Warkop-98

Mr. Kan: Semua Pejabat yang Setuju Proyek E-KTP Patut Jadi Tersangka

Nusantarakini.com, Jakarta –

Secara hukum, menurut pengamatan saya untuk kasus korupsi E-KTP, semua pejabat negara yang khususnya sudah turut bertindak merancang dan memberikan persetujuan atas proyek E-KTP ini patut dijerat dan harus dijadikan tersangka dugaan tindak pidana korupsi. Jangan hanya menjerat Setya Novanto dan beberapa kawan-kawan saja, namun puluhan lainnya juga sudah patut dijadikan tersangka dugaan tindak pidana korupsi E-KTP.

Berikut empat alasan yang bisa kami sampaikan terkait hal di atas:

Pertama, karena atas proyek E-KTP ini sudah terjadi tindak pidana korupsi dan telah merugikan keuangan atau perekonomian negara sebesar-besarnya Rp.5,95 Triliun.

Kedua, semua pejabat negara yang turut merancang dan memberikan persetujuan atas proyek E-KTP ini berarti secara langsung harus turut bertanggung jawab atas kerugian keuangan atau perekonomian negara sebesar Rp.5,95 Triliun itu.

Ketiga, atas persetujuan pejabat-pejabat negara yang terkait dengan rancangan proyek E-KTP ini sudah menguntungkan orang lain dan suatu korporasi dimana dengan cara-cara yang tidak wajar atau menyimpang dan atau mark up dari nilai keuangan harga yang sesungguhnya.

Keempat, semua pejabat negara yang terkait atas kasus korupsi E-KTP ini juga sudah meyalahgunakan kewenangan dan juga sudah termasuk perbuatan melawan hukum, minimal disana sudah pasti adanya pembiaran.

Jadi berdasarkan pasal 2 atau pasal 3 UU No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana yang sudah diubah jadi UU No.20 tahun 2001 TIPIKOR. Di sini sudah cukup jelas seharusnya semua pejabat negara yang turut bertanggung jawab atas kasus ini sudah dapat dijerat dugaan tindak pindana korupsi.

Atas kasus ini saya memberikan sebuah ilustrasi antara pejabat negara dan tanggung jawabnya, jika seorang pejabat negara hanya bekerja dan bertanda-tangan atas suatu keputusan kepentingan negara saja.

Namun di kemudian hari keputusan yang disetujui atau diperintahkan oleh seorang pejabat negara tersebut mengalami tindak pidana korupsi dan merugikan keuangan negara, apakah pejabat negara tersebut tidak harus turut bertanggung jawab? Jika tidak harus bertanggung jawab, lalu apa fungsi dan manfaat pejabat negara tersebut ?

Nah dari ilustrasi di atas ini, seharusnya seorang pejabat negara harus bertanggung jawab atas semua keputusan persetujuan yang ia buat; kalau tidak, untuk apa negara butuh pejabat negara banyak-banyak?

Bisa saja kita menyuruh tukang sampah atau pengemis di jalanan untuk tanda tangan suatu kepentingan negara? seperti proyek E- KTP itu, karena tanpa harus minta pertanggungjawabannya. Kalau begini kan sudah tidak benar lagi, seakan-akan sudah bukan suatu negara lagi, karena tidak memiliki pemerintahan yang bertanggung jawab lagi, dan jika caranya seperti ini negara pasti hancur.

Mengapa saya bisa menyampaikan kerugian keuangan negara sampai sebesar Rp.5,95 Triliun? sedangkan BPK menyampaikan hasil auditnya merugikan keuangan negara sebesar Rp. 2,3 triliun?

Karena sesungguhnya hasil E- KTP yang tercetak atau terbuat itu semuanya sudah sangat tidak sesuai sama sekali dengan arti nilai elektronik yang dimaksud.

