Tausiah

Puasa Ramadhan (10)

Nusantarakini.com, Jamaica Hills – 

Manusia itu menjadi manusia karena tiga elemen dasar penciptaannya menyatu dalam bangunan hidupnya. Saya menyebut tiga elemen ini sebagai pilar hidup. Manusia tidak menjadi manusia kecuali ketiganya menyatu (integratif) dalam hidupnya.

Jika tidak maka seseorang nampak seperti manusia, tapi sejatinya berpura-pura sebagai manusia. Boleh jadi justeru mereka adalah “bagaikan hewan-hewan, bahkan lebih jahat dari hewan-hewan” (Al-Quran).

Ketiga Pilar hidup manusia itu adalah jasad, akal, dan ruh. Jasad dibentuk dari tanah liat (thiin), akal dengan “ta’lim” (allama), dan ruh dengan ditiupkan (nafakha). Semuanya menjadi pilar penciptaan dari awal manusia diciptakan.

Menyatunya ketiga pilar hidup inilah secara imbang dan sehat, menjadikan manusia sebagia ciptaan terbaik (ahsana taqwiim), bahkan menjadi makhluk yang termulia (karramna Bani Adam). Kenyataan inilah pulalah yang menjadikan Allah memerintahkan bahkan kepada malaikat untuk bersujud kepadanya sebagai simbol penghormatan.

Kelebihan-kelebihan itu pulalah yang menjadi dasar utama kenapa manusia terpilih, bahkan dengan kesempurnaan ciptaan ini pula, manusia itu sendiri yang menerima tanggung jawab kekhilafahan itu. “Dan manusia memikulnya. Sungguh dia itu zholim dan jahil”.

Agama Islam sebagai agama yang sejalan dengan tabiat dasar penciptaan dan datang untuk menjadi petunjuk hidup sejalan dan senyawa dengan ketiga pilar kehidupan manusia. Islam tidak datang menjadi racun hidup, bahkan tidak pula menjadi penghalang bagi pengembangan ketiga pilar hidup itu.

Perintah-perintah Al-Quran maupun hadits-hadits Rasul untuk mencari dunia (materi) bukan setengah hati. Tidak sebagaimana disalah pahami orang, seolah Islam anti dunia. Justeru Islam memerintahkan manusia untuk membangun dunia ini. Bukankah salah satu makna dari khilafah adalah “imarah” yang berarti memakmurkan dan membangun bumi ini.

Akal sebagai salah satu pilar penciptaan juga ditopang penuh ajaran Islam. Kata terbanyak disebut dalam Al-Quran, setelah kata-kata yang berkaitan dengan Pencipta (Allah) adalah kata yang berkaitan dengan akal manusia. Ilmu, akal, fikir, tadabbur, dan semaknanya diulang di berbagai tempat dalam Al-Quran. Tidak heran jika ayat pertama yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW adalah IQRA’ (bacalah).

Tapi pilar terpenting dari semua itu adalah pilar spiritualitas (ruh) manusia. “Dan Kami tiupkan ke dalam diri manusia dari Ruhku”. Ayat yang menggambarkan urgensi spiritualitas manusia, sehingga seolah Allah sendiri yang meniupkan ruhNya kepada manusia.

Di sinilah rahasianya kenapa semua amalan dalam Islam, baik yang bersifat sosial, apalagi yang memang bersifat ritual, semuanya mengandung aspek ruhiyahnya. Makan misalnya dimulai dengan doa: “Wahai Tuhan berikanlah barokah pada makanan yang Engkau berikan kami dan barokah pada minum kami, dan jagalah kami dari api neraka”.

Permohonan barokah menunjukkan bahwa pada makanan kita itu ada aspek ruhiyahnya. Bukan sekedar kelezatan materinya.

Demikian pula amalan-amalan ritual sudah pasti ditujukan untuk menguatkan pilar ruhiyah manusia. Sholat yang esensinya adalah “dzikir” atau mengingat Allah adalah amalan yang memang penuh dengan “spiritual nourishment” (makanan ruh).

Masalah kemudian timbul ketika kehidupan ruhiyah manusia menjadi termarjinalkan. Dan itu tentang terjadi karena manusia sangat mudah untuk lupa. Kelalaian manusia dalam menguatkan ruhiyahnya, manjadikannya kehilangan keseimbangan. Dari hari ke hari hidupnya hanya memperhatikan hidup materinya.

Tendensi seperti itulah yang kita namai dengan hidup materialistik. Hidup yang memburu dunia semata dan lalai dari aspek hidup lainnya. Akibatnya, karakter manusia berubah dari katakter manusia sejati menjadi karakter hewani.

Di sinilah Al-Quran kerap kali memanggil sebagian manusia dengan panggilan hewan. Boleh jadi bukan secara fisik, tapi tabiat hidupnya yang berubah menjadi tabiat hewani. Ada yang dipanggil anjing, kera, babi, bahkan kata “an’aam” itu sendiri terpakai.

Di sinilah puasa menjadi sesuatu yang berharga mahal. Karena dengan puasa manusia bermujahadah mengembalikan hidupnya ke tabiat dasar itu. Hidup yang tidak merendahkan aspek ruhiyahnya. Justeru dengan puasa mengesampingkan sementara dunianya, demi tumbuhnya nilai-nilai spiritual dalam hidupnya.

Alangkah ruginya manusia kalau hidupnya hanya untuk materi. Gajah jauh lebih besar, harimau boleh jadi jauh lebih kuat, dan kerbau kemungkinan makannya lebih banyak. Dan kalau mati, jasad manusia semuanya menjadi kotoran dan kembali menjadi tanah. Tapi hewan minimal kulitnya memberikan manfaat kepada manusia.

Maka dengan puasa ini kita menguatkan ruhiyah kita, untuk mengimbangi liarnya hidup dunia (materi). Sehingga pada akhirnya aspek spiritualitas manusia ini mampu mengimbangi bahkan menjadi pengontrol dorongan materi (nafsu) yang kerap kali lepas kontrol.

Puasa Ramadan adalah pupuk yang menumbuh suburkan jiwa, sehingga nilai-nilai keilahian tumbuh kuat. Dengan jiwa yang subur dengan nilai-nilai ilahiyah ini akan nampak prilaku yang manusiawi. Yaitu prilaku yang terbangun di atas kasih sayang, tenggang rasa, dan cinta. Semoga!

Jamaica Hills, 26 Mei 2018

*Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation. [mc]

Terpopuler

To Top