9 Pelajaran dari “Papa”, Pesan Sudirman Said untuk Generasi Muda

Nusantarakini.com, Jakarta –

Dari Magelang yang damai dan tenang, kita dapat menerawang situasi pengelolaan hukum dan politik kita. Suatu keadaan yang mau tidak mau bertalian erat dengan perilaku, tata nilai, dan etika para pemimpin negara.

Agak miris sih, barisan pimpinan tinggi negara satu persatu berperkara.  Beberapa waktu lalu Ketua BPK tersangka, meskipun lolos pra peradilan.   Ketua MK masih di penjara. Petinggi MA juga kena perkara. Ketua DPD masih menjalani hukumannya. Kini Ketua DPR masuk tahanan KPK meski dengan proses yang menyesakkan dada.

Persoalan hukum, biarlah diurus oleh para pihak yang memiliki kewenangan.  Soal politik tentu para pengurus negara dan lembaga politik kita punya cara untuk meluruskannya.

Saya ingin berbagi pembelajaran ringan-ringan saja, yang bisa kita ambil dari “akrobat maut” yang telah dipertontonkan oleh Setya Novanto, beserta para “stunt man” nya dalam menghadapi kasus hukumnya.

Pelajaran-pelajaran ini mungkin lebih relevan untuk anak-anak dan adik-adik saya, generasi muda yang sebagiannya pasti akan jadi Pemimpin Bangsa. Siapa tahu Bapak dan Ibu pembaca tulisan ini tertarik dan berkenan sharing ke keponakan, adik, dan anak-anaknya.

Pelajaran # 1: Ini jaman terbuka, tak bisa simpan kejahatan terlalu lama.

Yuk kita baca sejarah, kita tonton film mafia. Al Capone perlu dua dasawarsa untuk melumpuhkannya.  American Gangster hanya satu dekade dia merajalela. Mafia migas sudah sulit bergerak leluasa. E-KTP lima tahun tersimpan, akhirnya terbuka juga.

Di era online memang makin sulit menyimpan tindakan jahat terlalu lama. Bahkan di beberapa kasus, baru berencana sudah terbongkar;  sebab setiap individu memiliki media. Media sosial namanya. Betul nggak?

Pelajaran # 2: Orang terdekat kita punya orang dekat. Waspadalah.

Anak-anaku, adik dan keponakanku.. kita tau jaman now adalah jaman serba terbuka. Boleh punya rahasia dengan orang terdekat kita. Tapi orang terdekat kita pasti punya orang terdekat juga. Dengan mereka kita akan sharing peristiwa dan hal-hal rahasia. Maka, hanya dalam hitungan menit, rahasia kita sudah jadi rahasia bersama. Jadi, mendingan jangan punya simpanan rahasia perbuatan jahat deh. Karena hanya soal waktu, itu akan menyebar juga.

Pelajaran # 3: Cara mengelola risiko terbaik adalah dengan menghindari risiko.

Karena ini jaman terbuka, karena kita sulit punya rahasia; mendingan jangan berpretensi bisa amankan tindakan pelanggaran hukum, atau etika.

Kalau ada yang bilang: “ini aman boss”, jangan serta-merta dipercaya.  Cara terbaik mengelola risiko pelanggaran hukum dan etika adalah jangan berbuat hal-hal yang berisiko.  Kalau kalian ingin selamat lahir batin, dunia akhirat, sekeluarga.. “Don’t even think”, itu kata para mentor dan guru-guru saya dahulu.

Pelajaran # 4: Kita kuat karena dikelilingi orang kuat.

“Kita adalah siapa di sekeliling kita,” kata orang bijak bestari.  Kelilingilah kalian dengan orang-orang kuat betulan. Orang kuat sejati itu tumpuannya pada faktor permanen yakni: kejujuran, kompetensi, sikap diri, dan orientasi pada kebaikan.

Orang lemah bertumpu pada serba hal-hal yang nisbi: uang, kekuasaan, pangkat, jabatan, dan simbol kebesaran. Jika sekeliling kalian hanya silau oleh kekuasaan dan uang, pertanda kalian sedang mengalami pelemahan.

Pelajaran # 5: Berpegang pada tiang-tiang rapuh hanya menunda kejatuhan.

