Budaya

Jawa, Chinofobi, Arabofobi dan Integrasi Nasional

Nusantarakini.com, Sibolga –

Belakangan ini isu tentang ancaman kolonialisme China mendengung, kendati rezim Jokowi berusaha meredam-redamnya. Pasalnya hal ini dipicu oleh ekspansi modal China yang demikian agresif, baik secara langsung maupun dengan cara proksi yang memanfaatkan komprador lokalnya di Indonesia. Betapun ekspansi modal China ini ditutup-tutupi supaya tidak terlihat sebagai ancaman bagi eksistensi Indonesia di kemudian hari, namun dalam dunia yang makin terkoneksi dan transparan, hal itu tetap terlihat nyata.

Sebenarnya pekanya masyarakat Indonesia atas setiap gejala kolonialisme dan imperialisme merupakan karakter khas bangsa Indonesia yang muncul sebagai bangsa dari sejarah penentangan terhadap kolonialisme dan imperialisme yang berakar kuat. Karena itu, bagaimana pun, jika rakyat meradang atas setiap gejala dominasi, seharusnya hal itu disyukuri, bukan malah disesalkan sebagai sebuah serangan atas legitimasi kekuasaan rezim sekarang.

Sebetulnya juga, gejala dominasi atas berbagai suku bangsa di Indonesia dijalankan juga oleh suku bangsa Jawa. Akan tetapi, dominasi mereka tidak menimbulkan penentangan yang serius seperti yang dialami oleh China, kecuali untuk kasus masyarakat Aceh.

Seperti halnya Arab, Jawa juga menikmati penerimaan yang baik dari setiap suku bangsa di Indonesia, di daerah yang merupakan pribuminya mengakar. Rahasianya ialah selain kesamaan agama, juga keberhasilan dalam beradaptasi dan meresap dalam budaya setempat. Jawa dapat membaur dan menghilangkan ekslusivisme mereka. Misalnya di Sumatera Utara, budaya Jawa di sana memiliki corak dan khas sampai kemudian dikenal dengan Putera Jawa Kelahiran Sumatera (Pujakesuma). Nyaris tidak pernah ada bentrok antara pribumi setempat dengan orang Jawa pendatang.

Lagi pula, Jawa dan Arab tidak menonjol dalam hal dominasi ekonominya terhadap masyarakat setempat. Inilah faktor utama yang membuat Jawa dan Arab tidak disangka sebagai pihak yang mendominasi dan menimbulkan ancaman terhadap pribumi.

Masyarakat pasca kolonial yang masih kuat ingatannya terhadap getirnya zaman kolonial, harusnya dapat mengatasi hal ini. Adalah baik jika perkawinan campur dapat didorong sebagai solusi atas tebalnya prasangka etnis dan SARA.

Tampaknya Presiden Jokowi sudah memulai dengan mengobarkan semangat percampuran ini dengan pernikahan antara puterinya dan putra seorang Batak Mandailing. Puteri Jokowi di-mandailingkan dengan memberinya secara adat, Marga Siregar–suatu cara yang unik untuk mempribumisasikan orang asing, dalam konteks budaya Mandailing dan Batak pada umumnya.

Masalahnya, dapatkah suku bangsa lain menerima cara adat ini dalam mengatasi prasangka SARA yang hari-hari ini makin menebal dan menguat akibat ekspansi modal dan makin kuatnya motif ekonomi yang melatari perilaku setiap individu dan kelompok?

Dengan terpaksa harus dikatakan, yang paling sulit berasimilasi dengan pribumi, apalagi terhadap pribumi yang bukan bangsawan ialah Arab golongan habaib dan China yang kaya raya. Lain halnya dengan Arab non habaib dan China peranakan yang tingkat ekonomi menengah ke bawah, kedua golongan ini hampir tidak menderita gengsi jika dikawinkan dengan pribumi lokal guna integrasi nasional yang lebih mapan. Malahan banyak di antara kedua golongan ini yang progresif sebagai pelopor integrasi nasional.

Golongan habaib mengidentifikasi dirinya sebagai bangsawan yang beraroma legitimasi religius sehinga harus mengambil takdir yang dibuatnya sendiri untuk kawin dengan syarifah, walaupun bagi orang Indonesia di luar Jakarta tidak mengerti dan heran dengan praktik ini. Demikian juga China yang kaya raya, maka mereka lebih tertarik untuk mengekalkan kedudukan sosialnya yang kaya raya itu dengan kawin mawin dengan sesama China yang kaya raya. Kedua gejala ini sebenarnya tidak terlalu positif bagi integrasi nasional, karena menimbulkan prasangka negatif. Sekian!

 

~ Robert Sirudang

Terpopuler

To Top