Analisa

Expertise Duplication 4.0

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Perpres No. 20 Tahun 2018 dinilai terlalu liberal dalam membuka keran “impor”. Kali ini yang diatur regulasinya bukan impor barang (goods), namun impor manusia (people). Dalam hal ini, yang paling banyak disorot adalah Menakertrans dan Menristekdikti. Keduanya dikritik telah memberikan ruang yang lebih luas kepada TKA untuk masuk (inflow), di waktu yang sama proteksi terhadap TKI dinilai masih lemah.

Kali ini saya mau fokus dulu meneropong kebijakan Menristekdikti, yang kabarnya mau mendatangkan 200 dosen asing tahun ini dan akan digaji sebesar 65 juta rupiah/bulan. Baru-baru ini Dirjen Sumberdaya Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Perguruan Tinggi menyebutkan bahwa jumlah dosen di Indonesia tidak kurang dari 265 ribu orang, dimana baru sekitar 27 ribu yang sudah berkualifikasi doktor (sekitar 10%).

Perpres No. 20 tersebut menyebutkan tentang alih keahlian, dimana para dosen asing tersebut nantinya akan didampingi oleh tenaga/dosen pendamping yang bertugas menyerap knowledge, expertise, network hingga mungkin etos dan profesionalitas yang dimiliki para dosen asing. Jika demikian, mari kita ajukan sedikit pertanyaan basic. Pertama, bagaimana asumsi tentang daya pengaruh (influencing power) dosen asing terhadap dosen lokal? Apakah rasionya mau one lecturer one department (satu dosen asing satu jurusan atau program studi)?, ataukah mau 1:10, 1:20 atau 1:30?

Sekedar ilustrasi, perbandingan antara guru dan siswa di sekolah-sekolah negara maju kira-kira 1:15, dimana satu orang guru mendidik 15 orang siswa. Apakah rasio tersebut dinilai ideal? Baiklah, anggap saja rasio 1:15 itu ideal. Jika demikian, itu artinya kita membutuhkan sekitar 17 ribu lebih dosen asing untuk membuat perubahan terhadap “quality” dosen lokal. Lalu pertanyaannya, 17 ribu dosen asing mau diimpor dalam berapa tahun?

Seandainya mau impor 200 dosen per tahun, itu artinya kita butuh waktu 85 tahun untuk melakukan perubahan secara total. Itu pun jika hasilnya efektif. Selanjutnya, berapa dana yang dibutuhkan jika rata-rata gaji dosen asing 50 juta/bulan? (kita asumsikan 65 juta/bulan adalah rate tertinggi). Itu artinya, pemerintah membutuhkan dana sekitar 10 trilyun/tahun. Siap?

Kedua, tentang gaji 65 juta/bulan, dosen dari negara mana saja yang tertarik? Setelah saya mencari data standar gaji dosen di negara-negara maju (Barat), terutama negara yang saintek-nya unggul, gaji mereka rata-rata sekitar 100 juta/bulan bahkan lebih. Mungkin di negara-negara middle seperti Jepang, Korea Selatan, Tiongkok, gaji 65 juta/bulan masih make sense. Namun, reason to do orang mau berpindah kerja (termasuk hijrah untuk mengajar) sangat beragam, dan tentu, alasannya harus rasional. Ada alasan kenyamanan, keamanan, penghormatan, harga diri, dan yang paling penting adalah fasilitas dan kemudahan bekerja.

Toh banyak tenaga ahli Indonesia yang memilih “hijrah” ke kampus asing demi memperoleh fasilitas yang jauh lebih baik, lalu apa alasannya ekspatriat mau mengajar disini? Apalagi di bidang saintek. Jika yang diimpor adalah dosen filsafat, antropologi, sosiologi dan politik, mungkin saja banyak yang bersedia, itu pun kemungkinan mengandung muatan “ideologis”. Namun buat mereka hidup sederhana mungkin bukan persoalan.

