Warkop-98

Pohon Plastik di Tengah ‘Post Truth Society’

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Sadar atau tidak, suka tidak suka, kita telah berkembang menuju sebuah masyarakat yang beriman pada kebenaran parsial yang hanya memenuhi emosi dan selera individual kita semata.

Apa yang benar dan apa yang salah jadi ditentukan oleh ego dan kecenderungan personal kita. Baru-baru ini heboh soal kasus pohon plastik di Jakarta, sebagian orang ramai-ramai membuli Gubernur Anies, menyebutnya ngawur, bodoh, dan lainnya sambil membandingkan kinerjanya dengan Ahok. Pendukung Anies bereaksi, mereka menganggap hujatan terhadap Anies adalah serangan kepada gubernur muslim dan kaum muslim secara keseluruhan?

Padahal, belakangan ribut-ribut ini terklarifikasi bahwa pohon-pohon plastik itu sudah ada sejak tiga tahun lalu, dianggarkan di era Ahok dan Anies memang lalai karena baru mengetahui pemasangan pohon-pohon plastik itu setelah kontroversinya terlanjur viral. Bisakah kita melihat dengan cara seperti ini? Sesuai fakta yang ada? Rasanya sulit. Kita terlanjur menjadi ‘post truth society’.

Banyak sekali contoh lain dari fenomena ‘post-truth society’ atau ‘post-truth politics’ ini. Kebenaran diproduksi dan disebarkan hanya berdasarkan preferensi personal belaka. Bermodal ‘screen capture’ percakapan di handphone, potongan video sangat pendek dengan kualitas rendahan, foto yang hanya menangkap momen kecil dari peristiwa yang besar, kita cenderung terburu-buru mengambil kesimpulan, memberi reaksi, menghakimi, membuli, memviralkan… Padahal kita tidak tahu kebenaran versi utuhnya.

Belakangan beredar ‘screen capture’ kesaksian sepasang sahabat yang main ke Carrefour Lebak Bulus dan mereka marah karena di pusat perbelanjaan itu diputar lagu ‘2019 Ganti Presiden’… Screen capture itu menyebar cepat sekali, di kalangan kubu yang menolak gagasan 2019 Ganti Presiden tentu saja, diiringi ajakan untuk memboikot Carrefour. Di waktu yang hampir bersamaan, beredar ‘hoaks’ anak kecil yang meninggal karena minum Coca Cola saat berbuka puasa di KFC… Dibumbui sentimen anti-produk asing, berita itu viral di mana-mana tanpa mengecek kebenarannya yang ternyata sama sekali berbeda.

Ini memang situasi yang menyedihkan. Masyarakat kita bukan sekadar rentan terhadap hoaks, tetapi memiliki kecenderungan besar untuk menafsirkan ‘hoaks’ itu sesuai preferensi politik dan sistem kepercayaan yang mereka bangun sendiri-sendiri. Setelah ‘post-truth’ kasus video penistaan agama yang melibatkan Ahok dua tahun lalu, rasanya masayarakat kita makin parah mengidap penyakit ini. Segala hal ditarik pada dua versi kebenaran yang digeneralisasi secara membabi buta sebagai pro atau anti Islam? Mendukung atau menolak penista agama?

Pidato presiden dipotong dan diekspos habis-habisan kelemahan komunikasi publiknya, sementara hasil kerja lainnya dilupakan dan ditiadakan begitu saja. Video Prabowo yang bertelanjang dada pasca deklarasi capres, dibuli habis-habisan dan diserang personalitasnya, tanpa mau mengakui bhawa Prabowo memang calon presiden yang boleh mengajukan diri karena memiliki gagasan yang ditawarkan.

Saya kira masing-masing kubu sama-sama mengidap ‘post-truth’ akut yang menyedihkan, diperparah dengan sebutan-sebutan hewan ‘bong’ vs ‘kampret’, dibuat lebih gila dengan legitimasi superioritas akal yang berusaha merendahkan pihak lain dengan tuduhan yang tidak main-main: kaum bumi datar, kaum daster, bani serbet, bong 200, IQ 200 sekolam, dungu, tempurung dan lainnya.

Mau sampai kapan kita seperti ini? Mau sampai kapan kita jadi gerombolan tunanetra yang diminta untuk mengemukakan kebenaran tentang gajah di dongeng para sufi? Alkisah, sekelompok tunanetra diminta menerangkan apa itu gajah setelah diberi pengalaman langsung menyentuh gajah. Tunanetra yang satu memegang belalainya, yang satu memegang perutnya, ada yang memegang ekornya, yang lain memegang kakinya.

Ketika ditanya apa itu gajah, semuanya berdebat dan berusaha membela kebenaran versinya masing-masing, sesuai dengan pengalamannya masing-masing. Tunanetra yang memegang perut bersikukuh mengatakan gajah itu bulat, yang memegang buntut mengatakan gajah itu panjang dan berumbai bulu, yang memegang kaki mengatakan gajah itu tinggi dan kokoh. Apakah masing-masing mereka salah? Mungkin tidak. Tetapi kesaksian mereka tentang kebenaran gajah sebenarnya parsial belaka, tak ada satupun yang menangkap gambar gajah secara utuh!

Akhirnya, sekarang kita punya PR besar: Bukan hanya menangkal hoaks, tetapi sekaligus menyadarkan masyarakat dari kecenderungan besarnya untuk menafsirkan kebenaran seenak jidat sendiri. Kita harus meloloskan masyarakat dari bahaya ‘post-truth politics’ atau ‘post-reality politics’ ini. Jika tidak, sampai kapanpun kita akan tegang melulu, kenceng melulu, nabrak-nabrak, saling berbenturan dan bertengkar.

Jika begitu terus, energi bangsa akan terus terkuras. Kita tidak hanya akan bertengkar soal pohon plastik, tetapi masih banyak lagi. Kita bisa berantem soal apa saja. Karena kita sudah tidak memiliki ruang toleransi yang cukup untuk kebenaran versi orang lain, tidak punya kesadaran untuk menunda fakta dan meneliti kebenaran yang lebih utuh dan sahih. Kita terlanjur suka terburu-buru dan salah-salah melulu.

Yang paling berbahaya, ‘post-truth’ ini tentu bisa berujung konflik horizontal yang nyata. Berawal dari saling membenci sesama saudara, saling iri sesama saudara, kita bisa berkelahi betulan. Kita tidak mau itu terjadi. Jangan sampai itu terjadi. [mc]

Jakarta, 2 Juni 2018

*Fahd Pahdepie, Penulis yang tertarik dengan banyak hal.

Sumber : Facebook

 

Terpopuler

To Top