MAFIA PERADILAN LAGI: Tentang Perjokian Surat Dakwaan

Nusantarakini.com, Jakarta –

Beberapa waktu yang lalu, bahkan sebenarnya sudah sejak lama sekali, merebak adanya Joki pembuat Skripsi. Orang bilang itu sudah umum. Bahkan tidak cuma Skripsi, tapi juga,Tesis.

Kalau Disertasi, dugaan saya, itu hanya makanan Pejabat. Banyak titel Doktor PALSU, milik Pejabat, biasanya berlatar belakang TNI/Polri; tidak berarti yg sipil tidak ada. Beberapa orang bisa ditunjuk. Tapi pernah Dirjen Pendidikan Tinggi mengatakan tidak bisa mengusut dengan alasan pihaknya bukan penegak hukum. Si Dirjen ini, seorang Prof. Dr. dari ITB, dan Bapaknya punya nama harum, lupa, bahwa kejahatan wajib dilaporkan. Akibatnya, muncul banyak Doktor GADUNGAN, bahkan Profesor GADUNGAN.

Tidak saja Skripsi, Tesis dan Disertasi bisa dibikinkan oleh seorang Ahli (atau Ahli-ahlian) tapi bahkan oleh Tim, semacam Perusahaan Pembuat Tugas Akhir. Lalu disampaikan kepada Tim Penguji, lalu bisa lulus Sarjana. Tim Penguji yang sembarangan dengan gampang meluluskan calon Sarjana ini. Ini terjadi di hampir semua Universiras Negeri; tidak cuma swasta.

Selain itu, ada yang lebih mudah lagi. Perusahaan ini menyasar pada orang-orang tertentu, biasanya orang terkenal atau pejabat. Tapi, yang ingin lebih mentereng kalau punya titel, bahkan berderet-deret; dan punya duit, tapi otaknya udang. Perusahaan ini hanya menjual Ijasah dari Universitas di AS atau Eropa; tentu yang ecek-ecek. Itu saja, tanpa harus membuatkan Tugas Akhir. Yang dijual biasanya titel Master of Arts (MA) Master of Science (MSc) dan Philosophy Doctor (PhD).

Tapi perjokian ini rupanya sudah merambah pula di bidang Yustisi. Saya menemukan kasus ini pertamakali pada 2011, sekali lagi mungkin sudah lebih lama dipraktekkan, ketika mendampingi sahabat saya, Terdakwa Pandapotan Lubis dan Joni Simbolon. Mereka dituduh menyebar kebencian kepada Etnis Cina menjelang Pilkada DKI. Ketika masuk Pengadilan Negeri Jakarta Timur, ternyata yang hadir sebagai JPU, bukan Penuntut Umum Pembuat Surat Dakwaan.

Itulah yang saya maksud ada Joki. Siapa sebenarnya si Pembuat Surat Dakwaan tidak diketahui. Apakah yang tandatangan, atau yang hadir sebagai Jaksa di Persidangan, atau orang lain?! Tidak tahu! KUHAP tidak jelas mewajibkan si Pembuat Surat Dakwaan hadir di persidangan sebagai Jaksa. Majelis Hakim pun tidak peduli. Pengacara yang menjadi Pembela pun “menerima” saja.

Bagi saya, JPU si Pembuat Surat Dakwaan harus hadir di persidangan, membacakan Surat Dakwan, menjawab Eksepsi, menghadirkan Saksi/Ahli, membuat Tuntutan dan mendengarkan Putusan-putusan. Bahwa dia didampingi jaksa-jaksa lain, tidak jadi soal.

Waktu saya menjadi Terdakwa Subversif 1997/98 di PN Jakarta Selatan, JPU-nya sempat saya minta untuk DIGANTI, karena dia juga Penyidik saya. Sesudah melobi Jaksa Agung, JPU setuju diganti. Saya masih menuntut kepada Majelis Hakim, agar JPU Baru/Pengganti membubuhkan tandatangannya pada Surat Dakwaan yang dibuat JPU lama, sebagai tanda bahwa Surat Dakwaan TIDAK BERUBAH.

Tentang JPU-nya Lubis dan Simbolon, saya menemuinya di Kantornya. Saya tanyakan kenapa tidak hadir. Alasannya, KUHAP tidak mewajibkan. Setelah adu-argumen beberapa lama menafsirkan Pasal-pasal KUHAP, akhirnya dia mengatakan “terserah Pak Bintang saja”. Dalam perjalanan pulang dari kantornya, saya mengartikan “terserah Pak Bintang saja” itu sebagai “lu punya duit nggak”……

Maraknya Dakwaan lewat Pasal-pasal Penyebar Kebencian yang pernah terkenal dengan Haatzaai Artikelen (Pasal 154 s/d 157 KUHP) yang diterjemahkan dengan Pasal-pasal Karet, bahkan sekarang diperluas dengan UU ITE dan UU Anti Diskriminasi, ternyata dicemari pula dengan maraknya Perjokian Surat Dakwaan. Mudah-mudahan ini menjadi perhatian Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Atau semua sudah terlibat dalam Mafia Peradilan?! [mc]

*Sri Bintang Pamungkas, Mantan Tahanan Politik Era Soeharto.