Analisa

PBB Kebangkitan Politik Islam Moderat-Modern

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Islam dan politik, dua kata secara prinsip berbeda. Islam adalah tuntunan seluruh aspek kehidupan manusia, politik merupakan negara kota yang didalamnya diatur mengenai kekuasaan. Tuntunan dan kekuasaan. Maka dapat disimpulkan bahwa islam dan politik adalah bagaimana tuntunan agama agar dapat mengatur kekuasaan dalam bernegara.

Untuk tercapainya tujuan itu, ada satu ruang yang menghubungi. Yaitu adalah partai politik. Partai politiklah yang menghubungi antara Islam dan umat Islam dalam satu mekanisme yang sangat dipengaruhi oleh varian masyarakat dan kepemimpinan. Inilah siklus, inilah feddback yang nenentukan bagi kelangsungan partai politik Islam.

Perjalanan Islam dan politik ibarat dua kekuatan yang ditengahi oleh negara. Negara yang menghubungkan keduanya, hubungan dapat berjalan baik ketika negara dapat mengkompromikan kepentingan Islam. Namun dalam perjalannya, Islam dan negara selalu dipengaruhi oleh siapa yang memimpin.

Bagaikan api dan bara, yang kadang menyala dan kadang padam. Semua bergantung pada kesiapan partai politik menghadapi tantangan. Karena dalam sejarahnya partai politik Islam di Indonesia mengalami dinamikanya sendiri yang akan berakibat pada sistem pemerintahan. Salah satu partai politik itu adalah PBB sebagai partai politik yang diharapkan mampu sebagai partai Islam modern. Partai yang mampu menjembatani umat Islam dan negara, bukan saja moderat, tapi lebih modern.

Jalan Panjang

Kebekuan Islam dan politik di Indonesia, memang sudah berlangsung cukup lama. Kebekuan yang disertai perubahan orientasi organisasi dengan pemikiran politik yang menyertai.

Sejak tahun 1945, dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI, meskipun belum mewakili partai politik, akan tetapi tokoh-tokoh selama sidang berlangsung menunjukkan keteguhan, kebulatan untuk membangun Indonesia merdeka yang bernafaskan Islam.

Masyumi (MIAI), NU, Syarikat Islam, Perti, Persis dan organisasi Islam lain berjibaku mempertahankan konsensus yang menjembatani kesepakatan golongan Islam dan Nasionalis 22 Juni 1945. Sesaat ketika akan ditetapkan, upaya mempertahankan Pembukaan UUD 1945, Pasal 6 Ayat (1) serta Pasal 29 Ayat (1) kandas didetik-detik akhir ditetapkanya UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945 dalam sidang PPKI.

Dibalik kandasnya turning poin di atas. Bagi golongan Islam sangat menyadari dan memahami, karena untuk melengkapi sebuah negara merdeka adalah memiliki konstitusi. Konstitusi itulah kemudian diberi nama UUD 1945.

Kenapa tidak dipolemikkan oleh golongan Islam, saya berkesimpulan bahwa golongan Islam lebih mengutamakan kedaulatan Indonesia, ketimbang berpolemik yang akan berakibat pada terganggunya kedaulatan Indonesia secara konstitusi, sekaligus menunjukkan bahwa Islam Politik memiliki rasa nasionalisme yang sangat tinggi.

Jalur konstitusi menjadi sebuah pilihan bagi Islam. Konstitusi yang ditetapkan 18 Agustus, dalam Pasal Peralihan, yang disertai dengan keluarnya Maklumat Hatta untuk dasar pembentukan partai politik, menjadi dasar sebagai sikap golongan Islam untuk melanjutkan perjuangan secara konstitusional.

Bersandarkan pada ketentuan Peralihan UUD 1945, tertuang secara jelas bahwa “KNIP” adalah lembaga yang memiliki tugas dan kewenangan seperti MPR sampai terpilihnya anggota MPR hasil pemilihan umum satu tahun setelah ditetapkannya UUD 1945.

Satu tahun berlalu, Pemilu juga tidak terlaksana. Partai-partai politik pun terbentuk. Justru, Indonesia mengalami intervensi akibat agresi militer yang dilakukan Belanda.

Pupus sudah harapan partai-partai Islam. Disusul dengan adanya Intervensi Belanda menghasilkan Konstitusi RIS 1949. Konstitusi terpendek sepanjang sejarah Republik, karena konstitusi yang berlaku sejak oktober 1949, tergantikan pada bulan Agustus 1950.

Lima tahun kemudian atau 10 tahun setelah ditetapkan UUD 1945, tahun 1955, Indonesia baru menyelenggarakan pemilihan umum pertama berdasarkan pada UUDS 1950.