Ada beberapa pemimpin masa lalu yang percaya diri kalau dapat “memegang orang-orang bermasalah”. Dengan mengancam, menakuti, menekan orang bermasalah dia merasa sudah menguasai keadaan.

Kalau kalian jadi pemimpin, pemimpin jaman now dan future.. akan hebat kalau dapat membangun tim yang isinya orang hebat beneran.

Bertumpu pada orang-orang bermasalah, sebenarnya sama saja kalian sedang menumpuk fondasi yang rapuh. Suatu saat akan ambruk bangunanmu. Dan artinya hanya menunda waktu keruntuhanmu, yang pasti akan datang.

Pelajaran # 6: Pemimpin itu tak boleh netral. Karena memimpin itu menggerakkan.

Ibarat kepala rumah tangga, kalian harus bisa setting tone: suasana keluarga apa yang hendak dibangun. Kalau tikus-tikus dan sampah dibiarkan berkeliaran, sama saja kalian mau biarkan rumah kotor.

Karena itu netral saja tidak cukup, harus kirim sinyal kepada anggota, kepada pasukan, kepada warga negara.  Orang seperti apa yang harus dihargai, perilaku apa yang ditegur dan diberi sanksi, anggota yang gimana yang hendak dipuji, pasukan mana yang dianggap berprestasi.

Mengapa tak boleh netral, sebab memimpin itu menggerakkan. Untuk dapat bergerak, pasukan kita perlu arah. Tujuan itu satu, tak mungkin kita katakan: kita menuju ke semua arah.

Pelajaran # 7: Politik itu temporer, yang langgeng adalah usia bangsa dan generasi kita.

Ananda, adinda, keponakanda, dan generasi muda sekalian. Banyak orang yang korbankan hak kalian demi mempertahankan kekuasaan politik.

Padahal politik itu tenporer. Presiden, gubernur, menteri, bupati, anggota DPR, walikota lima tahun sekali ada pergantian.  Presiden paling lama 10 tahun harus ganti. Para menteri ada yang tak sampai dua tahun selesai tugas.  Bupati, gubernur, anggota DPR banyak yang masuk penjara sebelum selesai tugasnya.
Nah, jangan kalian korbankan yang langgeng demi urusan temporer semata.

Pelajaran # 8: Jangan hancurkan independensi profesi yang menjaga keselamatan kita.

Pengacara, konsultan hukum, akuntan, penasihat politik, sampai para dokter adalah profesi independen yang sepatutnya dijadikan cermin untuk menjadi pengingat.  Jangan paksa mereka menuruti apa yang kita mau.  Kalau kalian “perkosa” sikap obyektif dan independensi mereka, itu sama saja menjadikan mereka sebagain pesuruh. Jika mereka tak mampu lagi berlaku senagai penjaga,  sejatinya kalian sedang merobohkan pagar-pagar penjaga yang menuju jurang. Hanya soal waktu, kalian akan masuk ke dalamnya, sebab sang penjaga telah kalian lumpuhkan sendiri fungsinya.

Pelajaran # 9: Uang penting, tapi tak semua bisa dibeli.

Jika kalian berfikir semua urusan bisa dibeli: polisi, jaksa, hakim, pengacara, wartawan, pendapat dokter, sampai tiang listrik bisa dibayar untuk menuruti kehendakmu; terbukti keliru kan? Diantara mereka banyak manusia baik yang perlu uang, tapi tidak menempatkan uang untuk ditukar dengan harga dirinya.  Pada satu titik, mereka akan bicara soal harga diri: harga diri pribadi, harga diri keluarga, martabat profesi , wibawa korps, sampai ujungnya, harkat negeri.

Akhirul kalam, ijinkan saya mengakhiri tulisan ini dengan pikiran sederhana:

“Yang berpandangan uang dapat memberi segalanya, tak akan pernah menjadi pemenang sejati.  Kemenangan sejati hanya didapat oleh kelurusan, ketulusan, dan perjuangan berdasar moral dan kompetensi.” [mc]

Magelang, 20 Nopember 2017

*Sudirman Said, Calon Gubernur Jawa Tengah

Sumber: http://ceknricek.com