Saya memberikan enam alasan dan penjelasan dibawah ini :

Pertama, zaman sekarang di semua negara maju membuat kartu indentitas untuk rakyatnya sudah pasti memiliki chips atau tanda pengenal yang memiliki pengamanan dan yang tidak dapat ditiru atau dibuat ganda oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, sedangkan saat ini E-KTP kita terbukti dapat dipalsukan atau digandakan.

Kedua, kartu indentitas yang dimaksud elektronik seharusnya sudah bisa dimanfaatkan di semua kegiatan untuk kepentingan yang berkaitan dengan kenegaraan.

Seperti dapat discan menggunakan KTP sewaktu seseorang masuk bandara dan lain sebagainya yang menyangkut eletronik. Saat ini terbukti E-KTP kita hanya seperti selembar cetakan plastik biasa yang tidak bisa dimanfaatkan sedemikian rupa.

Ketiga, hasil E-KTP kita terbukti tidak terjaring atau terkontak online di seluruh Indonesia, terutama untuk semua urusan yang berkepentingan dengan negara.

Keempat, terbukti sistem pembuatan E-KTP sangat bobrok atau tidak sesuai dengan zaman kemajuan teknologi dunia, dimana cukup banyak orang yang membuat E-KTP prosesnya sampai berbulan-bulan bakal bertahun-tahun lamanya.

Kelima, menurut informasi yang sempat beredar, bahwa data-data E-KTP kita bisa ada di luar negeri, karena sebagian servernya masih ada di luar negeri, dengan alasan pembayaran proyek
E-KTP belum lunas, sehingga server tersebut belum dapat diserahkan keseluruhannya !! Jika hal ini benar maka sangat berpotensi disalahgunakan oleh pihak asing yang tidak bertanggung jawab.

Keenam, saya perkirakan E-KTP yang tercetak model seperti sekarang ini, jika ditenderkan dengan harga sekitar Rp. 2.000 per lembar pun, pasti akan antri perusahaan-perusahan percetakan yang berani mengambil tendernya.

Karena selain hanya dicetak, paling juga butuh tambahan buat sistem penyimpanan data saja yang tidak perlu canggih-canggih seperti data E-KTP sekarang ini.

Jadi kesimpulan dari pengamatan saya pribadi, untuk proyek E-KTP dengan anggaran negara sebesar Rp. 5,95 triliun ini sudah terhitung gagal total.

Sehingga saya menyimpulkan kerugian keuangan negara yang terjadi adalah total dari seluruh anggaran proyek E-KTP yakni sebesar Rp. 5,95 triliun.

Satu lagi alasan, atas kerugian total Rp. 5,95 triliun ini, pada suatu hari nanti agar kartu indentitas warga negara Indonesia dapat disesuaikan dengan kemajuan teknologi dunia yang memiliki nilai elektronik. Berarti pada saat itu setiap KTP harus memiliki chips atau tanda pengenal yang privasi, cukup aman dan terkontak online diseluruh Indonesia.

Nah pada saat itu juga kita pasti harus menggantikan E-KTP yang sekarang ini dengan yang baru, dengan nilai kualitas KTP yang lebih canggih, karena E-KTP sekarang ini tidak sesuai lagi fungsi dan manfaatnya.

Dan juga pada saat itu negara tentu harus mengeluarkan anggaran baru untuk proyek KTP baru yang benar-benar berfungsi atau bernilai maksimal untuk kepentingan bangsa dan negara.

Ada yang paling bobrok atas pemberantasan korupsi E-KTP ini, saya perhatikan ada yang seperti bermain sandiwara atau pembodohan. Karena ada 14 oknum anggota DPR RI yang sudah dinyatakan mengembalikan uang hasil korupsi E-KTP sekitar Rp. 30 miliar, akan tetapi tidak langsung dijadikan tersangka dugaan korupsi E-KTP dan sampai sekarang belum juga adanya proses hukum.