Hasil dari Pemilu 1955 kembali membuka kotak tamborah, kotak yang sejak 10 tahun membeku. Maka dalam Dewan Konstituante (hasil pemilu 1955) polemik Islam dan Negara kembali terjadi saat penyusunan UUD baru. (Ahmad Syafi’i Maarif, 2008).

Periode Dewan Konstituante, periode yang digawangi oleh Masyumi. Masyumi dari banyak kalangan dinilai sebagai organisasi politik Islam modern. Modern karena kecakapan para tokohnya dalam berinteraksi.

Kebangkitan Islam modernis juga dapat dilihat dari sikap Islam dan politik melalui jalur resmi negara. Tidak dengan melakukan pemberontakan atau inkonstitusional. Disinilah muncul pemikiran-pemikiran yang menjadi rujukan banyak kalangan akademis. Bahkan banyak tokoh muslim, semisal Nurcholish Madjid, Deliar Noer, Buya Syafi’i yang terinspirasi oleh tokok sekelas Moh. Natsir dan Moh. Roem. Ini bisa dinilai dalam berbagai tulisan.

Lagi-lagi menemui kebuntuan. UUD yang semestinya dirumuskan dalam Dewan Konstituante harus kembali ke UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945 dan pembubaran parlemen. Terlepas apa yang menjadi dasar Sokerno mengeluarkan Dekrit tapi inilah realitas Islam dan politik.

Cara memadamkan api politik Islam yang dilakukan Soekarno memang unik, sebelum dibubarkan, Sokarno tetap meninggalkan jejak perjuangan politik Islam yang dilakukan oleh Masyumi yaitu dalam Konsideran Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Rupanya Bung Karno tidak menginginkan Islam padam sampai ke baranya. Soekarno masih menyisakan sejarah 22 Juni 1945 meskipun dalam konsideran.

Kita tentu bisa berasumsi atau menafsirkan apa maksud dari Soekarno, meskipun sebahagian besar kalangan mengatakan adalah bentuk kesepakatan kedua antara Islam dan Nasionalis. Namun dibalik itu kita sebagai umat Islam tidak pernah mempertanyakan untuk apa kesekapatan itu?

Simsalabim Orde Baru

Dekrit Presiden, satu sisi meninggalkan sejarah, satu sisi menciptakan sejarah. Meninggalkan sejarah, Soekarno tidak menginginkan poros politik Islam di Indonesia hilang.

Saya jadi teringat pidato beliau yang menyatakan “kalau Islam ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara maka kuasailah parlemen.” Sejalan dengan konsideran dekrit, Sokarno masih membuka ruang bagi Islam Politik di Indonesia, hanya dengan catatan mampu mendominasi keanggotaan di parlemen.

Satu sisi, Soekarno ingin menciptakan sejarah baru dengan pembubaran dua partai Islam yaitu Masyumi dan PSII, dua partai Islam yang selalu berseberangan dengan Soekarno secara pemikiran. Pembubaran yang dilakukan Soekarno, diharapkan akan muncul reinkarnasi dari kedua partai yang dibubarkan.

Selang beberapa tahun pasca dibubarkan. Perubahan politik Indonesia melahirkan harapan baru bagi keberlangsungan partai politik Islam.

Orde Baru, kebijakan baru, disertai dengan keinginan Orde Baru untuk kembali menghidupkan wadah politik bagi keluarga Bulan Bintang. diiringi dengan tokoh-tokoh Bulan Bintang yang dibebaskan dari tahanan politik Soekarno disambut dengan positif.

Setelah melalui serangkaian pertemuan, dengan menjajaki tokoh- tokoh eks Masyumi. Soeharto mengajukan syarat untuk kembalinya berdiri partai politik untuk keluarga Masyumi. Pertama tidak menggunakan nama Masyumi dan kedua tidak diperkenankannya tokoh-tokoh utama Masyumi masuk dalam kepengurusan inti.

Inilah awal dari babak baru bagi keluarga Bulan Bintang. Adalah Parmusi dengan komposisi kepengurusan yang akomodatif pada rezim Orde Baru. Akomodatifnya rezim pada Parmusi, dari berbagai literatur mencerminkan adanya persaingan antara keluarga Bulan Bintang dengan Partai NU sejak 1959 sampai berakhirnya Orde Lama.

Sifat akomodatif kompromi memang berbeda ketika Masyumi masih menjadi wadah bagi keluarga Bulan Bintang. Abdul Aziz Thaba, dalam bukunya, sifat akomodatif ini telah menyebabkan posisi partai Islam menjadi lemah. Kelemahan ini yang kemudian mengaburkan sifat partai Islam sebagai ideologi perjuangan politiknya.

Pemilu 1971, Parmusi dan Orde Baru ibarat dua sisi mata uang. Pengalaman masa Soekarno dijadikan dasar Orde Baru untuk meredam politik ideologi. Cara yang efektif dengan kebijakan yang tepat, penggabungan partai-partai politik hasil Pemilu 1971 difusikan. Empat partai politik Islam kemudian difusikan dalam wadah PPP.

