Korupsi Massa, Bisnis Legitimasi dan Akumulasi Kapital

Nusantarakini.com, Jakarta –

Sulit saya menulis analisa ini dengan hati yang tenang. Karena tekanan rasa geram dan tidak terima. Akibatnya saya menulis dengan suasana hati pedih, dongkol dan gemuruh.

Betapa tidak, praktik ini telah lama eksis dan hampir tak ada sikap dan aksi untuk koreksi.

Yang saya maksud di sini ialah bagaimana elite mengkavling massa lalu mengkomodifikasikannya ke berbagai pihak “pembeli”, baik untuk tenaga, sumber pasar hingga legitimasi dan pencitraan.

Dalam tensi tertentu, massa kerap dimobilisasi untuk tekanan, teror hingga centeng psikologis bagi “pelanggan maupun pembeli” baru. Transaksi komodifikasi massa ini kerap berakhir dengan penerimaan jabatan, konsesi bisnis, dan tak jarang berupa sekardus dollar. Tetapi yang sering ialah imbalan fasilitas, berupa bangunan dan program yang mendatangkan uang.

Korupsi massa ini sepertinya belum ada nomenklatur hukumnya. Mau dibawa ke ranah pidana korupsi juga tidak bisa. Tapi semua tahu ini adalah korupsi juga. Karena menjual leher massa kepada “pembeli dan pelanggan”.

Negara ini memang diisi sejak lama oleh organisasi massa. Pengelola ormas ini sulit untuk tidak mengkomodifikasikan massanya guna memenuhi kebutuhan ormas itu sendiri. Namun kadang gejalanya keterlaluan.

Suatu waktu di zaman Orba, pengelola massa membawa figur kontroversial keliling ke basis. Tentu tidak gratis. Sebab itu suatu transaksi goodwil dan legitimasi. Mahal sekali harganya.

Demikianlah sehingga menjadi kelakuan yang tak pernah dikoreksi lagi. Maka setiap ada momen pasar legitimasi dan suara, seperti momen pilpres dan pileg, modus komodifikasi legitimasi dan suara ini akan meningkat dengan drastis. Malahan terlihat gila dan hilang “kemaluan” seperti yang sudah terlihat beberapa waktu lalu. Sebab dengan modal klaim saja dan sedikit keringat masuk ke kantong-kantong massa, uang akan mengalir dengan deras ke kantong-kantong pengelola massa.

Massa sendiri sudah cukup puas diletakkan dan dijadikan panggung dan penonton buta dan naif atas adegan transaksi legitimasi terselubung antara pengelola massa dan pemburu legitimasi dan citra tersebut.

Adapun menyadarkan massa yang karakternya patron-klien, tidaklah mudah dan singkat. Sejak lama sifat pendidikan kultur mereka telah merawat kultur patron-klien tersebut sehingga memberi keleluasaan bagi pengelola massa untuk mengkomodifikasikan mereka, massa itu, untuk menjual dan mengeksploitasi mereka dengan mudah dan murah. Hanya dengan kesadaran Nurut Iman dan Islam saja yang dapat sedikit mencegah ancaman komodifikasi itu. Tapi kalau lebih kuat kesadaran Nurut Uang, maka habislah massa tersebut jadi komoditas bagi pengelolanya.

Jika pembaca mempelajari rahasia akumulasi kapital semacam perusahaan rokok yang berkembang meraksasa di Kediri dan Surabaya yang kini menjadi dua produsen rokok terbesar dan terkaya di Indonesia, semuanya melibatkan aspek legitimasi dan daya beli massa. Sekarang bila Anda pun mempelajari modus bisnis Lion Air, akan terlihat bagaimana legitimasi dan tenaga massa digunakan.

Inilah yang unik dari Indonesia dimana aspek massa dan legitimasi politik dan keagamaan menyumbang bagi akumulasi kapital. Apakah kompensasi yang diberikan oleh akumulasi kapital tersebut, biasanya berupa akses pendanaan, fasilitas dan servis-servis personal bagi patron-patron massa tersebut. Pendeknya ini adalah simbiosis yang unik dan ganjil, yang hanya disadari oleh segelintir penguasa dan pengelola massa yang polos itu.

 

 

~ John Mortir