Membangun Kesuksesan Kolektif. Begini Caranya

Nusantarakini.com, New York –

Satu hal yang seharusnya menjadikan umat ini bangga adalah karena agama ini adalah agama kemajuan (progress), bukan agama keterbekalakangan (backward) dan ketertinggalan (left behind). Agama ini adalah agama pembangunan (development) dan modernitas (modernity). Agama ini adalah agama kesuksesan (success) dan peradaban (civilization).

Maka ketika sebagian orang, bahkan pemeluk agama ini sekalipun, mengajarkan agama ini sebagai ajaran sebaliknya, ajaran terbelakang, kemiskinan, kegagalan dan kekalahan serta kelemahan, maka itu bukanlah ajaran Islam yang sesungguhnya. Karena sejatinya semua aspek agama ini mengarah kepada kesuksesan itu. Ungkapan azan sesungguhnya menyimpulkan: “hayya alas-Solaah-hayya alal falaah.” Mari kepada pengabdian dan penghambaan, sehingga terwujud kesuksesan (dunia-akhirat).

Kesuksesan dalam Islam itu adalah kesuksesan komprehensif, mencakup semua sisi hidup manusia. Jasad-ruh, akal-emosi, individu-jamaah, dan tentunya dunia-akhirat. Maka sebagai Muslim di Amerika, saya menerima konstitusi Amerika yang mengajarkan “pursuit of happiness” (mencari kebahagiaan). Saya terima sebagai bagian dari aktualisasi nilai Islam saya yang juga mengajarkan kesuksesab dan kebahagiaan. Hanya saja saya memahaminya berdasarkan akidah saya bahwa kebahagiaan itu bersifat “sustainable” (keberlanjutan). Yaitu “hasanah fid dunia wa hasanah fil-akhirah” (bahagia dunia akhirat).

Jika lebih jujur, akan kita dapati bahwa dalam Al-Quran kesuksesan kolektif memiliki penekanan lebih. Bahkan kesuksesan individu yang dibangun di atas sikap individualistik pun boleh jadi berbalik menjadi ancaman.

Dalam Al-Quran kata sukses diekspresikan dengan dua kata yang paling populer. Yang pertama adalah kata “al-faoz” seperti pada kata: “faman zuhziha anin naar faqad faaz” (Ali Imran). Kedua ada pada kata “al-falaah” seperti “qad aflah al-Mukminuun” (Al-Mi’minuun).

Jika kata Al-Faozu lebih menekankan pada kesuksesan individu, seperti keselamatan akhirat, maka kata al-Falaah lebih menekankan pada kesuksesan jama’i. Sehingga umumnya kata ini dijumpai di Al-Quran dalam bentuk jama’ atau kolektif. Perhatikan ayat-ayat berikit:

“Mereka itu adalah orang-orang yang berada di atas petunjuk Tuhan mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung atau sukses” (Al-Baqarah).

“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman” (Al-Mu’minuun).

“Wahai orang-orang beriman, rukuklah, sujudlah, dan sembahkah Tuhan kamu, serta berbuatlah kebajikan. Semoga kamu menjadi orang-orang beruntung” (Ibrahim).

Dari ayat-ayat itu jelas didapati bahwa kata Al-Falah menekankan urgensi kesuksesan kolektif umat. Dan dari semua itu didapati bahwa semua aspek agama, dari iman, ibadah, bahkan amalan-amalan muamalat (khaer) mengarahkan kita kepada kesuksesan kolektif kita. Bahkan sejatinya proses kepada kesuksesan individu juga menjadi bahagian dari kesuksesan kolektif. Ayah boleh jadi celaka karena egoistik dalam kebajikan. Di saat dia sholat, puasa, haji, tapi anak-anaknya lupa Allah SWT.

Maka umat ini harus selalu saling mengingatkan (tawashow) kepada hal ini. Bahwa tanggung jawab iman dan Islam kita adalah membawa umat ini kepada kesuksesan kolektif. Dan jika ini disadari, sungguh cukuplah sebagai pengingat akan pentingnya kesejahteraan sosial yang merata bagi seluruh manusia. Tidak saja sesama Muslim. Tapi sesuai spirit “rahmatan lil-alamin”, semua manusia akan merasakan keadilan dan kesejahteraan sosial itu.

Di masa-masa lalu yang belum lama di negeri kita ini nampak fenomena kebersamaan itu. Tentu proses-proses menuju ke sana akan ada tantangannya, akan ada kesalah pahaman, bahkan akan menimbulkan fitnah di sana sini.