PPP dan Orde Baru, berlangsung sejak 1973 sampai 1998. Orde Baru yang melahirkan, Orde Baru juga yang harus tumbang oleh PPP. Dengan demikian, hubungan PPP dan Orde Baru berlangsung sangatlah dinamis. Penuh intrik dan konflik, sebagai warisan Orde Lama, ideologi menjadi suatu dinamika tersendiri antara Islam dan Pancasila.

Islam karena PPP gabungan empat partai Islam, Pancasila adalah ideologi rezim Orde Baru. Bebas nilai, bias ideologi, Orde Baru mengaburkan orientasi militansinya ideologi politik partai Islam dalam PPP. Islam dan Pancasila melebur dalam orientasi substansial, bahwa Islam adalah Pancasila dan sebaliknya. Meskipun dalam satu hal tertentu PPP dan Orde Baru saling berhadapan.

Militansi PPP hanya berlangsung sampai 1978 sejak berdiri di 1973. Selanjutnya PPP sangat akomodatif terhadap Orde Baru, meskipun sempat diwarnai aksi-aksi walkout, hanya di undang-undang perkawinan yang bernuansa ideologi. Selebihnya hanya bersifat kepentingan politik PPP. Melemahnya sikap militansi keislaman PPP memang disebabkan sistem politik yang dibangun oleh Orde Baru. Namun hingga saat ini, demokrasi dan reformasi yang diperjuangkan PPP justru melemahkan ideologi Islam, PPP lebih memilih akomodatif pada penguasa meskipun ideologi dipertaruhkan.

Moderat dan Modern

Secara empiris berdasarkan fakta di atas keberadaan keluarga Bulan Bintang dalam politik di Indonesia bukanlah terdegradasi secara total. Justru kembali menunjukkan sikap militansinya dengan menyesuaikan pada iklim politik nasional.

Militansi yang kemudian mengingatkan kita, ketika berakhirnya Orde Baru, pada periode pertama reformasi. PBB sebagai partai berideologi Islam mendorong perubahan Pasal 29 UUD 1945. Meskipun demikian, PBB tidak dapat melanjutkan perjuangannya karena di dua pemilu berikutnya PBB tidak mampu bertahan dalam pusaran kekuasaan.

Saat ini ditengah kegalauan Islam dalam politik, PBB menjadi partai ideologi yang harus dikedepankan dan menjadi wadah utama bagi umat Islam. Keberpihakan PBB pada umat Islam, dibawah kepemimpinan Yusril, akan menjadi satu kekuatan politik. Kekuatan yang sepenuhnya didukung umat Islam.

Meskipun selain PBB, terdapat pilihan lain, berdasarkan pada fakta politik dua tahun kebelakang tidak mampu menampung aspirasi politik umat Islam. Yang terjadi justru sebaliknya, umat Islam harus membuat gerakan diluar parlemen untuk mempengaruhi negara.

PBB dengan jargon moderat dan modern, boleh dibilang terobosan bagi umat Islam. Moderat merupakan arah dan tujuan politik PBB yang menjadikan tuntunan agama sebagai haluan berpolitik. Bukan seperti kebanyakan partai politik lainnya yang menjadikan kekuasaan sebagai tuntunan berpolitik.

Modern, memang PBB tidak bisa melawan arus globalisasi, arus perkembangan tekhnologi akan tetapi bagi kelangsungan bangsa dan negara, modern hanya sebatas alat untuk memperjuangkan umat Islam. PBB sangat menyadari posisi ini, posisi yang kemudian dapat digunakan untuk kebangkitan dan memberikan pendidikan politik bagi umat Islam. Yaitu berpolitik dengan tuntunan agama.

Besar harapan umat Islam pada PBB harus diiringi dengan suprastruktur modern, modern disini seperti yang pernah dilakukan oleh Masyumi yang menggabungkan potensi kekuatan umat Islam. Pararel dengan suprastruktur, kompetensi setiap organisasi Islam harus menjadi pertimbangan utama. Sehingga selain modern, nilai-nilai Islam dalam berpolitik tidak diinggalkan.

Besar harapan umat Islam pada PBB harus diiringi dengan suprastruktur modern, modern disini seperti yang pernah dilakukan oleh Masyumi yang menggabungkan potensi kekuatan umat Islam. Pararel dengan suprastruktur, kompetensi setiap organisasi Islam harus menjadi pertimbangan utama. Sehingga selain modern, nilai-nilai Islam dalam berpolitik tidak ditinggalkan. [mc/mc]

*Ahmad Yani, Mantan Anggota Komisi 3 DPR RI.

Terpopuler

To Top