Kenapa Saya Suka dengan Elit-elit Orang China Ketimbang Pribumi?

Nusantarakini.com, Serawak –

Reformasi Indonesia yang berjalan sejak 1998 hingga sekarang menjadi kesempatan emas dan leluasa bagi elit-elit China di Indonesia untuk melipatgandakan pengaruh mereka di berbagai bidang yang telah mereka tekuni. Ekonomi dan bisnis serta industri sudah jelas. Sekarang mereka masuk lebih dalam ke bidang politik dan birokrasi.

Di bidang birokrasi, suatu bidang yang selama ini didominasi oleh pribumi Indonesia, mulai ditembus oleh elit politik China melalui proses Pilkada dan Pemilu hingga Pilpres sehingga memungkinkan mereka duduk sebagai kepala daerah, anggota DPR hingga menteri baik pada era SBY hingga Jokowi. Yang paling menonjol pada era SBY muncul Mari Elka Pangestu dan pada era Jokowi muncul Enggartiasto. Tentu masih banyak lagi yang lain untuk tidak dilist di sini.

 

Namun yang paling fenomenal di level birokrasi ialah tentu saja Ahok. Ahok melancarkan reformasi perilaku birokrasi yang kemudian menendang dirinya dari kekuasaan birokrasi DKI dan digantikan oleh Anies Baswedan.

Adapun di bidang politik, elit-elit China seolah tak terbendung akibat sistem multipartai yang menuntut padat modal. Maka karena elit-elit China dikenal padat modal, mereka pun dengan leluasa mempengaruhi politik baik di belakang layar maupun langsung sebagai pengatur.

Di belakang layar, publik mengetahui nama yang moncer yaitu James Riady, salah seorang anggota keluarga Riady dari group konglomerat Lippo yang sudah malang melintang di Indonesia, China dan Asia Tenggara. Tidak sulit bagi mereka untuk memasang orang-orang politik yang mereka sukai dan bisa diatur untuk bekerja untuk kepentingan mereka.

Puncaknya ialah proyek Meikarta, yang kemunculannya saja sangat membingungkan dan mengejutkan banyak orang. Namanya saja sudah bikin penasaran, yaitu Mei dan Karta, yang membawa asosiasi orang pada perkawinan antara nama China dan Pribumi. Tentu ini merupakan lambang suatu pengaruh yang signifikan terhadap politik dan bisnis.

Sementara yang muncul secara langsung terbuka ke publik menjadi pengatur politik dengan menjadi bos partai yang ikut bertanding dalam pemilu 2018 ialah Grace Natalie, Ketua Umum PSI, dan Hari Tanoe, bos partai Perindo. Tak banyak yang menyoroti bagaimana dua elit China ini hadir dalam politik Indonesia dewasa ini. Uniknya lagi, sekjen kedua partai ini ditopang oleh Muhammadiyah, yaitu Ahmad Rofik mantan Ketua IMM, dan R Juli Antoni, mantan Ketua Pelajar Muhammadiyah. Padahal agak aneh perkawinan politik macam ini terjadi. Kalau berasal dari NU, masih masuk akal. Tapi apa sih yang tidak dapat masuk akal zaman bablas sekarang ini. Pokoknya ada duit, semua beres. Tak banyak yang menyadari bahwa sebenarnya Grace Natalie merupakan perempuan China.

Zaman serba duit dan nihilnya moralitas dan ideologi seperti yang menjamu kita saat ini, memang zaman dengan atmosfer yang melayani kaum plutokrat. Siapa yang punya duit, dapatlah dengan leluasa mengatur kehidupan politik.

Sayangnya, elit-elit pribumi ogah dan abai memahami dan menanggulangi dampak dengan zaman plutikrasi ini. Malahan mereka menikmati dan mengeksploitasi zaman serba duit ini untuk menimbun dan menimbun duit yang hampir tidak pernah puas-puasnya. Padahal begitu mereka terperosok dalam sistem plutokrasi dengan membiarkan merengseknya para konglomerat menentukan proses politik, sejurus itu pula mereka di waktu depan akan terdesak dari sistem kekuasaan dan jalan yang lurus bagi elit-elit China untuk berkuasa secara mantap dan mengakar.

Adapun para elit pribumi yang setengah kaya, tidak bisa melakukan apa-apa kecuali marah-marah, tiap hari didera kebencian, kegeraman dan sumpah serapah. Tapi apa yang dihasilkan dari sumpah serapah dan kasak-kusuk di medsos, kecuali stroke dan stress bagi mereka sendiri dan menukar ke rakyat biasa yang sibuk cari makan.

Cara keluar dari masalah ini ialah mengoreksi diri sama-sama dan memutar haluan reformasi yang sudah kebablasan sehingga hanya melayani kaum plutokrat saja dan menutup ruang hidup masyarakat yang tak punya duit. Satu-satunya yang bisa diharapkan mengatasi zaman plutokrat ini ialah kaum intelektual yang bekerjasama secara kuat dengan rakyat yang sudah kapok dan hancur oleh zaman yang diciptakan para elite yang egois dan dekaden didikan Orba di masa lalu.

Isu sebenarnya bagi rakyat bukanlah China vs Pribumi, tapi orang Jahat vs Orang Baik. Orang baik itu jangan kira hanya konsesi orang Pribumi. Justru koruptor terbesar dan terberat justru orang pribumi yang sanggup menghisap sesama pribumi dan hutan Nusantara. Orang China yang baik, orang Arab yang baik, orang pribumi yang baik, mari sama-sama kita rebut negara dari para elite yang mirip hari-hari ini. Jalan Revolusi lebih bagus. Karena dengan itu kita dapat membersihkan jejaring orang busuk di negeri ini.

 

 

~ Bang Kohler, Pemangku Adat Radikal