Tausiah

Syukur dan Visi Hidup

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Di antara sekian hal yang mendasar dalam kehidupan, syukur barangkali menjadi hal yang terpenting. Syukur adalah kata yang mudah terucap, namun berat dalam realita. Karenanya Allah menyampaikan: “Sungguh sangat sedikit di antara hamba-hambaKu yang mampu bersyukur” (Al-Quran).

Hakikatnya, syukur adalah esensi paling mendasar dari segala aspek religiositas kita. Maknanya adalah bahwa segala aspek dari agama ini bermuara kepada “kesyukuran” kepada Allah SWT.

Ketika Al-Quran mendefenisikan tujuan hidup sebagai “pengabdian” (ibadah), sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT: “Dan tidaklah Saya menciptakan Jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku” (Al-Quran). Sebagian ulama kemudian memaknai kata “liya’buduuni” (beribadah kepadaKu) dengan “liya’rifuuni” (mengenalKu).

Dan ketika kita berada pada posisi mengenal Allah dengan benar, maka yang pertama akan kita kenal adalah “kasih sayang dan kebesaran karuniaNya” kepada makhluk-makhlukNya. Di sinilah kemudian kita temukan relevansi esensi religiositas sebagai “kesyukuran”.

Artinya beragama itu adalah bentuk kesyukuran yang paling mendasar. Bagaimana tidak, semua aspek agama ini terkait dengan kesadaran bersyukur. Keimanan kita membawa bahkan menuntut kesadaran itu.

Itulah sebabnya orang yang tidak mengimani Allah disebut “pengingkar” (kafir). Karena bagaimana Mungkin tidak mengimaninya padahal mereka ada karena karuniaNya jua.

Demikian pula dengan seluruh ibadah-ibadah yang kita lakukan. Semuanya bertujuan sebagai bentuk kesyukuran kepada sang Khaliq langit dan bumi serta seluruh isinya.

Suatu ketika Rasulullah SAW menjadikan isterinya terkagum dengan ibadah-ibadahnya. Isterinya pun bertanya: “ya Rasulullah, untuk apa Engkau lakukan semua itu? Bukankah dosa-dosamu telah diampuni, bahkan dijamin masuk syurga?”.

Jawaban Rasulullah SAW bukan karena beliau paling suci, paling ahli ibadah, bahkan bukan karena beliau seorang Rasul. Jawaban beliau adalah: “Tidakkah saya seharusnya menjadi hamba Allah yang bersyukur?”.

Syukur dan ketenangan hidup

Realita hidup mengajarkan bahwa ternyata keinginan-keinginan (wants) dan hawa nafsu (desires) manusia itu jauh lebih banyak dan besar dibandingkan dengan dunia dan segala isinya. Dunia dengan segala kesenangan yang ada di dalamnya tidak akan mampu memenuhi semua keinginan dan hawa nafsu manusia.

Kenyataan inilah yang diilustrasikan oleh baginda Rasulullah SAW dengan sabdanya: “Perumpamaan kesenangan dunia ini bagaikan anda memasukkan jari ke samudra luas. Air yang membasahi jari anda itulah dunia. Sementara kesenangan yang Allah sediakan di kehidupan Alkhirat kelak itu bagaikan air laut”.

Dalam sabda lainnya Rasulullah memggambarkan bahwa orang yang memburu dunia ini (tanpa syukur/iman) maka dia bagaikan meminum air laut. Semakin banyak meminum air laut semakin dia merasa haus.

Penggambaran dunia seperti ini menegaskan bahwa dunia itu diperlukan. Tapi hanya dengan dunia manusia tidak akan mampu memenuhi segala keinginan dan hawa nafsunya. Bahkan sebaliknya jika perburuan dunia semata untuk dunia manusia akan semakin haus dan hanyut tanpa batas.

Karenanya dunia ini harusnya menjadi tempat berbuat (berkarya) dan bukan tujuan. Manusia hanya akan mendapatkan kepuasan dan ketenangan ketika mampu melakukan transendensi “world view” (cara pandang atau persepsi) tentang hidup itu sendiri.

