armadanya di Asia Tenggara. Untuk skala Indonesia, nomor satu. Garuda Kalah.

Pada 2031, Lion Air direncanakan memiliki armada sebanyak 1000 pesawat. Punya anak usaha seperti Wings Air, Batik Air, Malindo Air, hingga Lion Parcel. Membukukan sejarah pembelian pesawat kepada Boeing dan Airbus, dua produsen pesawat terbesar di dunia. Lion Air juga yang pertama mengoperasikan Boeing 737 Max 8 dan 10.

Menurut penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia, pesawat jenis ini memang masih sangat muda memasuki dunia penerbangan global, tepatnya baru berusia 2 tahun sejak diproduksi oleh pabrikan Amerika Serikat (AS) Boeing Commercial Airplanes pada 2016.

Boeing sendiri baru memulai program desain dan perakitan pesawat tersebut di AS pada 30 Agustus 2011. Uji coba dimulai pada 29 Januari 2016. Tiga bulan kemudian, sertifikasi dari regulator AS dikantongi pada 3 Maret 2017.

Berjenis 737 Max 8, pesawat dengan berbadan ramping ini merupakan armada generasi keempat yang menawarkan efisiensi, daya jelajah lebih tinggi, dan kenyamanan dalam bilik kabin.

Pesawat ini merupakan produk terlaris dalam sejarah Boeing dengan pesanan 4.783 unit pesawat (per September 2018) dari seluruh dunia, dalam kurun waktu kurang dari 2 tahun.

Menurut situs Boeing, seperti dikutip Senin (29/10/2018) per unit pesawat canggih tersebut saat itu dibanderol seharga US$117,1 juta atau Rp1,8 triliun per unit! Menurut lembaga penilai pesawat Aircraft Value, nilai Boeing 737 Max 8 berada di angka US$54,5 juta atau Rp 830 miliar di pasar sekunder pertengahan September ini. (Asumsi kurs US$ 1 = Rp 15.200)

Seperti diketahui, baru-baru ini tepatnya pada April 2018, Lion Air telah merealisasikan pembelian 50 unit pesawat Boeing 737 Max 10 senilai US$ 6,24 miliar atau setara Rp 84,24 triliun.

Sebelumya, Boeing juga menjadi konsumen dari 71 unit pesawat Boeing 737-900 Extended Range dan 32 unit Boeing 737-800 Next Generation, serta 2 unit pesawat jumbo Boeing 747-400.

Boeing mengatakan anak usaha pembiayaannya, Boeing Capital Corp, mengakuisisi 75 pesawat 737 untuk seorang pembeli yang tidak dibeberkan identitasnya. Hal ini mengindikasikan Boeing telah membantu mengatur pembiayaan untuk meraih kesepakatan itu.

Lion Air Group, yang memiliki armada 299 pesawat, beroperasi dari basis di Indonesia, Thailand, dan Malaysia dengan lima merek dan melayani ke lebih dari 200 tujuan di lebih dari 20 negara, yang sebagian besar masuk dalam wilayah Belt-and-Road, tambahnya.

“Total armada kami 350-an sekarang,” kata Presiden Direktur Lion Air Edward Sirait kepada detikFinance, Selasa (30/10/2018).

Rusdi mengatakan asumsi tersebut terbukti dengan bertambahnya jumlah penumpang pesawat terbang di Indonesia dari angka kurang dari lima juta pada tahun 2000 menjadi total saat ini 36 juta orang per tahun.

Pembelian 230 pesawat Boeing 737 senilai Rp195,2 triliun ini merupakan yang terbesar dalam sejarah Boeing.

“Beberapa hari terakhir, saya berbicara tentang bagaimana memastikan kehadiran kami di wilayah ini, yang dapat langsung berkaitan dengan lapangan pekerjaan di negara kami,” kata Obama pada 2011.

Perjanjian ini menurut Obama akan melahirkan banyak kesempatan kerja baru bagi warga AS.

“Dan apa yang kita lihat di sini, kesepakatan bernilai miliaran dolar antara Lion Air, salah satu maskapai penerbangan dengan pertumbuhan tercepat tidak hanya di wilayah ini, namun di dunia, dan Boeing, akan menciptakan lebih dari 100.000 lapangan kerja di Amerika Serikat untuk jangka waktu panjang.”

Sementara itu Prancis mengumumkan bahwa maskapai penerbangan berbiaya murah Indonesia, Lion Air, memecahkan rekor dengan memesan 234 pesawat jet penumpang dari Airbus.

Kantor kepresidenan Prancis mengatakan pada Senin (18/03) bahwa perjanjian dengan Lion Air, yang bernilai US$23,8 miliar, adalah yang terbesar dalam sejarah Airbus.

Berdasarkan kesepakatan ini Airbus akan memasok jet A320 dan A321 yang banyak dimanfaatkan di jalur-jalur menengah.

Singkatnya, Lion Air menopang perekonomian dua negara kuat di dunia, Amerika Serikat dan Prancis. Bisa dibayangkan betapa kuatnya pengaruh dan kedudukan Rusdi Kirana saat ini secara internasional. Melebihi kekuatan konglomerat lainnya yang berasal dari Indonesia.

Lion Air berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir seiring dengan makin besarnya pasar penerbangan di Indonesia, negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia.

Maskapai ini didirikan pada 1999 dengan modal satu pesawat. Ada kabar, Rusdi Kirana diorbitkan oleh almarhum Gus Dur dan didukung dengan proteksi secara luas oleh SBY. Bukan rahasia umum, bisnis yang tidak diproteksi dan disokong oleh penguasa suatu bangsa, tidak akan maju dan berkembang pesat.