Pertanyaan krusial memang adalah apakah fenomena itu memang sejalan dengan semangat kebangkitan kelektif? Kolektifitas yang kita maksud adalah sebagai umat dan bangsa. Sebagai umat tentu adalah 87% dari penduduk negeri ini. Tapi sebagai bangsa kita maksudnya seluruh warga Indonesia yang hidup dan punya hak yang sama dengan semuanya, apapun latar belakang etnis, ras, suku dan agama.

Peristiwa 911 dan 212, serta peringatannya bersamaan dengan peringatan baginda Nabi Muhammad SAW, bukanlah sekedar kumpul dan ramai-ramai. Bukan sekedar menciptakan gegap gempita sesaat. Tapi membangun semangat kebersamaan, dengan merangkul semua elemen bangsa untuk bersama-sama membangun bangsa ini. Perkumpulan itu bukan karena kebencian kepada kelompok lain. Bukan juga karena tujuan kepentingan kelompok, apalagi pribadi. Walau saya yakin ada juga pribadi-pribadi yang menggandeng. Sekali lagi, tujuannya adalah membangun semangat kebersamaan dan kesatuan untuk bersama-sama membangun umat, bangsa dan negara.

Oleh karenanya tantangan terbesar bagi kita semua adalah membuktikan bahwa perkumpulan itu positif, tidak negatif. Perkumpulan itu berujuan mulia dan baik, bukan hina dan busuk. Perkumpulan itu berujuan membawa kepentingan dan kesuksesan bersama, bukan kepentingan kelompok dan individu.

Pembuktian yang terpenting adalah bagaimana semua elemen bangsa dari sekarang memulai komunikasi positif. Tradisi agama bersilaturrahim menjadi sesuatu yang krusial di saat terjadi kebekuan komunikasi dan relasi. Kebekuan ini rentang menjadikan anak-anak bangsa saling mencurigai, membenci bahkan membawa konflik dan gesekan sosial.

Pembuktian itu juga harus dalam bentuk ummah empowerment (memperkuat basis keumatan). Umat Islam sebagai mayoritas harus mampu berada di garda terdepan membangun bangsa ini. Bukan sekedar menggandeng pada kemajuan orang lain. Apalagi marah dan terancam dengan kemajuan orang lain. Dan lebih tragis lagi kalau umat sebagai pemegang saham terbesar bangsa ini dianggap tidak loyal, bahkan beritikad buruk kepada negaranya sendiri.

Tentu peringatan 212 bukan lagi menguak luka masa lalu, yang dipersepsikan sebagai gerakan partisan. Perkumpulan itu buka tujuan sempit kepentingan politik dan kekuasaan. Karena bangsa dan negara ini jauh lebih besar dan penting ketimbang kepentingan politik dan kekuasaan. Tapi hendaknya naik lebih tinggi dari semua itu dengan menjadikan peristiwa ini sebagai energi positif kolektif bangsa dalam membangun kebersamaan, merangkul semua anak bangsa tanpa memandang latar belakang suku, etnis, ras dan agama untuk membangun bangsa dan negara ini.

Saya bahagia melihat lautan manusia berkumpul di Monas. Tapi saya akan lebih bahagia jika jutaan manusia itu bubar dengan semangat baru, dengan jiwa baru, dengan pikiran baru, dan dengan i’tikad baru dalam kebersamaan. Kebersamaan yang merangkul dalam kasih dan cinta sesama, dan dalam semangat gotong royong dan ksatria.

Pada semua itu ada istiqamah (konsistensi). Dan konsistensi 212 adalah membangun komunikasi posisif dan silaturrahim dengan semua elemen umat dan bangsa. Hasil dari perkumpulan itu adalah terjadinya prilaku saling merangkul, saling menatap sisi positif pada semua elemen umat dan bangsa, dan mengurangi kecurigaan dan permusuhan yang destruktif.

Katakan dengan semangat baru itu: “kita Muslim dan kita Indonesia”. Dalam kata “kita Muslim”, umat bersatu dalam kebaikan kolektif yang dibangun di atas asas cinta dan “rahmatan lil-alamin” itu. Dan dalam kata “kita Indonesia”, bangsa ini bersatu membangun bangsa dan negara yang “baldatun thoyyibatun wa Rabbun Ghafur”. Semoga!

Lalu apa saja langkah-langkah dalam membangun kesuksesan kolektif? (Bersambung).

New York, 2 Desember 2017

*Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation. [mc]