Untuk merasakan kepuasan dan ketenangan hidup ada tiga hal yang menjadi sadar pijakan dalam hidup.

Pertama, menyadari bahwa ada Wujud Yang memilki, menguasai dan mengontrol hidup ini. “Dan milik Allah semua yang dilangit dan di bumi” (Al-Quran). Dengan ini kita tidak perlu merasa sebagai “penentu” dalam hidup. Kita hanya terombang-ombang di antara pergerakan gelombang “qadar” Ilahi. Kesadaran ini menjadikan perubahan yang terjadi dalam hidup bisa disikapi secara mudah dan enteng. Toh semuanya menjadi bagian dari iman, bahkan tabiat kehidupan di bawah kendali kekuasaanNya.

Kedua, menyadari bahwa hidup ini niscaya dan menjadi bagian dari proses kehidupan hingga akhir zaman. Di sinilah kita sadari bahwa dunia ini adalah tempat untuk bersungguh-Sungguh (mujahadah) menghadapi ujian. Tempat untuk bekerja keras hingga kita lulus dalam ujian itu. Artinya, kita harus menyadari bahwa hidup ini adalah ujian: “Dialah yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu, siapa yang paling baik dalam amalnya” (Al-Quran). Sikap bijak ketika ujian adalah mempersiapkan sebaik mungkin agar lulus dalam ujian itu. Karenanya jangan pikirkan hasil. Pikirkan apa yang telah dipersiapkan agar mendapatkan hasil terbaik.

Ketiga, menyadari bahwa hidup itu adalah satu kesatuan dari beberapa rentetannya. Fase dunia ini hanyalah satu dari rentetan hidup itu. Tapi yang pasti hidup dunia kini bukan rentetan terakhir. Karenanya kehidupan hanya akan bermakna dan memberikan ketenangan ketika menyadari akan kehidupan selanjutnya yang bersifat abadi. Kesadaran akan hidup besar yang sesungguhnya itu menjadikan segala dinamika hidup kesementaraan dapat dilalui dengan tenang dan mudah. Karena sesenang apapun, atau sebaliknya sesulit apapun, pasti berakhir.

Dari ketiga hal di atas, sesungguhnya tersimpul dalam satu kata “iman”. Dan sekali lagi subtansi dari iman (religiositas) itu ada pada kesadaran “bersyukur”.

Saya kembali mengingatkan sebuah peristiwa yang terjadi hanya beberapa hari menjelang hari raya Idul Fitri lalu. Peristiwa itu menggemparkan dunia barat, bahkan seantero dunia. Karena yang terjadi adalah peristiwa bunuh diri dua sosok terkenal, sukses dan kaya.

Kedua sosok itu adalah Kate Spade, seorang perancang (designer) tas terkenal, Kate Spade. Seorang lagi adalah Anthony Bourdain, seorang Pembawa acara terkenal di CNN, Parts unknown. Keduanya melakukan bunuh diri beberapa hari sebelum Idul Fitri lalu.

Pertanyaan yang menggeluti pemikiran sekaligus meggelitik hati nurani kita adalah kenapa orang-orang hebat, kaya dan terkenal itu harus mengakhiri hidupnya sendiri?

Bahkan akhir-akhir ini di Amerika Serikat tingkat bunuh diri (suicide rate) naik menjadi 25% lebih. Artinya betapa banyaknya orang mati di negara super power ini harus dengan cara bunuh diri.

Sekali lagi karena apa? Bukankah Amerika ini adalah negara super power yang diimpikan banyak orang? Tidak tanggung-tanggung Amerika dikenal oleh banyak orang sebagai “land of dreams” atau bumi impian.

Ternyata impian itu akan tetap menjadi impian. Impian itu tidak akan menjadi kenyataan jika hanya dibangun di atas landasan “fatamorgana”. Dan dunia tanpa iman adalah ilusi dan hayalan semata.

Semoga Allah menguatkan kita bersyukur, menguatkan iman kita, dan menjaga visi hidup kita untuk tetap “Hasanah fid-dunya wa hasanah fil-akhirati hasanah”. Amin!

Udara Dubai-NYC, 6 Juli 2018

*Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation. [mc]

Terpopuler

To Top