98 Not for Sale: Tetap bergerak untuk Keadilan dan Kesejahteraan Indonesia

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Reformasi Indonesia sudah berjalan lebih dari dua puluh tahun, sebagai buah dari perjuangan mahasiswa dan elemen rakyat lainnya yang bersatu padu meruntuhkan rezim otoritarianisme. Radikalisasi pemikiran di kalangan terpelajar, kaum buruh, petani dan kaum miskin kota, saat itu telah melahirkan sebuah aksi kolektif yang mencapai perubahan mendasar, yaitu pergantian kepemimpinan nasional yang selama 32 tahun tidak terjadi.

Dua puluh tahun perjalanan ini tentu tidak luput dari berbagai rintangan dan bajakan di tengah jalan. Teriakan keras para politisi yang mengagungkan NKRI seolah hanya menjadi slogan tanpa makna, tanpa ada usaha untuk mewujudkan kedaulatan, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sejak kelahirannya, 98 adalah gerakan yang mengoreksi total hampir keseluruhan praktek kehidupan bernegara antara lain authoritarianism, korupsi, kolusi dan nepotisme. Mengingat begitu kuatnya “tembok kekuasaan” yang harus dihadapi, maka 98 tidak mungkin menjadi gerakan massif yang melibatkan keseluruhan komponen masyarakat tanpa adanya upaya-upaya radikalisasi di sejumlah kampus perguruan tinggi maupun basis-basis perlawanan komponen masyarakat lainnya.

Menolak Radikalisme berarti menolak “jati diri” dari 98 itu sendiri. Radikalisme 98 tidak terkait dengan perkembangan ideologi-ideologi “trans-nasional” yang belakangan berkembang biak di sejumlah negara termasuk Indonesia. Radikalisme 98 adalah suatu sikap, tindakan, khas anak muda Indonesia yang ingin melakukan perubahan hingga ke akar-akar dan segera. Kemerdekaan Indonesia bukan karena adanya ideologi yang mapan, bukan karena pemberontakan militer bersenjata, melainkan karena Adanya anak-anak muda yang radikal.

Gerakan 98 sebagai gerakan moral politik memang tidak sepenuhnya gagal, namun belum berjalan ke tujuan yang kita inginkan. Secara politik, demokrasi prosedural telah dipenuhi lewat Pemilu maupun Pilkada, tapi secara esensi tidak menghasilkan produk pemimpin dan wakil rakyat yang mumpuni, melainkan justru semakin banyak yang melakukan korupsi. Tengoklah berapa banyak pejabat daerah yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK dalam tahun 2018, menandakan para politisi tidak kunjung jera terhadap hukuman yang diarahkan padanya. Politik berbiaya tinggi kerap dikeluhkan oleh para politisi, namun alih-alih melakukan perubahan internal dalam tubuh partai, mereka justru mempraktekkan politik uang untuk memenangkan pemilu atau pilkada. Sebar sembako pada saat kampanye bukan hal baru yang bisa kita temukan belakangan ini. Kepemimpinan sipil demokratik masih saja gemar menyeret-nyeret kekuatan TNI Polri, seolah tidak percaya diri pada kemampuannya sendiri.

Dalam hal pembangunan ekonomi, para kaum modernis menganggap bahwa perubahan pada dasarnya menggambarkan sebuah gerak maju yang linier. Salah satu ukuran keberhasilan sebuah proses modernisasi adalah ketika masyarakat dapat terbebas dari kemiskinan yang selama ini menghimpit mereka.
Namun fakta menunjukkan bahwa keadilan ekonomi dan sosial tidak kunjung tercapai, terbukti ketimpangan social bukannya menurun justru semakin melebar. Pembangunan kerap menyebabkan sebagian masyarakat tersisih atau dikorbankan oleh sistem ekonomi dan politik yang ada.

Kini kita malah disibukkan dengan noise, kebisingan yang tidak substantive atas figure yang dibingkai dalam hiper realitas media social, seolah itu merupakan kebenaran yang hakiki, yang menjadi jawaban terhadap berbagai persoalan ekonomi, politik dan social dalam masyarakat. Permasalahan bangsa seolah hanya direpresentasikan oleh tindak tanduk dua makhluk yang saling menuding satu sama lain. Upaya mempertanyakan kebijakan dianggap sebagai haters, atau sebaliknya prestasi kolektif hanya diclaim sebagai milik perorangan politisi.
Segi-segi hubungan social dalam masyarakat, prinsip kebebasan individu yang ditafsirkan secara liberal semakin terlihat, dengan mengesampingkan nilai-nilai kolektif dalam masyarakat yang berlaku. Norma dikesampingkan atas nama kebebasan berpendapat dana tau kepentingan politik.

