Nasional

Tolak Kesepakatan Kontrak Freeport yang Merugikan Negara!

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Indonesian Resources Studies (IRESS) menolak keras rencana pemerintah menyelesaikan negosiasi kontrak tambang Freeport bulan ini dengan membayar sekitar US$ 3 miliar hingga US$ 4 miliar untuk divestasi 51% (tepatnya sekitar 41,64%, karena saat ini Indonesia telah memiliki 9,36%) saham Freeport McMorant. Jika hal tersebut terlaksana, maka Indonesia akan menjadi pecundang karena bersedia membayar sesuatu yang jauh di atas nilai wajar, sebab pada dasarnya sebagian besar aset yang dibayar tersebut adalah milik negara dan bangsa sendiri.

Sebagaimana diketahui, Pemerintah menargetkan proses divestasi saham PT Freeport Indonesia sebesar 41,64% bisa rampung bulan Juli 2018 ini. Pemerintah terlihat sangat confident dengan penyelesaian perundingan, oleh karenanya pemerintah hanya memperpanjang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Freeport selama 1 bulan (dari yang biasanya 6 bulan), yakni hingga 31 Juli 2018. Menteri ESDM Ignatius Jonan mengatakan bahwa “Kesepakatan semua sudah selesai, yaitu soal kepastian usaha dan management control. Akuisisi juga sudah sepakat selesai, tinggal legal documentation dan Inalum cari pinjaman,” kata Jonan seperti diberitakan oleh CNBC Indonesia, Kamis (28/6/2018).

IRESS menganggap nilai 41,64% saham yang dibayar untuk kewajiban divestasi sangat mahal, karena mestinya yang dijadikan rujukan perhitungan harga saham adalah periode Kontrak Karya (KK) tambang Freeport yang berakhir tahun 2021. Bukan periode KK hingga 2041 seperti yang diinginkan Freeport. Dengan masa berlaku KK yang tersisa hanya tinggal 3-4 tahun, maka nilai aset dan bisnis Freeport mestinya jauh lebih rendah dari US$ 3-4 miliar.

Tentu saja Freeport menginginkan nilai saham lebih tinggi, karena itu yang dijadikan acuan adalah periode KK hingga 2041. Padahal tidak ada ketentuan dalam KK yang mewajibkan Indonesia harus memperpanjang KK hingga 2041. Yang terjadi sebelumnya (pada awal 1990-an) adalah berbagai upaya dan rekayasa yang ditengarai telah dilakukan Freeport dan oknum pejabat untuk KK Baru yang seharusnya merupakan KK Perpanjangan. Implikasinya KK asli yang seharusnya berakhir pada 2021, kemudian di klaim oleh Freeport menjadi berakhir pada 2041.

Terlihat jelas Pemerintah saat itu bertindak untuk dan atas nama Freeport untuk membuat kebijakan dan mengubah aturan agar memuluskan KK Baru tersebut terbit. Dalam hal ini patut diduga telah terjadi persekongkolan jahat yang berpotensi pidana korupsi dan melanggar Foreign Corrupt Practices Act of 1977 (FCPA) Amerika. Tujuannya agar Freeport tetap bisa bercokol, serta menguasai dan mengeruk emas dan tembaga tambang Timika yang merugikan  negara.

Selain itu harga yang di sepakati jelas sangat mahal apalagi kemampuan APBN yang terbatas dan kondisi ekonomi rakyat yang terus menurun. Seharusnya pemerintah bisa dan harus meminta harga yang jauh lebih rendah, mengingat Freeport pun harus membayar sanksi akibat kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Setidaknya dari informasi yang kami dapat, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah mengeluarkan lebih dari 40 sanksi akibat kerusakan lingkungan, karena penambangan yang serampangan, melanggar aturan dan mengabaikan tata penambangan yang baik dan benar. BPK pun telah menghitung nilai sanksi kerusakan lingkungan tersebut, yang besarnya ratusan triliun Rp.

