Warkop-98

Peta Politik Kelompok Kapitalis Yang Bermain di Antara Jokowi vs Prabowo

Nusantarakini.com, Jakarta –

Membaca konfigurasi dan dinamika politik perebutan kekuasaan antara kelompok Jokowi versus Kelompok Prabowo, ilmu politik mungkin sudah tidak sanggup menjelaskannya. Soalnya, ini bukan gejala ideologi, tapi sudah gejala mafia.

Sederhananya peta kapitalis pasca Soeharto, mengeras saat ini, sebagai reaksi terhadap kelompok kapitalis yang menguasai Jokowi di periode pertama. Ketika masuk periode kedua, kelompok kapitalis lain, berhasil merengsek masuk untuk menguasai peta politik.

Setidaknya terdapat tiga kelompok kapitalis pasca Soeharto yang bermain saat ini.

1. Kelompok Kapitalis Anti Soeharto
Mereka yang dirugikan secara langsung dengan peristiwa 98 yang mencuat menjadi anti China. Liem Soe Liong, Machtar Riady, dsj.

2. Kelompok Kapitalis netral pada Soeharto
Mereka terkena imbas 98, tapi tetap bertahan di Indonesia. Tidak pindah ke Singapura dan Luar negeri. Eks pendiri Astra, sprti Theodore Rachmat, Thohir, Suryajaya, salah satu kini pemilik Adaro, tempat Sandiaga Uno berkiprah.

3. Kelompok Kapitalis Pro Soeharto
Keturunan klan Cendana dan kroninya yang sekarang merevitalisasi kekuatannya.

Jadi perebutan antar Prabowo vs Jokowi, merupakan perebutan pengaruh antara Pro Soeharto vs Netral Soeharto.

Sedangkan kapitalis anti Soeharto, sementara terkunci dengan merengseknya Erick Thohir sebagai ketua tim sukses Jokowi. Erick Thohir dapat dikatakan sebagai bagian dari kelompok kapitalis netral Soeharto. Pemain pentingnya ialah para kapitalis yang berkaitan dengan group Astra.

Semua lini sekarang terpusar ke Eks Group Astra. Eks group Astra memecah ke Adaro, Saratoga. Sandi Uno lama pemilik Adaro dan Saratoga. Dia punya hubungan emosional dengan Surjadjaja, dan baron-baron eks Astra.

Warga pemilih jangan jadi unyu-unyu culun bin polos. Semua ini tentang bagi-bagi kue besar SDA dan Pasar Indonesia. Eksploitasi sentimen SARA hanya cara untuk mengelompokkan dan mengelola suara agar dua kubu menang.

Bila pun ada tokoh-tokoh representatif umat atau warga pemilih ikut dipakai oleh mereka, jangan jadikan jaminan bahwa suatu kubu benar dan dapat dipercaya. Boleh jadi tokoh itu khianat dan cincai, atau buta peta. Sekarang ini, dua ormas besar pun sudah layaknya sebagai Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Politik (PJTKP) yang digunakan sebagai medium untuk masuk ke basis massa pemilih. Kenapa mereka tdk langsing? Karena mereka tidak punya legitimasi. Kenapa PJTKP itu mau jadi jongos? Karena tokoh-tokohnya tamak akan dunia dan kelezatannya.

Itu saja. Untuk dapat dijadikan bahan masukan. Menggunakan Hak Pilih tak ada salah. Tak memilih pun, tak ada salah.

 

 

~ SURABI/Suara Arus Bawah Islam

Terpopuler

To Top