Warkop-98

AL NAKBA: Serial Pasca Jokowi (7)

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Tujuh puluh tahun yang lalu, 14 Mei, orang-orang Palestina meratapi apa yang mereka anggap sebagai “Tragedi Awal Kehancuran” yang seharusnya tidak perlu terjadi, apabila saja mereka waspada dan tidak tertipu propaganda Yahudi dan Barat. Tragedi yang menghancurkan dan meluluhlantakkan Tanah Air dan Bangsa Palestina tersebut terus berproses sampai hari ini. Orang-orang Arab Palestina menyebutnya Al Nakba atau the Catastrophe.

Hatta, tercapailah kesepakatan atas dasar toleransi yang tinggi dari bangsa Arab Palestina terhadap komunitas Yahudi pendatang. Atas dasar toleransi itu, para Yahudi pendatang itu dibolehkan menyampaikan deklarasi keberadaan masyarakat Yahudi di tanah Palestina. Ternyata pada 14 Mei 1948 itu mereka mendeklarasikan berdirinya Negara Israel. Bangsa Palestina terlambat, tertipu dan tidak mampu mencegahnya. Ribuan tentara Israel bersenjata perang lengkap menyerbu orang-orang Arab Palestina, bahkan mereka berhasil mengusir 600 ribu penduduk asli Arab Palestina keluar dari Tanah Airnya sampai hari ini.

Jumlah mereka di pengungsian sudah mencapai lima juta orang. Mereka mendiami kam-kam pengungsi di Libanon, Suriah dan Irak. Sebagian yang lain berpindah ke Mesir. Nasib mereka tidak menentu dan terlunta-lunta. Israel menolak kedatangan mereka untuk kembali.

Sejarah kedatangan imigran Israel dimulai pada masa Perang Dunia Pertama, 1914-1918. Sesudah Rezim Ottoman dikalahkan, Inggris menguasai Timur Tengah dan Palestina. Di Eropa pada waktu itu muncul gerakan Anti Semit, anti Zionis Yahudi. Sedang di Inggris kebetulan mayoritas pemerintahnya dikuasai Yahudi, termasuk Menteri Luar Negerinya, Sir Arthur Balfour.

Pemerintah Inggris merasa prihatin dengan keadaan Komunitas Yahudi di Eropa itu. Karena itu, Balfour menulisi Ketua Komunitas Yahudi, Walter Rothschild, menyampaikan dukungan Pemerintah Inggris atas pembentukan “national home” bagi masyarakat Yahudi di tanah Palestina, dengan tanpa mengurangi hak dan agama masyarakat Arab Palestina. Surat tertanggal 2 November 2017 itu kemudian dikenal dengan Deklarasi Balfour. Dalam memperingati 100 tahun deklarasi itu, tahun lalu Perdana Menteri Netanyahu berangkat ke London menemui PM Theresa May untuk menyampaikan terima kasihnya.

Syahdan, setelah deklarasi itu imigran Yahudi dari seluruh dunia kemudian tumpah-ruah menuju tanah Palestina dan menghuni di sana, dibantu oleh tentara pendudukan Inggris. Protes dan, bahkan konflik bersenjata dan pemberontakan demi pemberontakan, oleh masyarakat Arab Palestina yang menolak keputusan hadirnya para pendatang Yahudi selalu dihadapi dan dipatahkan oleh tentara bersenjata Inggris. Banyak para pemimpin Palestina yang tewas oleh akibat konflik bersenjata itu selama 30 tahun.Sementara penduduk Yahudi yang semula hanya berjumlah tidak lebih dari 5% sudah meningkat menjadi jutaan. Mereka bahkan, selain menguasi tanah-tanah Palestina, juga perekonomian, industri dan keuangan wilayah tersebut. Bangsa Arab Palestina semakin tersudut, dan lemah hampir dalam segala hal.