IRESS perlu menegaskan bahwa penerapan sanksi akibat kerusakan lingkungan bukanlah aspek yang harus dinegosiasikan oleh Pemerintahan Jokowi, sebab UU dan peraturan tentang lingkungan telah dan masih berlaku, dan dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh Freeport telah nyata terjadi! Karena itu, yang perlu dilakukan Pemerintah Indonesia sebagai negara berdaulat adalah penegakan hukum dan penagihan pembayaran sanksi oleh Freeport. Perlu diingatkan bahwa KLHK dan BPK adalah lembaga-lembaga negara yang keberadaan dan rekomendasinya dijamin konstitusi dan tidak ada satu lembaga atau perorangan pun yang boleh membangkang atau bisa memperoleh pengecualian.

Masalah sanksi lingkungan ini pun telah pernah dituntut dan dipaksa untuk dipatuhi Freeport oleh Menko Ekonmi Rizal Ramli pada Era Pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2001). Saat itu, bahkan Freeport telah setuju untuk membayar kompensasi sekitar US$ 3-5 miliar. Namun karena terjadinya pergantian pemerintahan, pembayaran sanksi tersebut “belum” terlaksana hingga sekarang. Selain sanksi kerusakan lingkungan, Freeport pun telah melanggar aturan  penggunaan hutan dan untuk itu harus  pula membayar sanksi kepada pemerintah.

Dengan rujukan periode kontrak yang tinggal 3-4 tahun, maka IRESS yakin nilai 41,64% saham Freeport hanya berkisar US$ 1-1,5 miliar. Jika sanksi-sanksi hukum akibat kerusakan lingkungan yang nilainya sangat besar diperhitungkan, maka nilai yang harus dibayar negara untuk 41,46% saham divestasi Freeport diperkirakan hanya beberapa ratus juta US$ saja!

Oleh sebab itu, kami perlu mengingatkan Presiden Jokowi agar tidak gegabah menyelesaikan negosiasi kontrak Freeport “at any cost”, demi mengejar target selesai dan berbagai kepentingan lain. Apalagi jika ada kepentingan perburuan rente atau sarat prilaku moral hazard! Harga saham Freeport harus ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek-aspek kedaulatan negara, wewenang untuk membuat keputusan konstitusional, menghitung nilai wajar bebas KKN, dan menerapkan sanksi-sanksi sesuai hukum yang berlaku.

Proses penetapan harga saham harus pula melibatkan lembaga penegakan hukum seperti KPK, guna mendapatkan proses yang transparan dan tidak manipulatif, serta bebas kongkalikong dalam rangka mencari rente rente ekonomi. Kami ingatkan agar pemerintah dan pejabat-pejabat yang terlibat negosiasi untuk tidak menggadaikan tambang milik negara dan mengorbankan kepentingan rakyat hanya demi meraih rente dan kelanggengan kekuasaan.

Kita sudah mendengar pernyataan Menteri ESDM Ignatius Jonan yang dalam setahun terakhir telah lebih dari 4 kali menyatakan negosiasi akan selesai bulan ini, bulan itu, dst. Nyatanya kesepakatan belum juga tercapai. Kita ingatkan Pemerintah RI yang dipimpin Presiden Jokowi untuk menggunakan otoritas yang dimiliki dan berupaya maksimal menyelesaikan negosiasi KK Freeport ini secara konstitusional, bebas KKN, bebas pencitraan dan bebas kepentingan politik pemilu. Jika penyelewengan masih terjadi, maka kesempatan untuk memulihkan kedaulatan negara dan martabat bangsa yang telah hilang selama setengah abad akan terlepas. Sehingga kita akan tetap menjadi negara pecundang, dan harus kembali menunggu puluhan tahun ke depan untuk bisa berdaulat di Tambang Timika. [mc]

*Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS).

Terpopuler

To Top