Opini

Kejahatan Korporasi: Mengungkap Sengkarut Korupsi Meikarta

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Cukup mencengangkan tentu, terkuaknya skandal korupsi perizinan pada mega-proyek meikarta beberapa hari yang lalu melalui operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap para pejabat pemkab Bekasi dan beberapa pihak swasta, yang pada akhirnya juga menjerat Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin dan Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro.

KRONOLOGIS
Proyek mega prestigious garapan salah satu perusahaan pengembang properti ternama tanah air, yang juga memiliki ekspansi bisnis ke berbagai bidang/sektor strategis lainnya ini, cukup mengejutkan ruang nalar publik sebab disaat progress pembangunan yang sudah berjalan, justru proses perizinan yang belum clear, bahkan masih dalam sengkarut suap-menyuap (korupsi).

Hal tersebut justru diperparah dengan support yang membabibuta dari pihak elite pemerintah ‘katakanlah’, yang mana pada awalnya telah ikut (hadir) meresmikan proses tooping off proyek properti tersebut, bahkan mendalilkan serta meng’garansi’ perihal perizinan proyek pembangunan mercusuar tersebut yang sudah selesai, tanpa masalah (clear and clean). Sungguh sebuah ironi diluar logika.

Tentu, pada point ini dapatlah dilihat bahwa tendensi pengaruh kekuasaan (intervensi) serta persengkokolan jahat yang cukup sistemik (perilaku koruptif) antara pihak pengusaha (swasta) dan pemerintah (dalam arti eksekutif) cukuplah besar potensi-nya.

Oleh karenanya, catatan di awal KPK yang sudah masuk ke dalam pusaran korupsi perizinan proyek prestigious meikarta tidak boleh berhenti pada titik ini saja, melainkan harus mengusut (secara mendalam) aktor lain (intelektual dader) yang terlibat, bahkan untuk secara lebih jauh menetapkan peristiwa ini sebagai kejahatan yang dilakukan oleh korporasi (corporate crime), atau dalam hal ini pihak perusahaan Lippo Group.

Pasca tabir sengkarut meikarta terbuka, melalui OTT yang dilakukan KPK, berbagai attensi dan animo masyarkat hadir cukup kuat mengemuka, salah satunya saya sendiri yang bersama dengan para teman-teman intelektual, aktivis pergerakan (pejuang) anti korupsi, akademisi dan berbagai tokoh – tokoh lintas organisasi masyarakat yang tergabung dalam Presidium Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) mendatangi KPK secara langsung pada Jumat (19/08/2018) untuk beraudinesi sekaligus memberikan dukungan agar KPK dapat konsisten, serta berani menetapkan para elite (intelektual dader) yang ada di balik perilaku koruptif yang terjadi, KPK sangat diharapkan tidak hanya berhenti pada oknum-oknum lapangan (tekhnis) saja, yang sudah barang tentu tidak berdiri sendiri.

Melalui tulisan singkat ini, juga akan coba difokuskan terhadap salah satu isu krusial, yang sebenarnya juga menjadi dorongan utama terhadap KPK, yakni agar skandal korporasi, yang dalam hal ini dilakukan oleh group perusahaan Lippo melalui anak perusahaan PT. Mahkota Sentosa Utama (MSU), tidak berhenti dalam perspektif pertanggungjawaban secara individual saja, namun juga dapat dibuka dalam perspektif yang lebih luas, yakni menuntut pertanggungjawaban korporasi (corporate crime).

KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM TIPIKOR
Berbicara mengenai korporasi sebagai subjek hukum tentu tidak dapat dilepaskan dari sudut pandang hukum perdata, karena pada awalnya hukum perdata yang banyak berhubungan dengan masalah korporasi sebagai subjek hukum.

Dalam hukum perdata, perkataan orang berarti pembawa hak atau subjek hukum (subjectum juris). Akan tetapi, orang atau manusia bukanlah satu-satunya subjek hukum (natuurlijke persoon), karena masih ada subjek hukum lain yang menurut hukum dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti seorang manusia, mempunyai kekayaan sendiri dan dengan perantaraan pengurusnya dapat digugat dan menggugat di muka pengadilan. Subjek hukum dimaksud, yaitu badan hukum (rechtspersoon). (Subekti, 1984)

Dalam perkembangannya, korporasi memang telah dikenal sebagai subjek hukum dalam ruang lingkup hukum pidana, yang memang telah diaplikasikan dalam hukum positif pada beberapa undang-undang yang ada. Begitupun dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), yang mana telah secara jelas di dalam Pasal 1 butir (3) menyatakan bahwa yang dimaksud setiap orang, ialah tidak hanya orang – perseorangan (individu), namun juga badan hukum (korporasi). Artinya, jelas bahwa korporasi, atau dalam hal ini group perusahaan Lippo, juga termasuk sebagai subjek hukum dalam domain hukum pidana.

