Satire

E-KTP, Pemberantasan Korupsi KPK Bercita Rasa Kekuasaan

Nusantarakini.com, Jakarta –

Penanganan Korupsi EKTP yang ditangani oleh KPK sejak awal penuh dengan kejutan-kejutan yang sesungguhnya tak perlu ada dan tidak perlu terjadi andai KPK melakukan kewenangannya secara baik, benar, adil, sesuai tupoksinya dan bekerja dengan menjaga independensi lembaga KPK. Namun karena tampaknya unsur pimpinan KPK menjadi sub-ordinat kekuasaan, maka penegakan hukum itu pun menjadi berselera buruk dengan cita rasa kekuasaan.

Dari awal bila kita mengikuti proses penangan korupsi E-KTP, langkah KPK sudah terlihat gamang dan terkesan butuh petunjuk dari kekuasaan dengan menghadap Presiden di Istana. Pasca pertemuan itu kemudian Ketua KPK dalam sebuah konperensi persnya pada 3 Maret 2017 menyatakan bahwa semoga Kasus EKTP tidak mengakibatkan guncangan politik karena menyebut nama besar.

Dua kalimat di atas, yaitu guncangan politik dan nama besar telah membawa KPK kedalam penegakan hukum yang tidak adil dan menempatkan orang tidak lagi sama di hadapan hukum dengan istilah nama besar. Tentu dengan demikian bagi KPK ada nama kecil yang bisa diproses tanpa perlu petunjuk penguasa dan ada nama besar yang butuh petunjuk kekuasaan hingga harus menghadap dulu kepada presiden. KPK blunder dalam melaksakan tugasnya yang harus memandang siapa saja sama di hadapan hukum.

Kalimat guncangan politik itu sekarang justru menjadi sangat menarik untuk ditelusuri. Tampak jelas jika mengikuti proses yang terjadi, KPK bekerja keras untuk menjaga agar guncangan politik itu tak terjadi. Guncangan itu sekarang terlihat justru mengguncang politik kenyamanan Presiden Jokowi dan Partai Penguasa. Golkar dengan dukungannya kepada Jokowi terguncang, PDIP juga terguncang dengan disebutnya nama-nama elit partai.

Setya Novanto sang Ketua Umum Golkar yang kini mendekam di rumah tahanan KPK, kita ketahui selama ini adalah pendukung utama Jokowi dan partai besar pertama yang menyatakan dukungannya kepada pencalonan periode kedua Jokowi 2019 nanti. Politik kenyamanan itu terguncang hingga sang Menko Maritim Luhut Panjaitan yang selama ini kasat mata sebagai garda utama kekuasaan Jokowi harus tergopoh-gopoh membawa Airlangga Hartarto menghadap Presiden Jokowi. Mungkin dan patut diduga untuk dimintakan restu menjadi pengganti Setya Novanto yang akhirnya ditinggal kawan maupun lawan. Sendirian merasakan dinginnya dan bekunya suasana rumah tahanan. Dan sekarang guncangan terhadap kenyamanan politik itu mulai teratasi seiring Airlangga kini menduduki tampuk pimpinan Golkar, maka dukungan kepada Jokowi pun terselamatkan.

Guncangan politik kedua yang ditakutkan KPK terjadi patut diduga adalah guncangan kepada partai penguasa. Nuansa saling kunci dan saling sandera pun terjadi. Publik tentu masih ingat 9 Maret 2017 dakwaan kepada Sugiharto menyebut nama banyak elit politik di antaranya Setya Novanto, Yasona Laolly yang sekarang jadi Menteri Hukum dan HAM, Ganjar Pranowo yang sekarang Gubernur Jateng dan Olly Dondokambey yang sekarang Gubernur Sulawesi Utara; serta nama-nama lain mantan anggota Komisi II DPR RI ketika proyek E-KTP bergulir.

Kemudian kejanggalan mulai bergulir ketika 21 Juli 2017 vonis hakim atas Sugiharto menghilangkan nama Setya Novanto‬. Berlanjut pada tanggal 14 Agustus 2017 dalam dakwaan Andi Narogong, nama-nama itu kemudian menghilang dan diganti dengan kalimat beberapa anggota DPR periode 2009-2014 yang menerima aliran dana sejumlah USD 14.656.000 dan Rp. 44 Milliar. Terakhir 13 Desember 2027 pada dakwaan Setya Novanto kembali nama-nama itu hilang dan justru menyebut nama Gamawan Fauzi mantan Mendagri yang dituduh menerima Rp.50 juta. Drama hukum ini pun makin terbumbui ketika tanggal 6 September 2017 Ketua KPK dilaporkan ke Kejaksaan dengan tuduhan terlibat Korupsi E-KTP.

Jelas dan terang, KPK sedang bermain drama hukum berselera yang buruk dengan cita rasa kekuasaan. KPK tidak seharusnya mengaburkan identitas terduga koruptor yang menerima dana suap dari E-KTP. Penegakan hukum justru harusnya membuat seterang-terangnya keterlibatan mereka dan bukan berupaya menghapus jejaknya setelah lebih dulu mengaburkan identitas pelaku. Dan keanehan itu makin besar serta menjadi lucu ketika yang menerima milyaran rupiah atau ratusan ribu dolar Amerika dikaburkan identitasnya, namun yang dituduh menerima 50 juta Rupiah disebut namanya. Inilah cara KPK mengatasi keguncangan politik dari penguasa, karena nama-nama yang dihilangkan itu adalah dari Partai Penguasa saat ini yaitu PDIP.

Lengkap sudah kebobrokan penegakan hukum yang terjadi di republik ini. Hukum kekuasaan ternyata jauh dikedepankan daripada kekuasaan hukum.

Sekarang yang berkuasa atas hukum adalah kekuasaan, penguasa, bukan lagi hukum yang menjadi panglima kekuasaan.

Mau dibawa kemana bangsa wahai yang Mulia? Jangan bawa bangsa ini ke dalam kegelapan yang merusak sendi-sendi keadilan dalam kehidupan berbangsa dan negara. [mc]

*Ferdinand Hutahaean, Rumah Amanah Rakyat.

Terpopuler

To Top