Saya membayangkan bagaimana seorang Clifford Geertz, antopolog asal University of Chicago yang sangat terkenal itu, hidup zuhud ditemani oleh Mbah Yazid di sebuah kampung pelosok di Kecamatan Pare, Kediri selama bertahun-tahun. Waktu saya indekos di Jogja, saya bertetangga dengan Prof. Bernard Adeney-Risakotta, dosen di UGM dan Universitas Kristen Duta Wacana yang kebetulan menjadi salah satu narasumber dalam skripsi saya waktu kuliah di UGM. Rumah beliau tampak sederhana dan khas Jawa, meski cukup besar jika dibandingkan dengan rumah pribumi pada umumnya. Namun, cara hidupnya tampak sederhana. Demikian pula dosen-dosen ekspatriat lain yang pernah saya kenal. Apakah dosen asing di bidang saintek yang akan diimpor nanti akan semacam itu?

Ketiga, apa saja kompetensi prioritas dari dosen asing tersebut untuk kebutuhan pengajaran dan pendidikan? Pengetahuan keahlian, jaringan, etos kerja, profesionalitas, atau apa? Di bidang saintek, agaknya expertise seorang dosen (baik asing maupun lokal) tidak banyak berguna tanpa daya dukung fasilitas (teknologi), yang otomatis juga membutuhkan support dana yang tidak kecil. Saya kemudian berimajinasi, setelah dosen asing didatangkan, pemerintah akan merasa perlu untuk menyediakan dukungan fasilitas yang memadai. Jika ini terjadi, maka nantinya para dosen lokal akan berteriak protes: kenapa tidak dari dulu?

EXPERTISE MANAGEMENT

Saya berimajinasi. Jika paradigma yang dipakai oleh perguruan tinggi masih zaman old, maka akan ada suatu zaman dimana perguruan tinggi tidak menjadi trend kebutuhan akan pengetahuan dan keahlian. Saya katakan, bukan berarti perguruan tinggi akan bubar atau hilang dari muka bumi, namun tidak akan lagi menjadi “trend”. Mereka akan tetap ada, namun masyarakat mempersonifikasikannya seperti seorang kakek tua yang membawa tongkat dengan jalan membungkuk.

Perubahan sosial memang membutuhkan agent of change, pioneer, katalisator, atau apapun namanya yang boleh jadi berwujud manusia (person). Namun, apakah “pengubah” tersebut harus dibarengi oleh “physical mobility” atau tidak, itu yang harus dikaji lebih serius. Beberapa waktu yang lalu, Presiden meluncurkan Roadmap Revolusi Industri 4.0. Namun begitu saya mendengar pemerintah mau mengimpor dosen asing (dan juga TKA lainnya), saya menduga itu baru sebatas wacana dan belum dirumuskan ke dalam program yang rigid dan aplikatif.

Pada awalnya saya berharap, pemerintah seharusnya merumuskan program transfer of knowledge and expertise (alih pengetahuan dan keahlian) di perguruan tinggi (bisa pula di lembaga lain) dengan pendekatan sistem digital (digital system approach), bukan pendekatan manusia (people approach). Di era 4.0 seperti hari ini, dan kemungkinan akan lebih “gila” di masa depan, seharusnya memungkinkan kita untuk menduplikasi pengetahuan dan keahlian sebanyak yang kita mau. Dalam konteks perguruan tinggi, nantinya tidak hanya satu dua universitas yang dapat menikmati “dosen asing”, namun semuanya tanpa terkecuali dapat menikmati sistem keahlian global yang di-manage secara lebih efektif, efisien dan masif.

Dengan expertise management yang dikelola secara high tech, setiap pengetahuan dan keahlian dapat diakses, didokumentasikan, diduplikasi, dimodifikasi dan diaplikasikan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan penggunanya. Di level ini, mobility fisik dosen asing tidak lagi penting, karena setiap mahasiswa bahkan bisa seolah-olah diajar oleh Einstein, Newton, Stephen Hawking hingga Socrates. Apakah ini khayalan? Tentu saja hari ini masih menjadi “fiksi”, dan akan terus menjadi fiksi jika pemerintah terjebak pada fikiran-fikiran zaman old. END. [mc]

*Ikhsan Kurnia, Penulis, Mahasiswa MBA.

Terpopuler

To Top