Warkop-98

Politik adalah Perang

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Politik adalah seni dan strategi merebut kekuasaan, mempertahankan kepemimpinan, mengatur pemerintahan dan mengelola perbedaan. Politik adalah perang pemikiran, adu konsep dan gagasan, kompetisi meraih simpati dan memenangkan pemilihan. Dalam pertempuran fisik, kita hanya mati sekali, tapi dalam pertempuran politik, kita bisa terbunuh berkali-kali. Sebagaimana sebuah peperangan, pertempuran politik juga butuh strategi, amunisi, juga tidak lemas dari trik dan intrik licik.

Kisah kepahlawanan, pengorbanan, kesetiaan bahkan pengkhianatan senantiasa menghiasi setiap sejarah pertempuran. Dalam politik pun ada sosok teladan dan panutan, juga ada manusia sampah dan munafik. Epos Mahabharata adalah salah satu gambaran lengkap trik dan intrik pergulatan politik juga peperangan fisik. Seringkali faktor pengkhianatan dan keberadaan musuh dalam selimut menjadi penyebab utama kekalahan dalam pertempuran.

Saya tidak mengatakan beberapa orang, tokoh atau partai politik yang saya sebutkan berikut sebagai pengkhianat. Dalam kaitannya dengan Pilpres 2014 dimana Prabowo dikalahkan dengan keputusan pengadilan, ada pihak yang kemudian begitu mudahnya beralih dukungan. Mereka dulunya adalah pendukung dan tim sukses Prabowo, namun pada Pilpres 2019 beralih menjadi timses lawan, diantaranya :

1. PPP dan Ketua Umumnya, Romahurmuzy (Gus Romy), dulu gabung tim Prabowo, sekarang koalisi Jokowi.

2. Partai Golkar, dengan Sekjennya Idrus Marham, dulu aktif di Koalisi Merah Putih Prabowo, sekarang koalisi Jokowi.

3. Ali Mochtar Ngabalin, dulu paling semangat dukung Prabowo, sekarang Jubir Presiden, paling kenceng nyanjung Jokowi dan akhirnya jadi Komisaris Angkasa Pura.

4. TGB Zainul Madjdi, 2014 Ketua Pemenangan Prabowo untuk NTB, 2019 gabung timses Jokowi.

5. Prof Mahfud MD, pada Pilpres 2014 dicampakkan Jokowi kemudian dipungut Prabowo dan dijadikan Ketua Timses, pada Pilpres 2019 kembali mendukung Jokowi.

Kabar baiknya, Prabowo mendapat tambahan kekuatan koalisi baru yang cukup matang dan pengalaman, yaitu Presiden RI keenam Susilo Bambang Yudhoyono dengan Partai Demokrat-nya. Prabowo juga dapat suntikan darah muda segar, yaitu Sandiaga Shalahuddin Uno dan Anies Rasyid Baswedan.

Satu hal yang perlu dicatat, sejak Pilpres diselenggarakan secara langsung, pasangan yang didukung Partai Golkar tidak pernah menang, namun di tengah masa pemerintahan Partai Golkar selalu loncat ke kubu pemenang.

Begitu juga tokoh struktural NU, sejak Pilpres secara langsung tidak pernah menang ketika ikut kontes. KH Hasyim Muzadi berpasangan dengan Megawati kalah, KH Shalahuddin Wahid berpasangan dengan Wiranto juga kalah.

Sejak presiden dan wakil presiden dipilih, baik perwakilan oleh MPR maupun secara langsung oleh rakyat, hanya presiden berlatar belakang militer (TNI AD) yang sanggup bertahan kemih dari satu periode, yaitu Jenderal Besar HM Soeharto (6 periode – 1972, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997) dan Jenderal TNI Dr Susilo Bambang Yudhoyono (2 periode – 2004, 2009).

Sementara presiden dengan latar belakang sipil tidak ada yang tuntas menjabat hingga satu periode apalagi bertahan pada Pilpres berikutnya. BJ Habibie hanya seperempat periode (1998-1999), Gus Dur setengah periode (1999-2002), Megawati juga setengah (2002-2004). Sampai hari ini, Jokowi juga belum genap satu periode (2014-2018).

Jadi, dengan data dan fakta di atas, silahkan masyarakat Indonesia cerdas membaca, menilai, menganalisa, menimbang, dan kemudian memilih. Siapa pasangan capres dan cawapres yang layak dipilih. Gunakan akal sehat bukan emosi sesaat.

Tentu saja karena kita memilih pemimpin negara bukan pemimpin agama, maka pertimbangannya adalah kompetensi, leadership dan manajerial mengelola aset bangsa untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. [mc]

*Arief Luqman El Hakiem, Pengamat Politik.

Terpopuler

To Top