Analisa

Amin Rais dan Perubahan Sosial, Analisis yang Menarik

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Sebuah konsultan politik berbasis The BIG DATA memberitahu saya tadi malam tentang potensi terbesar yang mampu mengakahkan Jokowi saat ini adalah pasangan Amin Rais-Gatot Nurmantyo atau sebaliknya. Ini hasil rekaman mereka bulan Maret 2018. Sementara sebelumnya, ahli the BIG DATA dari dari group “DE” (saya singkat saja. Tapi paling populer didunia IT kita saat ini) memberitahu saya Gatot-Anies lah yang berpotensi mampu mengalahkan Jokowi.

Mampu atau tidak mampu mengalahkan Jokowi adalah analisa dari data 135 juta rakyat kita yang terekam sebagai pengguna medsos (facebook, tweeter dlsb). Sebagai data saja, tanpa analisa, terekam memang popularitas Amin Rais, Gatot, Anies, Prabowo dan khususnya Imam Besar Habib Rizieq masuk dalam 10 tokoh terpopuler saat ini. Analisa adalah persepsi. Data adalah fakta.

(Sebagaimana tulisan Dahlan Iskan,tycoon media massa, yang viral bulan lalu, saat ini adalah era The Big Data. Artinya era lembaga survey dan tentunya juga era opini elit sudah harus dikebelakangkan – bahasa halus untuk kuno. Era the Big Data adalah era “real time”, bukan era periode survei; era sensus bukan sampling 1200 orang; dan era simulasi proyektif.)

Mengapa Amien Rais?

Info tentang Amien Rais yang berpotensi mengalahkan Jokowi di atas tentunya informasi personal. Saya tidak mungkin memulai argumentasi sesuai judul tulisan ini dari hal itu. Dan soal the Big Data, kelompok ahli bidang ini umumnya tidak menjadi konsultan politik terbuka seperti lembaga survei. Sehingga informasi mereka lebih banyak diperoleh publik di dunia maya.

Untuk membangun sebuah diskusi yang ilmiah, saya harus berargumentasi. Untuk itu saya harus membangun premis. Ada 3 hal di bawah ini yang menjadi acuan saya, yakni:
1) Reformasi dan Kontroversi AR sebagai Bapak Reformasi.
2) AR dan 212
3) AR dan Ketimpangan Sosial

1) Reformasi dan Kontroversi AR sebagai Bapak Reformasi

Sri Bintang Pamungkas (SBP) dan beberapa eks mahasiswa pelaku demonstrasi 98, beberapa hari lalu, mengecam AR sebagai pengkhianat. Judul berita sebuah situs online berpengaruh, menyebutkan “Sri Bintang Cs. Menyebut Amien Rais Pengkhianat”. Kata-kata pengkhianat ini ditujukan pada Amien Rais tentu karena dua hal, pertama, adanya pengakuan bahwa Amien adalah penanggung jawab Reformasi Politik di Indonesia. Kedua, adanya alasan untuk menyebutkan AR sebagai pengkhianat, yakni, kegagalan reformasi membawa perbaikan nasib bangsa selama 20 tahun ini, khususnya, dalam versi SBP adalah bersumber dari amandemen UUD45.

Masinton Pasaribu, anggota DPR RI, pelaku sejarah 98, di sisi lain, misalnya, membantah Amien Rais pengkhianat, namun mengklaim bahwa tidak ada penokohan tunggal pada peristiwa reformasi, namun, semua pelaku adalah tokoh.

Dari sisi Masinton ini, tentu persepsi seseorang menjadi tekoh adalah di luar kemampuan seorang tokoh tersebut. Penyebutan tokoh terhadap sesorang umumnya terjadi karena catatan sejarah memang menempatkan seseorang itu pada sentral perubahan. Dari peristiwa 98, khsusnya pertemuan Ciganjur, tokoh oposisi yang muncul sebagai perwakilan rakyat selama masa itu adalah Amien Rais, Sri Sultan Hamangkubono, Megawati dan Gus Dur. Jadi Amien sebagai tokoh adalah kehendak sejarah. Dan tentu saja karena kehendak pengikutnya.

Konteks penyebutan “pengkhianat” pada Amien Rais oleh Sri Bintang Pamungkas bersumber pada terjadinya perubahan UUD45 Asli menjadi UUD45 Amandemen, seperti yang berlaku saat ini.

Sri Bintang dan beberapa tokoh lainnya yang ingin kembali kepada UUD45 asli atau UUD45 Asli dikembalikan, berpendapat bahwa kehancuran Indonesia selama ini berlangsung karena UUD Amandemen telah melenceng jauh dari cita cita bangsa.

Kehancuran itu meliputi, dan berdampak karena, berlangsungnya demokrasi liberal yang bertentangan dengan Pancasila, sila ke 4, Musyawarah dan Mufakat. Berlangsungnya ekonomi pasar bebas (free market and neoliberal), yang bertentangan dengan pasal 33 UUD45 yang Asli; bisanya orang Indonesia non pribumi jadi Presiden, bertentangan dengan pasal 6 UUD45 asli; hilangnya fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan hilangnya GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara).

Kekecewaan Sri Bintang terlebih lebih karena keyakinan dia (yang dapat dibaca dalam tulisan2nya selama ini) bahwa Jokowi adalah seorang WNI keturunan, dan bisa menjadi presiden di Indonesia karena hasil amandemen UUD45 tersebut.

Dan bagi Sri Bintang, serta tokoh tokoh yang menuntut kembalikan UUD45 Asli, Amien Rais adalah penanggung jawab semua ini. Karena dia adalah ketua MPR saat berlangsungnya Amandemen.

Ada dua hal yang perlu dipikirkan dalam melihat fenomena tuduhan SBP ini, pertama, apakah tanggung jawab yang dibebankan pada Amien Rais bersifat mengikat, artinya memberikan kepercayaan pada Amien Rais untuk melakulan perubahan kembali arah bangsa yang sudah rusak ini?

Kedua, Seberapa rusak sebenarnya bangsa ini karena perubahan UUD45 Asli tersebut? atau pertanyaan lainnya, seharusnya bagaimana sih perubahan atau amandemen yang diinginkan gerakan mahasiswa saat itu? Salahkah Amien sebagai ketua MPR mewujudkan tuntutan amandemen, sebuah dari 6 butir tuntutan mahasiswa?

Soal tanggung jawab Amien tentu, sebagai seorang tokoh perubahan, harus bersifat mengikat. Hal yang sama terjadi di Malaysia saat ini, meskipun sudah sangat uzur, Mahatir tetap mengambil beban melakukan perubahan sebagaimna dia terikat pada perubahan yang diciptakannya 50 tahunan lalu di Malaysia. Artinya, sepanjang masih ada nafas, Amien harus mengembalikan arah reformasi kita.

Sedangkan soal dampak amandeman, seharusnya hal ini dibahas dalam kajian yang dalam. Beberapa pihak pro amandemen, meyakini bahwa amandemen tersebut berguna karena telah membebaskan bangsa ini dari tirani Suharto yang otoriter, khususnya menciptakan pemilihan umum dan pembatasan masa periode Presiden serta kebebasan berbicara; dan menciptakan desentralisasi dalam pembangunan yang ‘Jawa Centris” selama itu.

Dan tentu saja, amandemen adalah tuntutan penting bangsa kita dalam konteks waktu itu. Sehingga, jika perubahan perlu dilakukan, kita tidak membebankannya sebagai sebuah dosa sejarah. Apalagi ditujukan bagi Amien Rais.

2) Amien Rais dan 212

Pergerakan rakyat selama ini, khususnya dalam periode rezim Jokowi, terhimpun dalam gerakan massa yang sering dikenal sebagai 212.

Tuntutan 212 selama ini bermuara pada pengakuan hak-hak politik ummat Islam, kemandirian ekonomi dan anti tenaga kerja RRC.

Dalam sejarah dunia, gerakan massa yang berjumlah 7 juta massa rakyat melawan sebuah rezim, baru terjadi di Indonesia. Massa tersebut solid dalam kepemimpinan tokoh Islam Imam Besar Habib Rizieq.