UU Tipikor jelas menyatakan bahwa korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang teroganisasi, baik itu merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Selanjutnya, juga telah jelas secara tersirat dikemukakan di dalam Pasal 20 UU Tipikor bahwa jika korupsi dilakukan oleh atau atas nama korporasi, tuntutan atau penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

PROBLEMATIKA HUKUM ACARA
Dalam perjalanan-nya, salah satu problematika yang sering dijadikan alasan oleh aparatur penegak hukum dalam menjadikan korporasi sebagai tersangka tindak pidana (korupsi) ialah dikarenakan belum adanya hukum acara tersendiri yang mengatur, sebab jikalau disandingkan pada KUHAP sejatinya belum mengatur secara khusus penyidikan dan penuntutan atas korporasi yang tersangkut kasus korupsi.

Namun, saat ini dengan lahirnya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi, dapat menjawab kekosongan hukum acara pidana korporasi sebagaimana dimaksud. Sebab, PERMA ini telah hadir dengan memberikan standarisasi pengaturan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, dimana dalam PERMA ini telah menetapkan syarat (prasyarat) sebuah korporasi dapat dijerat dengan tindak pidana, yakni korporasi yang mendapatkan keuntungan dari sebuah tindak pidana, membiarkan terjadinya tindak pidana, dan/atau tidak mencegah terjadinya tindak pidana.

PERMA sebagaimana dimaksud juga mengatur tata cara memanggil dan memeriksa korporasi sebagai saksi kasus pidana dan siapa (saja) yang mewakilinya. Aturan ini juga mengatur cara menagih denda jika korporasi dinyatakan terbukti bersalah, dan juga mengatur prosedur untuk mencegah pihak korporasi menghindar dari proses hukum, sehingga aturan ini memungkinkan bagi penegak hukum untuk menyita korporasi sejak awal penyidikan dan melelang aset sebelum putusan hakim dijatuhkan.

KONSTRUKSI KEJAHATAN KORPORASI
Menurut Mardjono Reksodiputro (1997), terdapat 2 (hal) yang harus diperhatikan dalam menentukan tindak pidana korporasi, yaitu pertama tentang perbuatan pengurus korporasi yang harus dikonstruksikan sebagai perbuatan korporasi, hal ini dapat dilihat dengan ‘asas identifikasi’, lalu kemudian yang kedua ialah tentang kesalahan pada korporasi.

Dalam kasus suap menyuap terhadap perizinan proyek pembangunan meikarta, secara kasat mata tentu dapat dilihat mata rantai antara proses suap-menyuap yang dilakukan oleh pihak (swasta) perusahaan yang dapat diidentifikasi sebagai kebijakan (policy) perusahaan guna memperoleh perizinan atas proyek yang akan dilaksanakan.

Dapat dilihat secara kontekstual bahwa Billy Sindoro, Direktur Operasional Lippo Group dan rekan-rekannya diduga memberikan suap sebesar Rp. 7 miliar dari total commitment fee sebesar Rp. 13 miliar untuk pengurusan perizinan, yang antara lain rekomendasi penanggulangan kebakaran, AMDAL, banjir, limbah, dan lain sebagainya.

Dalam kronologis dan konstruksi pemberian suap yang dilakukan oleh pihak perusahaan Lippo Group (Billy dkk), jikalau dilihat dari azas identifikasi atau directing mind theory, maka perbuatan/perilaku koruptif tersebut dapat dilihat sebagai perbuatan korporasi sehingga dapat dibebankan kepada perusahaan/korporasi.

Suatu korporasi pada hakikatnya merupakan sebuah abstraksi, yang tidak memiliki akal pikiran sendiri, kehendaknya harus dicari atau ditemukan dalam diri seorang yang untuk tujuan tertentu dapat dilihat sebagai agen/perantara, yang benar-benar merupakan kehendak untuk mengarahkan (directing mind and will) atas nama korporasi.

Pada point ini tentu, terkait dengan kronologis perilaku koruptif yang dilakukan oleh Billy dkk, dapatlah dipandang sebagai bentuk perbuatan yang tidak akan berdiri sendiri, dalam arti pasti akan ada peran besar pengurus korporasi lainnya, yang memegang kendali (directing mind) atas nama korporasi.

