Ciri Khas Rezim Jokowi dan Pendukungnya: Over Dosis dan Tidak Pede!

Nusantarakini.com, Yogyakarta – 

Sepertinya saat ini para pendukung tuan presiden jokowi beserta instrumen pemerintah dibawah rezim, banyak melakukan “Blunder atau Offside Politik (meminjam istilah dalam sepak bola). Untuk Menghadapi Pilpres 2019, Dosis Pencitraan Presiden Jokowi Ditingkatkan Dengan Cara Merusak tatanan hukum, Etika dan Tatakrama Protokoler Negara.

Diangkatnya Komjen. M. Iriawan oleh kemendagri yang notabene adalah polisi aktif dan banyak menuai kontroversi publik, karena adanya pelanggaran serius terhadap regulasi yang ada, sepertinya diacuhkan begitu saja oleh pemerintah tanpa mau mendengar kritik publik dialam demokrasi diera keterbukaan seperti saat ini.

Pasca hari raya idul fitri, ternyata kegaduhan demi kegaduhan muncul dan semua diawali oleh pendukung tuan presiden jokowi yang sepertinya memiliki hobby membuat gaduh suasana politik di negeri ini, sehingga menggerus image publik terhadap pencitraan tuan presiden yang sudah terlampau over dosis ketimbang kerja nyata yang dihasilkan oleh kinerja tuan presiden.

Bayangkan saja saat sejumlah orang hendak mudik lebaran beredar banyak spanduk “Tol Milik Jokowi” di beberapa ruas sejumlah pintu masuk tol dan tulisan “Terimakasih Pak Jokowi karena sudah membangun jalan tol, Pemerintah yang dulu ngapain aja”. Begitu tulisan dalam spanduk tersebut menuai kontroversi publik lantas spanduk-spanduk tersebut menghilang entah kemana?

Kemudian di awal hari raya pencitraan yang begitu over dosis bisa kita lihat di beberapa gambar yang bertebaran di media sosial adanya sejumlah orang yang katanya tukang becak, “menurut para pendukung tuan presiden”, yang menghadiri halal bihalal di Istana Bogor yang mengenakan celana pendek dan topi caping, yang terlihat jelas foto tersebut disebarluaskan hanya untuk pencitraan meski harus menabrak aturan main.
http://m.tribunnews.com/nasional/2018/06/15/pakai-kaus-dan-sendal-jepit-sejumlah-tukang-becak-silaturahmi-dengan-jokowi-di-istana-bogor.

Meski sudah membuat pencitraan yang begitu over dosis, tapi tuan presiden tampaknya kurang percaya diri (gak pede) untuk memenangkan pencapresannya di 2019 mendatang. Salah satunya di daerah Jawa Barat yang pada akhirnya, melalui tangan Kemendagri tuan Presiden mengganti pjs. Gubernur Jawa Barat dengan Komjen. M. Iriawan yang notabene loyalis tuan Presiden pada aksi 411 dan 212 yang telah mentersangkakan Habib Riziek Shihab dalam kasus Chat Fitnah, yang kini telah di SP3 oleh penyidik Polri.

Pencitraan sepertinya menjadi modal utama bagi tuan Presiden dan para pendukungnya untuk mencitrakan diri kalau tuan Presiden Jokowi adalah orang paling berjasa dalam pembangunan di republik ini, sedangkan pemerintah sebelumnya sepertinya tidak memiliki jasa apapun dalam hal pembangunan terhadap bangsa dan negara. Mainset berfikir seperti ini sangatlah salah kaprah, dan tidak benar. Menghilangkan hasil kinerja pemerintahan sebelumnya sama saja artinya para pendukung tuan presiden menghilangkan kinerja mantan presiden Soekarno, Soeharto, Habibie, Gusdur, Megawati sampai pada SBY.

Meski sudah melakukan pencitraan yang begitu masif dan over dosis bagi tuan Presiden, para pendukung tuan Presiden sepertinya tidak bisa membendung gerakan 2019GantiPresiden yang justru malah makin masif dan meluas di sejumlah daerah dan kota-kota besar di negeri ini. Tampaknya pola pencitraan yang berlebihan tidak ada efeknya sama sekali bagi rakyat kebanyakan, “karena rakyat butuh kebijakan pemimpin yang berpihak kepada rakyat”, ketimbang pemimpin yang hanya kelihatannya saja yang merakyat.

Di era gadget seperti saat ini, masyarakat lebih cepat mendapatkan informasi yang akurat menyangkut banyaknya kebijakan tuan presiden yang tidak berpihak kepada rakyat. Jadi sebaiknya ide dan gagasan tentang merakyat atau tidaknya tuan presiden itu dikemas dalam sebuah kebijakan ketimbang dengan membangun pencitraan yang seolah merakyat, karena saya justru melihat rakyat yang kini di cerdaskan oleh media sosial, tidak lagi menyukai pencitraan yang over dosis dan minim ide dan gagasan.

Sebagai pesan penutup, justru pencitraan yang tuan presiden dan pendukung tuan Presiden kemas seperti saat ini, sebenarnya malah semakin memperlihatkan ketidak mampuan tuan Presiden sebagai seorang pemimpin. Karena untuk jadi seorang pemimpin tidak cukup hanya sekedar dipoles dengan pencitraan yang masif di depan publik, tapi sebaiknya tuan Presiden harus memulai dengan merubah image sebagai pemimpin negeri yang menjadi alat pemersatu bangsa dan bukan sekedar sebagai petugas partai, “Mengutip statement ibu Ketua Umum”.

Waallaahul Muafiq illa Aqwa Mithoriq,
Wassallamualaikum Wr, Wb.

*Pradipa Yoedhanegara, Pemerhati Sosial Politik. [mc]