Blunder Pernyataan Jokowi, Mungkinkah Ada Unsur Pidana? 

Nusantarakini.com, Jakarta – 

“…kalau diajak berkelahi harus berani”, “… lanjut, lawan, libas.”

Pernyataan yang disampaikan Jokowi tidak bisa dilihat sebagai persoalan kecil karena disampaikan oleh seorang kepala negara dan kepala pemerintahan. Setali tiga uang. Ngabalin interpreter isi kepala bosnya yang tak kalah bahayanya bagi ancaman keutuhan NKRI.

Tema tulisan saya kali ini seputar pertanyaan :

“Apakah frasa kalimat ini memenuhi unsur pidana?”

Saya haqqul yaqin pernyataan ini sudah memenuhi unsur pidana.

Mari kita diskusikan!

Pertama, terpenuhinya unsur pokok subyektif yaitu unsur kesalahan yang dapat berupa kesengajaan (dolus) yang bentuknya:

1. kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk mencapai suatu tujuan (yang dekat); dolus directus.

2. kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn atau noodzakkelijkheidbewustzijn).

3. kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atau voorwaardelijk-opzet).

Kedua, unsur pokok obyektif terdiri dari :

1. Perbuatan manusia (positif atau negatif)
2. Menimbulkan akibat membahayakan, merusak/menghilangkan kepentingan/ kepentingan yang dipertahankan oleh hukum.
3. Keadaan-keadaan, yang dibedakan :
a. Keadaan sebelum/saat perbuatan dilakukan.
b. Keadaan setelah perbuatan dilakukan.
4. Sifat dapat dihukum berkenaan dengan hukum. Sifat melawan hukum adalah bertentangan dengan hukum(larangan atau perintah).

Petunjuk untuk dapat mengetahui arti kesengajaan, dapat diambil dari M.v.T. (Memorie van Toelichting), yaitu :

“Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui”.

Dalam pengertian ini disebutkan bahwa kesengajaan diartikan sebagai : “menghendaki dan mengetahui” (willens en wetens). Artinya, seseorang yang melakukan suatu tindakan dengan sengaja, harus menghendaki serta menginsafi tindakan tersebut dan/ atau akibatnya. Jadi dapatlah dikatakan, bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan.

Orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu dan akibat yang akan timbul daripadanya.

Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dapat disebut 2 (dua) teori sebagai berikut:

1). Teori kehendak (wilstheorie).

Inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang (Simons dan Zevenbergen).

2). Teori pengetahuan / membayangkan (voorstellingtheorie).

Sengaja berarti membayangkan akan akibat timbulnya akibat perbuatannya. Orang tak bisa menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkannya. Teori ini menitikberatkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan oleh sipelaku ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia akan berbuat (Frank).

Menarik untuk menelisik, apakah ujaran Jokowi dan Ngabalin telah memenuhi unsur keduanya? Hemat saya, ya. Sudah terpenuhi!

Pertama, unsur subyektif (kesengajaan dengan sadar kemungkinan).

Jokowi dan Ngabalin boleh jadi memang tidak bermaksud memantik pertikaian sesama anak bangsa. Tapi fakta hukumnya banyak kalangan setidaknya seperti saya yang merasa tersinggung dan terganggu. Meskipun dia tidak melakukan kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) namun di hadapan hukum dia dituntut untuk dapat membayangkan akan kemungkinan terjadinya akibat yang tak dikehendaki (kesengajaan dengan sadar kemungkinan).

Contoh:
Seorang mengendarai mobil angkutan umum dengan kecepatan tinggi di jalan dalam kota. Di muka dia melihat sekelompok anak yang sedang bermain-main. Apabila dia tetap dalam kecepatan yang sama tanpa menghiraukan nasib anak-anak dan tanpa mengambil tindakan pencegahan, dan apabila akibat perbuatannya itu beberapa anak luka atau mati, maka disini ada kesengajaan untuk menganiaya atau membunuh, meskipun tidak dapat dikatakan bahwa ia menginginkan akibat tadi. Namun jelas ia menghendaki hal itu -dalam arti- meskipun dia sadar akan kemungkinan tentang luka dan matinya anak dia mendesak kesadaran itu kebelakang dan menerima apa boleh buat kemungkinan itu.

Di atas telah disebutkan 2 teori yang menerangkan bagaimana sikap batin seseorang yang melakukan perbuatan dengan sengaja.

Berdasarkan teori kehendak, jika Jokowi dan Ngabalin menetapkan dalam batinnya, bahwa dia lebih menghendaki ujarannya bersambut -terbukti dalam rekaman video tersebut, Jokowi tidak kurang 15 detik menunggu hadirin riuh rendah mengamini statementnya dengan sorak sorai tepuk tangan- (meskipun nanti akan ada akibat yang dia tidak harapkan) dari pada tidak berbuat- maka kesengajaan yang dilakukannya tersebut juga ditujukan kepada akibat yang tidak diharapkan itu.

Berdasarkan teori pengetahuan, Jokowi dan Ngabalin mengetahui/membayangkan akan kemungkinan terjadinya akibat yang tidak dikehendaki, tetapi bayangan itu tidak mencegah dia untuk tidak berbuat. Maka dapat dikatakan, bahwa kesengajaan diarahkan kepada akibat yang mungkin terjadi itu.

Disamping kedua teori itu ada teori yang disebut teori apa boleh buat (“in kauf nehmen theorie” atau” op de koop toe nemen theorie”). 

Menurut teori apa boleh buat (“in kauf nehmen theorie “atau”op de koop toe nemen theorie”) keadaan batin si pelaku terhadap perbuatannya adalah sebagai berikut:

a. akibat itu sebenarnya tidak dikehendaki, bahkan ia benci atau takut akan kemungkinan timbulnya akibat itu.

b. akan tetapi meskipun ia tidak menghendakinya, namun apabila toh keadaan/akibat itu timbul, apa boleh buat hal itu diterima juga, ini berarti ia berani memikul resiko.

Nah, dalam konteks ini Jokowi dan Ngabalin sudah “apa boleh buat” karena dia sekarang sudah mulai “menuai badai” dari “angin yang ditaburnya”.

Kedua, unsur obyektif yaitu menimbulkan akibat membahayakan, merusak/menghilangkan kepentingan/ kepentingan yang dipertahankan oleh hukum dalam hal ini terkoyaknya sendi ketentraman masyarakat (NKRI).

Jokowi dan Ngabalin seharusnya dapat membayangkan bahwa term “berantem”, “libas”, adalah kosa kata yang berpotensi besar mengeskalasi pertikaian yang masif dan perpecahan yang makin tampak di pelupuk mata.

Sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi prinsip equality before the law, maka tulisan ini saya tutup dengan pertanyaan “kapan Jokowi dan Ngabalin ditangkap Polisi?” [mc]

*Ahsanul Fuad Saragih, S.H, M.A – Mantan Praktisi Hukum.