Betulkah ‘Doktrin Yusril Segudang Kepintaran Tidak Berarti Dibanding Segenggam Kekuasaan?’

Nusantarakini.com, Jakarta –

Segudang kepintaran tidak ada artinya di banding segenggam kekuasaan, ucap Yusril Ihza Mahendra.

Kalimat ungkapan ini tidak main-main. Apalagi yang menyatakan bukan orang sembarangan. Dia orang yang berpengalaman di dunia intelektual dan dunia politik sekaligus. Orang akan mengira,  ungkapan itu lahir dari suatu pengalaman panjang dan refleksi mendalam.

Siapa yang tak mengenal reputasi Yusril. Dia seorang intelektual yang membuktikan kepintarannya menang di berbagai medan laga intelektual, khususnya di peradilan. Yang fenomenal, dia dapat menumbangkan Hendarman Supandji, kendati sedang berkuasa sebagai Jaksa Agung aktif, komplotan SBY. Terbaru dia juga menang atas KPU yang terindikasi ceroboh mencurangi partainya, Partai Bulan Bintang.

Di dunia kekuasaan, pengalamannya juga kenyang. Sejak era Soeharto hingga SBY. Dari deretan rekam jejak semacam itu, menjadikan pernyataannya tentang hakikat dan fenomena kekuasaan terasa menjadi sahih. Malahan mungkin akan potensial menjadi doktrin, seperti halnya pernyataan Lord Acton yang terkenal, Power Tends to Corrupt.

Namun bukan berarti “Doktrin Yusril” temuan pengalamannya ini lepas begitu saja tanpa kritik. Malahan kalau bisa, diktum ini tidak boleh menjadi suatu realitas rutin, kekal dan ajeg. Nanti implikasinya akan amat mengerikan. Di antaranya orang akan meremehkan intelektualitas, ilmu pengetahuan dan etika. Sementara orang akan memuja power, kekuatan dan malahan berbondong-bondong meninggalkan ilmu pengetahuan dan beralih memburu kekuasaan. Padahal kekuasaan itu masih perlu didefinisikan dan diuji fungsi dan dampaknya bagi kemaslahatan umum.

Sebetulnya Yusril Ihza Mahendra saat ini bukanlah orang yang tidak berkuasa segenggam. Bahkan kekuasaannya lebih dari segenggam. Dia Ketua Partai. Dia pengacara disegani dan berpengaruh. Dia seorang ilmuwan hukum tata negara. Dia kaya raya. Dia punya jaringan yang luas, dalam dan luar negeri. Dia punya anggota partai yang bercokol sebagai Law Maker  (DPRD) di daerah. Dia termasuk dari sekian tokoh populer. Dia setiap waktu dapat memanfaatkan dan menggunakan popularitas, kepintaran, kekuasaannya yang lebih dari segenggam itu, networkingnya, kekayaannya, orang-orang loyalisnya, pengaruhnya, guna apa saja. Terserah beliau. Buat perubahan, Ok. Buat perlawanan, Ok. Buat sensasi, Ok. Buat menggentarkan komplotan Jokowi, juga Ok.

Jadi masalahnya sekarang, bukan bagaimana membenarkan ‘Doktrin Yusril’ itu, tapi bagaimana suatu kekuasaan dapat dieksploitasi dan dieksplorasi demi kemaslahatan. Segenggam ditambah segenggam, lama-lama bisa sekarung kekuasaan. Itu kadang-kadang lebih dari cukup untuk menghentikan suatu kekuasaan yang pongah dan lupa diri seperti saat ini.

Di sini timbullah persoalan yang langka beres-beresnya, yaitu soal membagi dan menghimpun kekuasaan dari segenggam demi segenggam itu. Ini soal lain. Ini soal pengorbanan dan kepintaran dalam seni memimpin manusia. Di sini kekuasaan tidak berlaku. Yang efektif adalah kepintaran dan kecerdasan.

Walhasil, jangan sampai  ‘Doktrin Yusril’ tersebut yang terlihat banyak dikutip orang itu dimaknai orang banyak bahwa kecerdasan dan kepintaran itu tidak ada gunanya lagi hari ini. Itu semua tergantung manusianya juga.

Kekuasaan di tangan seorang yang tidak cerdas dan arif, hanya akan menciptakan kerusakan dan kemunduran suatu bangsa serta membuat suatu bangsa menjadi bahan tertawaan dan eksploitasi bangsa-bangsa asing.

 

 

Syahrul E Dasopang/Pemred EkonomiKa