Berdasarkan hukum pidana, pengembalian uang hasil korupsi tidak dapat menghapus tindak pidana yang sudah terjadi, namun terkadang hanya dapat menjadi acuan oleh majelis hakim untuk meringankan hukuman kepada terpidana pada saat divonis. Kemudian ada juga puluhan nama-nama yang sudah dibaca didalam dakwaan persidangan korupsi E- KTP.

Di situ sudah sangat jelas, siapa saja yang menerima uang hasil korupsi E-KTP? Berapa nominalnya yang diterima? Dari siapa yang memberikan atau lewat siapa dan kepada siapa? Kapan diberikan? Di mana tempat pertemuan dan pemberiannya? Apa alasan harus memberikannya?

Nah semua nama-nama dakwaan itu juga tidak dijadikan tersangka dugaan korupsi E-KTP sampai dengan hari ini? Hal ini sangat tidak bisa diterima dengan akal sehat kita yang masih cukup waras.

Pertanyaan dari saya, semua nama-nama yang diketahui dan disebut-sebut dalam kasus korupsi E-KTP ini kapan mau diproses hukum? Apakah dibiarkan terus seperti kemarin-kemarin? Saya terus menunggu dan mengamatinya, karena saya ingin turut membela Negara Kesatuan Republik Inodonesia yang tercinta ini.

Ada lagi sandiwara yang sangat bobrok, sewaktu ada pemanggilan dari KPK untuk Ketua DPR RI Setya Novanto, katanya KPK harus seijin presiden, karena anggota DPR RI memiliki Hak Imunitas.

Memang betul anggota DPR RI memiliki hak Imunitas berdasarkan pasal 20a UUD 1945, namun di situ jelas sekali, hak imunitas yang dimaksud adalah hak berbicara dan hak bertanya dengan cukup bebas atau disebut kebal hukum.

Namun perlu dicermati, hak imunitas yang dimaksud itu tidak termasuk hak imunitas seperti untuk melakukan korupsi, sehingga sewaktu Ketua DPR RI Setya Novanto terduga turut melakukan korupsi E-KTP ya harus diperiksa dan diproses hukum oleh KPK tanpa harus ada ijin dari presiden lagi.

Karena semisalnya presiden sendiri saja jika sampai terduga korupsi harus diperiksa oleh KPK, karena didalam hukum TIPIKOR tidak ada yang kebal hukum.

Saya ambil contoh lagi, seandainya seorang oknum anggota DPR melakukan korupsi, lalu bisa disertamertakan hak imunitas itu, kalau begitu berarti bisa kita simpulkan semua anggota DPR jadinya bebas korupsi dong!!? Karena memiliki hak imunitas sehingga tidak bisa tidak diproses hukum? Ini kan tidak benar, tidak lucu kan?!!

Hak imunitas seorang anggota DPR secara langsung atau otomatis gugur dan atau tidak berlaku lagi, jika terduga melakukan tindakan pidana korupsi.

Saya kira sudahilah dan hentikanlah semua proses hukum yang mirip dengan sandiwara dan pembodohan opini, dimana semua ini saya sangat curiga hanya karena demi pencitraan nilai politik semata?

Mulailah lebih berani, seluruh aparatur penegak hukum di negeri tercinta ini untuk menegakkan hukum yang seadil-adilnya, tanpa adanya proses hukum yang pilih kasih, agar NKRI menjadi maju dan makmur. Saya sangat yakin sekitar 263 juta jiwa WNI tentu sudah sangat merindukan dan mengiginkan NKRI yang maju dan makmur.

Saya kira tidak ada yang menginginkan negara seperti sekarang ini, hutang menumpuk sampai Rp. 3.866 triliun, kemiskinan semakin ekstrim, semua serba impor, hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas, nilai rupiah sangat rendah, sebagian sumber kekayaan alam dikuasai oleh pihak asing, tingkat kesejahteraan rakyat semakin hari semakin menurun dan lain sebagainya. [mc]

*Mr. Kan, Pengamat Politik dan Hukum.

Terpopuler

To Top