Dalam kasus Lion Air, Rusdi Kirana, kini malahan menjadi Wakil Ketua Umum PKB, sempat ikut dalam konvensi Partai Demokrat dan sekarang oleh Jokowi diangkat sebagai Dubes Malaysia.

Potret Rusdi Kirana merupakan potret triliuner dari Indonesia pasca reformasi. Sejajar dengannya ada Hari Tanoesoedibjo yang juga memiliki pola dan karakter yang sama. Keduanya aktif secara politik, karena menyadari hanya dengan kekuasaan secara langsunglah bisnis akan terlindungi dan berkembang massif. Sekaligus mengurangi ketergantungan kepada sistem kekuasaan nasional Indonesia yang korup dan mengisap.

Ketika pesawat Lion Air jatuh di perairan Karawang beberapa hari yang lalu dan membunuh ratusan penumpang, sorotan tertuju kepada Lion Air, Rusdi Kirana, dan bagaimana bisnisnya dikembangkan sedemikian menakjubkan. Bagaimana mungkin sampai belanja pesawat bagaikan belanja kerupuk. Bagaimana uang ratusan triliun itu dapat dikucurkan oleh Rusdi Kirana, dan bagaimana dua pabrikan semacam Boeing dan Airbus dapat dengan percaya memproduksi pesawat buat pesanan Rusdi Kirana? Siapa sebenarnya Rusdi Kirana, siapa di balik kedigdayaan bisnisnya? Orang semua ingin tahu.

Sekali waktu Rusdi Kirana menyatakan bahwa yang dia jual ialah prospek pasar Indonesia yang tumbuh cepat dan menjanjikan. Pada tahun 2000, pasar penumpang penerbangan Indonesia hanya 5 juta kursi per tahun. Sekarang sudah melebihi 36 juta per tahun. Jika Lion Air group menguasai pangsa pasar 60%, bisa dibayangkan tambang duit Lion Air dari sektor penumpang saja begitu besarnya. Belum jasa-jasa lain, seperti perawatan pesawat, iklan, katering, kargo, data, sewa pesawat ke armada seperti Sriwijaya Air, dan lini bisnis lain, seperti kredit modal kepada massa NU, dst.

Lion Air adalah wajah hantu ekonomi politik Indonesia. Penuh kepalsuan dan kengerian di sana-sini.

Saat Si Asep bergulat dengan uang 50.000 perak per hari untuk sekedar bisa bertahan hidup, ada fenomena Rusdi Kirana yang belanja 1000 pesawat hingga 2031, per pesawatnya Rp 1 triliun. Jangan bayangkan kemana-mana dia naik apa lagi. Duitnya numpukin dimana. Menu makannya kayak apa. Hobby-nya apa. Ambisi hidupnya apa. Di tengah si Asep yang nggak pernah naik pesawat itu, ada fenomena Rusdi Kirana. Ini bukan timpang. Ini tompleng karena bodoh dan konyolnya massa Indonesia yang dieksploitasi oleh elite bedebah yang pintar menyaru dan membodohi massa.

Keharusan Revolusi Massa

Massa Indonesia memang dicekik oleh elite tapi tidak merasa bahwa mereka dicekik. Mereka memandang pencekikan dan pemerasan yang mereka tanggungkan itu sebagai takdir yang harus secara rela mereka terima.

Massa Indonesia bila ingin hidup wajar dan terhormat mereka harus menendang elite yang memperkuasa hidup mereka. Mulai dari elit tradisi, agama dan masyarakat mereka yang hari ini semuanya hampir tak ada yang dapat dipercaya. Apalagi elite itu pengelola partai politik, caleg hingga capres, elite semacam itu pasti pemerkuasa massa saja untuk memanen suara. Tak lebih. Tak kurang.

Sekarang coba cek. Adakah suara PKB, NU, Jokowi, SBY, Jusuf Kalla, organisasi-organisasi yang telah menikmati pesawat Lion Air pada kongres-kongres mereka yang bersuara supaya Rusdi Kirana harus bertanggung jawab atas terbunuhnya ratusan penumpang? Mana mungkin berani. Karena sudah hutang jasa. Inilah wajah kotor moral Indonesia. Ini semua disebabkan oleh moral Nurut Uang (NU) atau follow the money, bukan Nurut Iman dan Islam (Nii) atau follow the iman and the Islam.

Massa harus belajar bagaimana mempergunakan senjata revolusi. Revolusi yang menggunting ikatan mereka dengan elite korup dan rusak. Massa belajar berani merampas kembali hak dan kekuasaan mereka yang dirampok oleh elite. Dimulai dari menanamkan kesadaran politik yang baru dan bebas dari elite yang bungkam dengan kasus Lion Air ini.

Kasus Lion Air ini telah berjasa membuka topeng elite yang tak tahu malu dan dungu. Karena sebenarnya elite itu hanyalah klik mafia yang memanen keuntungan bisnis dan politik dari massa Indonesia. Cuma ada yang paket sarung, jas, songkok, dasi, peci haji, surban, salib, tasbih, selop, hingga high heels. Ada yang berperan sebagai pembuat dan pengatur undang-undang dan peraturan, ada yang pura-pura menjalankan undang-undang dan aturan, dan ada yang menyiasati undang-undang dan aturan. Sejatinya mereka sama. Sama-sama kawanan pemburu uang dan penumpuk kekayaan.

 

 

~ John Mortir