KOMPAS ‘PUKUL’ JOKOWI: Bayi Mati Berantai di Papua Tersembunyi di Balik Pencitraan?

Nusantarakini.com, Jakarta –

Mungkin inilah kesempatan pertama pada Halaman Depan (Headline) Kompas, Media Mainstream Nasional merilis tragedi kemanusiaan di Papua berjudul “Bencana Kesehatan di Asmat.” Itulah fakta berbicara, sehebat-hebatnya Harian Kompas menjadi pion pemerintah selama 3 tahun Jokowi memimpin negeri, namun hujan fakta tidak bisa bendung dengan payung pencitraan.

Selama 3 tahun kepemimpinan Jokowi ini kita disuguhi informasi yang berlebihan tentang pembangunan Papua. Kehadiran Jokowi, pembangunan jalan, jembatan, gedung2 pencakar langit, jembatan yang melintasi laut, jalan-jalan bebas hambatan, rel kereta api. Kita juga dihipnotis dengan berbagai pemberitaan bahwa di Papua konektivitas darat, laut dan udara terjalin, kota-kota di Papua dimetamorfosis seperti Jakarta, Yogya, Semarang dan Surabaya. Kata Jokowi ekonomi rakyat Papua makin membaik, derajat kesehatan lebih baik, pendidikan lebih baik. Jokowi presiden terbaik sepanjang Republik ini berdiri. Itulah jargon-jargon kunci media pendukung pemerintah termasuk Kompas selama ini.

Namun hari ini, fakta berbicara lain, kematian bayi akibat busung lapar, gizi buruk di Asmat yang dirilis oleh Kompas ini sebenarnya telah memukul balik Presiden Jokowi bahwa semua yang diucapkan oleh pemerintah selama ini omong kosong. Berita Harian Kompas hari ini sebenarnya bisa jadi pintu masuk membuka borok pemerintah, kejahatan dan kematian tersembunyi rakyat Papua dibalik pencitraan yang berlebihan selama ini.

Secara fakta ada beberapa tragedi kemanusiaan terbesar terjadi di Papua selama kepemimpinan Jokowi:

1. Kasus Paniai 8 Desember 2014 telah tercatat sebagai kejahatan kemanusiaan (gross violation of human right) termasuk dalam kategori pelanggaran HAM Barat yang berkasnya sedang diproses dan terhenti di Komnas HAM. Kasus Paniai adalah salah satu hasil produk rejim kepemimpinan Joko Widodo, menitipkan peristiwa kelam baru bagi Bangsa ini karena itu sebagai kepala negaran tidak bisa lepas tanggung jawab (commander resposibilities). Bagaimana pun juga Jokowi menambah 1 berkas pelanggaran
HAM berat di Komnas HAM.

2. Adanya; penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang, penyiksaan/penganiayaan (torture) dan pembunuhan (kilings) terhadap lebih dari 6 ribu orang Papua selama 3 tahun merupakan catatan negatif rejim Jokowi. Jokowi tidak bisa menghindari sebagai kepala negara/kepala pemerintahan sebagai penanggungjawab komando (commander resposibilities).

3. Adanya dugaan terjadi genocida secara perlahan melalui berbagai kebijakan (slow motion genocide) di Papua berdasarkan hasil Penyelidikan beberapa lembaga internasional bisa diduga apakah dengan sadar atau sengaja (by commision) atau lakukan Pembiaran (by ommision) oleh negara dimana Jokowi sebagai kepala negara.

4. Rentetan Kematian Bayi di Papua. Pada tahun 2015, kementerian sosial sunyi dan bisu mendengar kematian 71 Bayi Kecil di Kecamatan Mbuwa Kabupaten Nduga. Kematian yang kata. menteri Kesehatan adalah disebabkan oleh penyakit busung lapar dan kurang gizi, namun banyak laporan lain menyebutkan karena konsumsi makanan tertentu yang dibagikan okeh pihak-pihak luar. Sampai saat ini kematian 71 bayi meninggal suatu cerita misteri. Demikian pula tahun 2016 dan 2017 pemerintah Jokowi seakan2 gelap dan buta atas kematian lebih dari 60 bayi di Kabupaten Deiyai. Kematiannya akibat kekurangan gizi dan busung lapar serta penyakit menular. Dan hari ini awal tahun ini kita juga menyaksikan kematian puluhan anak karena kekurangan gizi dan kelaparan di Asmat.

Hari ini orang Papua terancam hidup di negerinya sendiri.

