SBP: Jokowi Sudah Gagal Menjalankan Negara

Nusantarakini.com, Jakarta –

Pada hakekatnya Jokowi sudah gagal dalam menjalankan Negara. Dia ada atau tidak ada, tidak menjadi soal. Rakyat, Bangsa dan NKRI tetap bisa berjalan sendiri. Kalau ada yang berpikir, Menteri Keuangan menolak membayarkan uang gaji bulanan untuk para PNS dan TNI-Polri serta para pejabat Negara yang diangkat berdasarkan Undang-Undang dengan alasan tak ada Presiden, atau tak ada uang, silahkan saja kalau berani. Demikian pula, kalau para buruh dan pegawai/tenaga kerja swasta tidak dibayar gaji bulanannya oleh para Pengusahanya, karena Negara tidak ada yang memimpin, silahkan juga. Mereka, termasuk para Taipan itu, juga tidak akan berani.

Tentu menjadi lebih baik kalau seorang Presiden RI baru bisa dipilih. Pasti masyarakat akan menggeliat bangkit dan bergerak untuk memungkinkan seorang Pemimpin baru muncul, baik untuk sementara maupun sesudahnya menjadi tetap. Sebagai pemilik absah NKRI, rakyat pasti bisa; dan pasti menang! NKRI tidak akan hilang karena ulah beberapa pengkhianat yang kebetulan sedang berkuasa.

Tak mampu berperannya Jokowi menjalankan Negara sebenarnya sudah beberapa waktu terlihat nyata. Mundurnya Jokowi hanya sekedar formalitas agar menjadi resmi. Berbagai kerusakan sudah diperbuatnya, seperti pertentangan dan perpecahan di antara kelompok-kelompok masyarakat. Diawali soal Ahok dan Komunis, terus Penistaan Agama dan Cina RRC, terakhir soal NU-Garut. Tidak ada satu pun pemimpin di dunia ini yang sengaja menciptakan perpecahan di kalangan masyarakat, seperti yang dilakukan oleh Jokowi.

Sebagai sebuah Negara dengan penduduk 250 juta, nomor 4 terbesar di dunia, perekonomian Negara, pada hakekatnya sudah hancur. Mengambil perumpamaan, seperti situasi 1967 atau 1998, pilihan Jokowi hanya dua: 1) Mundur Teratur; atau 2) Dijatuhkan. Mungkin saja Jokowi masih berharap mendapat bantuan dari RRC atau suatu Negara Barat. Tetapi mereka membutuhkan TRUST, kepercayaan; yang tidak lagi dipunyai Jokowi. Ekonom asing sudah banyak yang menertawakan Jokowinomics-nya!

Kalaulah terjadi, seperti pada Soekarno dan Soeharto, lambat atau cepat Jokowi harus kembali menghadapi dua opsi di atas. Rakyat Indonesia tidak ingin terjebak lagi oleh Bantuan Asing macam LoI yang pernah diberikan oleh IMF (1997-2002), yang justru dijadikan alasan oleh Barat dan para Mafia Cina Indonesia, untuk merampok RI habis.

Dalam waktu dua bulan yang masih tersisa ini, sebelum tahun berganti, situasi hancurnya Ekonomi Indonesia akan semakin tampak. Sepertinya Sri Mulyani berhasrat mau menjuali BUMN-BUMN kita agar bisa bertahan. Siapa yang mau nembeli, kecuali dengan murah-meriah?! Tentu bukan orang-orang dalam Negeri. Sekalipun Taipan, selain duitnya sudah terkuras untuk proyek-proyek macam Reklamasi yang mangkrak dan Rumah Hantu Meikarta, mereka juga takut dengan kebijakan pemimpin baru Pasca Jokowi.

Di dalam suasana depresi, apalagi menjelang Tahun Baru, dengan harga minyak dunia yang sedang bergerak menuju 70 DPB dan defisit APBN Saudi yang sudah mencapai 10% dari GDP, