Nasional

Sepenggal Catatan Atas Pertemuan Syeikh Al-Azhar dan Kyai Agil Siraj, Ketua Umum PBNU

Nusantarakini.com, Jakarta –

Pertemuan antara Kyai Agil Siraj, Ketua Umum PB NU dengan Syeikh Al Azhar menyisakan perasaan mengganjal dalam benak siapa saja yang mencermati dengan saksama peristiwa tersebut. Kyai Agil dengan bangganya mengungkapkan isu Islam Nusantara yang seakan-akan sebagai jawaban atas realitas Islam Araby. Karuan saja terasa ada kegetiran dengan pembandingan tersebut. Kenapa? Karena Syeikh Al Azhar menyindir dengan halusnya bahwa sebenarnya hal semacam itu tak terlalu diperlukan. Islam bahkan mengajak kepada kesatuan antar bangsa-bangsa yang ada dalam naungan Islam.

Saya sependapat dan menyetujui secara mutlak seruan Syeikh tersebut. Karena sebenarnya demikianlah adanya Islam. Bukan untuk melegitimasi adanya berbagai versi Islam. Bahwa kenyataan dan sentuhan beragam tersebut terhadap Islam, hal itu tak terhindari mengingat Islam itu pada akhirnya dipengaruhi oleh penganutnya masing-masing yang memiliki perbedaan kulturalnya masing-masing. Tapi, bukan untuk ditegaskan, bukan? Apalagi untuk dikesankan seolah Islam versi dialah yang terbaik. Rasanya Muhammad Saw akan kecewa manakala dia melihat masing-masing dari umatnya membangga-banggakan versinya dan meremehkan versi Islam saudaranya yang lain. Menurut akal sehat, tentulah hal semacam itu kekanak-kanakan dan berat untuk diterima.

Persoalan semacam ini sebenarnya tak perlu muncul manakala umat Islam bebas dan merdeka dari tekanan dan tuntutan orang asing terhadap perilaku dan motif beragama kita masing-masing. Asinglah yang menghendaki terwujudnya versi-versi Islam semacam itu. Kenapa?

Karena orang asing yang tidak respect terhadap Islam dan umat Islam, ingin suatu Islam yang tidak mengancam kedudukan dan kenyamanan kuasa mereka selama ini, sehingga mereka alamatkan kepada umat Islam agar menyesuaikan diri dengan tuntutan mereka. Tuntutan mereka adalah Islam yang lunak dan dapat diatur sesuai keinginan mereka orang asing itu. Ajaib sekali, mengapa umat Islam mau saja memenuhi tuntutan itu dan berani memodifikasi sedemikian rupa alur Islam yang fitrah itu agar sesuai dengan tuntutan dan standard orang asing. Ini suatu masalah yang fatal sekali bagi otentisitas agama yakni Islam dan kedaulatan serta kemerdekaan beragama seorang Muslim.

Bilamana kita menghargai kedaulatan seseorang untuk menganut agamanya dengan merdeka sepenuhnya, harusnya biarkanlah mereka menghayati agamanya dengan sepenuh-penuhnya, tanpa harus digiring menjadi penganut yang terkebiri dan terkunci oleh pakem dan arahan politik suatu entitas asing.

La Ikraha fiddin. Itu adalah prinsip, lalu kenapa kita tunduk pada paksaan halus dari orang asing terhadap perilaku beragama kita? Selagi seseorang dengan bebas dan mengikuti nuraninya mengimani dan mengamalkan agamanya, betapapun bagi kita tidak cocok, tak perlu mendiktenya untuk memodifikasi ajaran agamanya agar sesuai dengan selera kita. Wahai orang asing yang terlalu jauh mencampuri Islam, mundurlah. Jangan kacaukan keagamaan Islam kami.

Islam kami adalah Islam yang satu. Islam yang dikaruniakan oleh Tuhan yang padanya ada tanggungjawab dan rasa kepemilikan yang kuat bagi pemeluknya.

~ SED

Terpopuler

To Top