Mafia Peradilan di bawah Pengaruh Mafia Cina

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Nelly Siringo-ringo dijatuhi Hukuman 1 (satu) tahun dan denda 100 juta rupiah oleh PN Jakarta Selatan Kamis kemarin. Selain seharusnya Terdakwa diputus Bebas, juga tidak jelas model Denda-denda macam itu, untuk Apa dan Siapa. Apa untuk James Riady, komandan LIPPO, yang menggugat Nelly lewat Polri, yang merasa “nama baiknya” dirusak oleh unggahan Nelly di Facebooknya sendiri. Atau untuk Negara yang telah dipaksa mengadili Nelly berbulan-bulan, termasuk 10 kali tertunda oleh ulah JPU dan Hakim yang tidak siap dalam Sidang.

Banyak Pihak, khususnya Pengacara dan Terdakwa, suka menghormati Sidang-sidang dan Majelis Hakim secara berlebihan, seakan-akan dengan hormatnya dan baik-baiknya itu, Terdakwa akan diringankan dari hukuman atau dibebaskan, sekalipun memang Terdakwa tidak bersalah. Tentu anggapan itu keliru dan tidak perlu, bahkan membikin Majelis Hakim menjadi sewenang-wenang.

Hukum dan para Penegak Hukum sudah melupakan Ketentuan Hukum yang seharusnya dipegang teguh: “Bahwa Putusan Hukum yang didasarkan pada Bukti Yang Tidak Meyakinkan seharusnya memilih Membebaskan si Bersalah daripada Memenjarakan si Tak Bersalah.” Tentu adalah pintar-pintarnya Hakim juga untuk membikin Bukti yang “Tak Meyakinkan” menjadi “Meyakinkan”.

Tetapi Mafia Peradilan begitu semakin kuatnya dari hari ke hari, sehingga Hukum dan Penegakan Hukum juga semakin kacau: Tidak ada lagi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa! Republik Indonesia tidak pantas lagi menyandang predikat Negara Hukum. Kalau pada masa lalu Elemen Mafia Peradilan hanya meliputi Pemerintah, Pengusaha, Polri, Jaksa, Panitera dan Hakim, sekarang ditambah dengan Undang-undang atau Materi Hukumnya.

Memang Hukum Kolonial, seperti UU Anti Subversif, Pasal-pasal Karet dalam KUHP, seperti Menghina Presiden, Menghina Pemerintah, sudah dicabut. Tetapi dimunculkan lagi beberapa yang lain, sebagai Sumber Kesewenang-wenangan, antara lain UU ITE. Itulah Hukum yang sekarang digunakan oleh Mafia Peradilan untuk MENJERATI dan MENGHUKUMI para Aktivis yang Berjuang untuk Tegaknya Negara Hukum Demokratis Indonesia.

Ketika aku dituduh menggerakkan demonstrasi di seluruh kota Jerman menentang Soeharto, tentulah tidak terbukti. Mana bisa 20 tahun terakhir tidak pernah ke Jerman, orang asing seperti aku lalu bisa mengatur bule-bule itu. Tuduhan Bareskrim Polri dan Kejaksaan berubah ke Penghinaan kepada Soeharto. Aku pun diadili. Sampai menjelang Vonis datang intervensi dari Rezim Istana. Aku pun diganjar 34 bulan.

Hakim dan Jaksa merekayasa Bukti-bukti dan Pendapat Ahli yang dibuat untuk memberatkanku. Ini contohnya: Surat Pernyataan Saksi dari Jerman dipalsukan tandatangannya. Juga seorang Ahli diminta tambahan pendapatnya secara tertulis, lalu disimpulkan bahwa pendapat tertulis dan lisannya saling bertentangan, karenanya seluruh Pendapat Ahli itu diabaikan. Lalu PK yang saya menangkan baru putus sesudah 6 (enam) tahun. Itu semua ulah para Mafia Peradilan! Mereka jago-jago berbuat demikian.

Itu zaman Soeharto, lebih 20 tahun yang lalu. Sekarang lebih canggih, yaitu dengan masuknya Cina-cina Mafia Taipan. Di sini yang berkuasa DUIT. Semua bisa dibeli dengan duit, termasuk para Penegak Hukum itu. Kalau zaman Soeharto para Hakim takut dimutasi ke daerah kering dan penuh belantara. Sekarang model mutasi itu pun masih ada.

Akhirnya, yang menjadi korban selalu rakyat kecil, apalagi yang bersuara lantang terhadap Rezim. Apalagi Rezim sekarang Pro-Cina Mafia dan RRC. Maka para Taipan menjadi seperti Raja yang Bersimaharajalela, yang menguasai Hukum dan para Aparat Hukum, dari Jaksa Agung sampai Panitera dan Pengacara.

Dimunculkanlah UU ITE yang Pro-Cina Mafia. Puluhan Aktivis dan Mak-Mak dijerat dengan UU ITE, dengan alasan Menghina dan Membenci Cina. Di antara mereka adalah Nelly Siringo-ringo, Batak Asli Pribumi yang mengunggah the Lippo Way ke Akun Facebook-nya. Ada juga seorang Dokter yang Emak juga, hanya menuliskan nama Cina isteri Panglima, kena 2,5 (dua setengah) tahun. Sungguh biadab! Republik ini sudah dijajah Cina, baik ekonomi, politik, sosial, hukum, budaya, maupun pertahanan/keamanan dan lain-lainnya.

Dalam Kasus-kasus itu, semua Penulis Asli Postingan tidak mendapat perhatian Majelis Hakim, termasuk si John Doe, melainkan mereka yang menyebarkannya. Padahal Nelly juga tidak menyebarkan, hanya copy/paste the Lippo Way ke akun Facebook-nya, untuk disimpan. seperti nyimpan Guntingam Koran. Tapi kemudian banyak orang bisa mengakses dan menyebarkannya.

UU ITE perlu dicabut, atau dimintakan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi. Cina-cina Mafia itu bisa bekerjasama dengan Rezim untuk menangkapi para aktivis. Bisa jadi John Doe memang tidak pernah ada. Sedang the Lippo Way adalah sebuah perangkap bagi para Aktivis. Dan duit pun tersedia berlimpah. Jadi banyak Petugas Hukum yang memakan umpan. Maklum, semua sedang sulit. Apalagi bagi mereka yang sedang mau PENSIUN, bisa menjadi semacam PESANGON!

Para Hakim kita lupa, bahwa nama mereka yang menjual-belikan Vonis tercatat. Seperti di Jerman waktu bergabung antara Barat dan Timur, 90% dari Hakim Jerman Timur dipecat dan dilarang bekerja di bidang Hukum. Nanti setelah Jokowi jatuh, Hakim-hakim kita yang seperti itu harus dicari!!!. [mc]

*Sri-Bintang Pamungkas, Aktivis Senior, Mantan Politisi dan Tapol Era Orde Baru.