Tentu, dalam sengkarut korupsi perizinan proyek meikarta tidak menutup kemungkinan keterlibatan pihak elite korporasi yang ada pada level jajaran direksi/komisaris atau bahkan sekelas CEO (chief executive officer) pada induk group korporasi tersebut. Dapat disadari bahwa dalam menentukan dan/atau mengambil keputusan besar dalam kebijakan korporasi, atau dalam hal ini memberikan ‘suap’ dalam hal perizinan proyek meikarta sebagaimana dimaksud, tidak mungkin hanya melibatkan para pengurus perusahaan pada tataran tekhnis, sudah barang tentu pengurus perusahaan dalam skala elite baik itu jajaran direksi, komisaris ataupun pemegang saham juga ikut andil atau paling tidak mengetahui keputusan tersebut. Maka, sudah cukup tepat proses pengembangan perkara yang dilakukan KPK, dengan melakukan penggeledahan di kediaman CEO Lippo Group, James Riady pada beberapa waktu yang lalu.

Dalam kasus korupsi perizinan proyek meikarta, pihak elite korporasi sebagaimana dimaksud tentu tidak hanya terbatas pada PT. Mahkota Sentosa Utama (MSU) semata, yang berposisi sebagai korporasi pengelola (pilot project) dan penggarap proyek meikarta, sebab secara liniear PT. Mahkota Sentosa Utama (MSU) merupakan anak usaha dari Lippo Group, yang secara kauistis tidak dapat dilepaskan/dipisahkan dari induk korporasi Lippo Group, utamanya dalam konteks pertanggung-jawaban pidana atas perkara korupsi yang menjeratnya.

Senyatanya secara konstruktif telah dapat dilihat bentuk pertanggung-jawaban korporasi atas perilaku koruptif pengurusnya, yang bertindak atas nama korporasi, atau dalam hal ini dilakukan oleh pengurus korporasi Lippo Group dalam transasksi suap – menyuap yang dilakukan. Sudah barang tentu perbuatan pengurus korporasi Lippo Group dalam transaksi suap yang dilakukan dalam pengurusan izin proyek meikarta, sudah dapat diidentifikasi dan dikonstruksikan sebagai perbuatan korporasi, begitupun dengan kesalahan pada korporasi atas praktik suap (korupsi) yang dilakukan. Dengan kata lain unsur mens rea dari pertanggungjawaban pidana korporasi terpenuhi dengan dipenuhinya unsur mens rea pengurus korporasi atau perusahaan tersebut. Begitu pula dengan actus reus yang diwujudkan oleh pengurus korporasi yang berarti merupakan actus reus perusahaan. (Bismar Nasution, 2006)

Selain berdasarkan hipotesa di atas, secara objektif tentu juga dapat dilihat bagaimana track record – perjalanan panjang selama ini group korporasi Lippo Group, yang dalam menjalankan ekspansi bisnisnya, dengan bermodal kekuataan netrworking /afiliasi yang kuat dengan jajaran elite penguasa/pemerintah (eksekutif) dan menguasai hampir semua lapisan pada semua sektor penyelenggara kekuasaan negara (legislatif, yudikatif, dsb), seringkali group korporasi Lippo Group tidak mengindahkan bahkan mengabaikan tata aturan prosedural yang harus dijalankan, bahkan dalam praktik suap-menyuap (korupsi) yang dilakukan sudah pernah berulang dan terjadi sebelumnya. Tentu, sederet catatan perjalanan panjang group korporasi Lippo Group, patut menjadi perhatian dan pertimbangan KPK dalam menentukan status tersangka terhadap korporasi pengembang proyek meikarta.

Sebagai catatan terakhir pada point ini, KPK tetap harus terus didorong, dikawal agar proses pengembangan perkara proyek perizinan meikarta tidak boleh terhenti hanya pada Billy dkk, dan para pejabat pemerintah Kab. Bekasi. Dalam konteks corporate crime, selain harus menjerat korporasi dalam kasus korupsi sebagaimana dimaksud, KPK juga harus mengungkap peranan pihak berpengaruh di dalam korporasi (perusahaan) tersebut atas suap – menyuap yang dilakukan, dan dalam kontek korupsi oleh pihak pemerintah, KPK juga harus dapat membuka tabir gelap sengkarut korupsi mega proyek meikarta yang diduga kuat melibatkan para pejabat elite penguasa (pemerintah).

Akhir kata, saya kembali mengingat apa yang diungkapkan KPK dalam audiensi yang dilakukan Presidium Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) beberapa waktu yang lalu, dimana KPK menyatakan bahwa sebelumnya sudah ada 4 (empat) tersangka korporasi yang dijerat KPK terkait dengan tindak pidana korupsi, oleh karenanya kita patut menanti KPK juga menyematkan status tersangka terhadap korporasi pengembang properti proyek meikarta, Semoga dan segera! [mc]

*Dr. Ahmad Yani, SH, MH, Praktisi Hukum (Advokat), Presidium Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI), Founder Pusat Pengkajian Peradaban Bangsa (P3B) & Anggota DPR RI Periode 2009 – 2014.

Terpopuler

To Top