Rupanya pada awal 1948 itu Pemerintah Inggris memutuskan meninggalkan Palestina dan Timur Tengah. Di Palestina, mereka meninggalkan pula senjara-senjata berat mereka kepada Komunitas Yahudi. Ketika orang-orang Yahudi meminta kesediaan masyarakat Palestina untuk mendeklarasikan keberadaan mereka, para pimpinan Palestina masih tidak keberatan. Ternyata bukan keberadaan masyarakat Yahudi yang dideklarasikan, melainkan Negara Israel. Itu terjadi pada ,14 Mei 1948, yang dianggap sebagai hari lahir Negara Israel.

Mereka, bahkan menetapkan Tel Aviv sebagai Ibu Kota Israel, dan Ben Gurion sebagai Perdana Menteri pertama Israel. Tidak lama sesudah itu Presiden Henry S. Truman dari Amerika Serikat menyatakan dukungannya atas berdirinya Israel. Dengan persenjataan berat peninggalan Inggris, Israel de facto sudah menjadi sebuah negara. Perlawanan rakyat Palestina sepertinya sia-sia. Sebagian dari mereka pun diusir keluar Palestina.

Sejak itu perlawanan Bangsa Palestina terhadap pendudukan Israel semakin mendunia, dan terus berlangsung sampai kini. Berbagai Resolusi PBB tentang kutukan terhadap pendudukan atas Tanah Palestina sudah diterbitkan, tetapi dukungan Amerika Serikat dan para Aliansi Baratnya, selalu mengakibatkan diabaikannya resolusi-resolusi tersebut dan gagalnya perjuangan Rakyat Palestina. Bahkan pasca kekalahan dalam Perang 1967 terhadap Israel oleh gabungan Libanon, Yordania, Suriah, Irak, Mesir dan dengan bantuan beberapa negara Arab untuk membela Palestina, berakibat semakin luasnya wilayah yang diduduki Israel, melebihi tanah yang dihuni bangsa Arab Palestina sendiri.

Memperingati Al Nakba kemarin sekaligus memprotes keputusan Donald Trump memindahkan Ibu Kota Israel dari Tel Aviv ke Jerusalem mengakibatkan tewasnya tidak kurang dari 60 jiwa pemuda Palestina dan ribuan lainnya terluka. Jerusalem adalah kota suci bagi umat Islam, karena di situ berdiri Masjid Al Aqsa, yang dikala Nabi Besar Muhammad SAW, mesjid tersebut pernah menjadi kiblatnya umat Islam, dan ke situlah Nabi melakukan perjalanan malam dari Masjid Haram untuk menemui Allah SWT menerima perintah sholat lima waktu.

Bahkan sebelum itu, dalam serangan-serangan brutal beberapa kali ke wilayah Palestina, mengakibatkan tidak kurang dari ribuan Rakyat Palestina yang tewas, menderita luka dan kehilangan tempat tinggal. Di samping itu pula ribuan rakyat Pelestina lainnya berada dalam tahanan di penjara-penjara Israel.

Apa yang terjadi di Palestina mirip sekali dengan yang terjadi di Singapura. Penduduk Melayu Singapura sudah bisa dikatakan punah, kehilangan tanah dan segalanya, karena terdesak oleh hegemoni dan kolonisasi orang-orang Cina Pendatang. Demikian pula kiranya apa yang sudah terjadi di Tibet, Turkistan dan sedang terjadi di Timor-Timur dan banyak tempat lain.

Di bawah kepemimpinan Joko Widodo sekarang ini, sangat mungkin Indonesia sedang berproses menuju kolonisasi RRC yang didukung oleh orang-orang Etnis Cina Pendatang yang berjiwa penjajah. Mirip sekali dengan proses yang terjadi Tanah Palestina. Di beberapa kota besar, seperti di Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan, sudah mulai tampak wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Etnis Cina dan tertutup bagi Pribumi Indonesia. Semoga pada hari Kebangkitan Nasional 20 Mei ini Rakyat Indonesia sadar, bahwa negeri mereka berpotensi menghadapi situasi catastrophic. [mc] 

20 Mei 2018

*Sri-Bintang Pamungkas, Akademisi dan Aktivis Senior.

Terpopuler

To Top