Karena itulah, sebuah gerakan yang radikal, melakukan pembenahan hingga ke akar masalahnya hingga tercapai perubahan social yang dicita-citakan, Indonesia adil dan sejahtera, secara terus menerus tetap dilakukan oleh mereka yang berkomitmen atas sebuah gerakan di tahun 1998. Karena itu kami menyerukan segenap rakyat Indonesia untuk tidak berhenti melakukan koreksi atas kebijakan yang tidak berkeadilan, hukum yang tumpul ke atas, korupsi yang merajalela.

Memberangus radikalisme sama saja membunuh gerakan mahasiswa, juga membantai gerakan rakyat di berbagai daerah dalam konflik agraria yang tidak kunjung tuntas hingga sekarang. Dengan demikian, membunuh radikalisme sama saja membantai gerakan rakyat untuk mencapai keadilan. Di samping itu, memberangus radikalisme rawan ditunggangi kepentingan pemodal yang bisa menggunakan negara, perundang-undangan dan segenap aparatusnya untuk mengamankan kepentingannya.

Istilah radikal dan radikalisme berasal dari bahasa Latin “radix, radicis”. Menurut The Concise Oxford Dictionary (1987), berarti akar, sumber, atau asal mula. Kamus ilmiah popular karya M. Dahlan al Barry terbitan Arkola Surabaya menuliskan bahwa radikal sama dengan menyeluruh, besar-besaran, keras, kokoh, dan tajam.
Hampir sama dengan pengetian itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), radikal diartikan sebagai “secara menyeluruh”, “habis-habisan”, “amat keras menuntut perubahan”, dan “maju dalam berpikir atau bertindak”.
Dalam pengertian lebih luas, radikal mengacu pada hal-hal mendasar, pokok, dan esensial. Berdasarkan konotasinya yang luas, kata itu mendapatkan makna teknis dalam berbagai ranah ilmu, politik, ilmu sosial, bahkan dalam ilmu kimia dikenal istilah radikal bebas.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, cet. th. 1995, Balai Pustaka didefinisikan sebagai faham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.

Dalam sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia, dikenal dua strategi politik organisasi kebangsaan dalam kaitannya untuk mewujudkan Indonesia merdeka yaitu strategi non-kooperatif (radikal) dan kooperatif (moderat).

Strategi radikal artinya satu tindakan penentangan secara keras terhadap kebijakan pemerintah kolonial serta tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial. Kaum radikal berpendapat bahwa untuk mencapai Indonesia merdeka haruslah dengan jerih payah anak bangsa sendiri dan bukan atas adanya campur tangan dari bangsa asing (Belanda). Sebaliknya moderat artinya sebagai satu sikap lunak terhadap kebijakan pemerintah kolonial (Belanda).
Contoh yang lain, proklamasi 17 Agustus 1945 tidak akan terwujud tanpa ada tekanan kaum radikal, yang dimainkan oleh kelompok pemuda. Aksi penculikan Soekarno-Hatta di Rengasdengklok merupakan tindakan radikal yang dilakukan oleh kalangan pemuda pejuang kemerdekaan.

98 sejak kelahirannya tidak pernah disatukan oleh kepentingan politik praktis, melainkan oleh nilai-nilai ke arah demokrasi yang lebih substantial, anti korupsi, kolusi dan nepotisme, berjuang mewujudkan keadiilan sosial dan memuliakan nilai-nilai kemanusiaan (human dignity).

Secara tegas, 98 Not for Sale. Tidak dijual untuk kepentingan politik praktis, baik kepada pemerintahan yang sedang berkuasa maupun yang sedang ingin berkuasa.

Dengan dasar pemikiran di atas, kami segenap komponen 98 dan Kami Masih Melawan :
1. Menolak klaim tunggal ativis 98
2. Menolak pemberangusan istilah radikal dalam gerakan-gerakan kerakyatan.
3. Menghimbau kepada segenap pelaku gerakan 98 untuk terus mengawal nilai-nilai yang kita perjuangkan – sekalipun dengan sikap radikal.
4. Melakukan advokasi kepada korban-korban stigmasisasi radikal baik di lingkungan kampus perguruan tinggi maupun basis-basis perjuangan rakyat yang menuntut keadilan.
5. Mengawal siapapun pemerintahan yang berkuasa untuk berada dalam koridor nilai-nilai yang kami perjuangkan yang memungkinkan mereka membentuk pemerintahan melalui prosedur demokrasi yang adalah buah dari perjuangan kami. [mc]

98 : Kami Tetap Melawan

Juru Bicara:
Mangapul Silalahi
Sangap Surbakti
Nandang Wira
Agus Rihat
Edysa Girsang