Olehkarena Habib Rizieq tinggal di pengasingan (in exile), para ulama dan habaib selama ini merujuk kembali pada kepemimpinan Amien Rais, yang diperlihatkan dalam posisinya sebagai pembina Persaudaraan Alumni 212. Dan keberadaannya dilegitimasi Habib Rizieq .

Hal di atas soal organisasi. Sebaliknya, soal narasi atau gagasan politik, Amien Rais terus menerus memberikan gagasan gagasan besar yang diinginkan rakyat. Misalnya, usir tenaga kerja asing, Jokowi ngibul soal landreform, partai Allah vs partai Setan, dlsb. Narasi yang dibangun dan disampikann oleh Amien menjadi pendewasaan rakyat, sekaligus menggerakkan arah bangsa kembali ke cita-cita proklamasi.

Terakhir, Amien meyakini untuk mendukung Prabowo Subianto sebagai Capres tidak perlu terjebak pada pragmatism politik, yakni harus ada logistik. Amien menunjukkan politik ideologis, yakni berjuang karena cita cita, bukan uang yang utama.

3). Amien dan Ketimpangan Sosial

Selain tema “murni” keagamaan, sebagaimana mayoroitas kyai, Amien masuk pada tema sosialistik. Amien mengutuk penguasaan tanah jutaan hektar oleh segelintir pengusaha aseng dan asing. Sementara rakyat kecil kesulitan mendapatkan tanah. Tema ini di masa Suharto dulu dikatagorikan sebagai tema komunis. Namun, bagi Amien Islam yang nusantara adalah yang memastikan keadilan sosial. Pikiran Amien sejalan dengan Bung Karno, bahwa Islam yang hanya memikirkan surga vs neraka adalah Islam Sontoloyo.

Sebagai ulama, Amien seperti Ali Syariati di Iran dan Sayid Qutb di Mesir, Islam hanya sempurna jika Islam mampu menjadi ajaran pembebasan. Yakni, mengangkat derajat orang orang miskin.

Disamping urusan tanah untuk rakyat, Amien juga mengutuk banjirnya buruh-buruh Cina di Indonesia. Hal ini dianggap sebagai biang keladi semakin tingginya pengangguran dan tidak merosotnya jumlah pekerja formal penuh waktu (full time job and permanent job)

Dihadapan puluhan ribu massa buruh di Gedung DPR RI, 1 Mei lalu, Amien merobek robek topeng pekerja China sebagai simbol perlawana anti TKA asing.

Urusan petani, buruh, mkskin kota yang terus menjadi agenda perjuangan Amien, disamping tema-tema Islam, menempatkan Amien sebagai figur sentral yang paling dinamis saat ini.

Amien Rais dan Arah Politik Bangsa

Dari 3 hal di atas, tentu kita bisa membangun hipotesa bahwa rakyat Indonesia membutuhkan Amien Rais. Betulkah?

Fenomena kemenangan tokoh uzur Mahatir di usia 92 tahun yang akan memimpin Bangsa Malaysia, saat ini sudah mencengangkan kita. Tesis usia dalam politik menjadi terbantahkan. Muda versus tua hanyalah soal spirit perjuangan dan gagasan.

Namun, kita kembali pada persoalan utama kita ke depan. Pertama, Indonesia perlu melakukan koreksi atas reformasi yang sudah berlangsung 20 tahun, tapi gagal. Kedua, Indonesia membutuhkan pemimpin bangsa sebagai “state leader”, bukan seperti pimpinan perusahaan atau manager. Ketiga, Indonesia membutuhkan integrasi nasional yang kuat. Keempat, Indonesia butuh kesegeraan melalukan “Sharing of prosperity” (membagi kemakmuran), bukan menambah kaya orang kaya (saja).

Dalam kerangka tujuan ini, Amien Rais akan menjadi sentral. Namun, sebagai sosok penting dalam barisan oposisi selama ini, lebih penting bagi Amisn tentunya adalah menjaga kebersamaan perjuangan, bukan ego ke aku an dan ambisi buta seseorang. Dalam konteks kebersamaan cita cita bersama adalah di atas ambisi pribadi.

Disitulah nilai Amien dalam melakukan perubahan sosial ke depan. [mc]

*Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle.

Terpopuler

To Top