Di Negara ini, setiap pemimpin di Papua kalau tidak racuni dan dimatikan selalu berakhir di terali besi. Dalam catatan harian, Tokoh-tokoh Papua Melanesia yang hebat sebagai pejabat negara ataupun pemimpin rakyat tetap akan diracuni dan dimatikan Saraf. Sederet nama-nama pemimpin besar dan kawakan sepeti: Yap Salosa, Theys Eluai, Agus Alua, Nataniel Badi, Wospakrik, Willem Mandowen, Pdt Awom, Abraham Ataruri, Jhon Rumbiak, Cosmas Pigai, Thom Beanal, Lukas Enembe dan lain2 adalah korbannya. Sementara rakyatnya ditangkap, dianiaya, disiksa, dibunuh saban hari tanpa henti. Sudah lebih dari ratusan ribu orang Papua mati sia-sia di atas tanah airnya sendiri, Tanah Papua, bumi Melanesia.

Pada saat ini, Tanah Papua sedang beranda dalam goncangan besar karena adanya tsunami kemanusiaan. Jutaan rakyat yang ada di atas tanah Papua di lepas pantai, pesisir, pedalaman, pegunungan menjerit, merinti, sedih dan tangis. Saban hari kita hanya bisa mendengar nyanyian dengan syair elegi karena tragedi kemanusiaan yang menimpa rakyat melanesia di Tanah Papua semakin lama semakin menua. Ratusan ribu orang menderita Karena penangkapan, penganiayaan, menyiksaan, pembunuhan.

Tidak ada legasi yang kita peroleh di negeri ini. Penuh diskriminasi, rasisme, orang Papua masih dianggap manusia jaman batu (the stone age periode society).

Belum lagi, Perampasan kekayaan alam melalui; hutan Papua yang paruh-paruh dunia dirampok (ilegal loging), emas, perak, minyak, uranium bahkan plutonium di jarah (ilegal maining), ikan-ikan di laut dan segala biota dicuri (ilegal fisihing).

Orang Melanesia tidak pernah mengenal Kejahatan korupsi, kolusi dan nepotisme namun hari ini tikus-tikus berdasi merasuk sendi-sendi kehidupan politik dan pemerintah di atas tanah kita yang suci diatas tanah Melanesia.

Adanya penetrasi kapital disertai penetrasi sipil dan militer mengesampingkan bumi putra Papua, Melanesia tersingkir karena tercipta segresi antara lokal Papua (blue colar) dan asing dan migran sebagai (white colar) melalui diskriminasi dan Rasisme. Penetrasi sipil juga menyebabkan mereka menguasai sumber daya ekonomi di bandar-bandar seperti; Sorong, Manokwari, Biak, Serui, Nabire, Timika, Jayapura, Merauke dan Wamena, sementara putra bangsa melanesia tersingkir di pinggiran. Tingginya kematian ibu dan anak serta perlambatan pertumbuhan penduduk Papua adalah indikasi nyata secara perlahan sedang terjadi bahaya genosida (Slow motion genocida). Itulah kejahatan kemanusiaan yang terabaikan dan Papua menjadi wilayah tragedi terlupa di abad ini.

Hari ini Orang Papua ada di dalam pernjara besar, hidup dibawah tekanan, tantangan dan rintangan, ratapan, penderitaan dan kesedihan. Saban hari seperti biasanya, Rakyat Papua akan selalu mendengar elegi ( nyanyi sunyi kesedihan) dari rumah ke rumah dan kampung ke kampung di lepas laut, pesisir, pedalaman juga mereka yg hidup di gunung-gunung di bawah tebing-tebing terjal.

Meskipun demikian tidak ada yang berteriak tentang ketidakadilan di Papua, semua sunyi dan bisu atas nama NKRI. Atas nama UUD 1945, atas nama Pancasila.

Hari ini atas nama rakyat Papua, saya minta Jokowi jangan menjadi calon Presiden 2019. Karena akan sama saja akan menambah tenteram kematian rakyat Papua.

Tolong diingat, sekalipun rakyat Papua adalah orang-kecil dan tidak berdaya namun Gajah tidak akan bisa menyengat seekor semut, tetapi sekuat bisa mematikan gajah.

Akhirnya juga saya mengerti ketika belajar dari guru besar ilmu polemologi Jhon Galtung di Belgia dan Masri Singarimbun di Yogya bahwa ilmu pholemologi itu hanya mengajarkan kepada Kebebasan hanya bisa diraih melalui Infinity war: “PERANG DAN DAMAI.” [mc]

*Natalius Pigai, Komisioner Komnas Ham 2012-2017/ Aktivis Kemanusiaan.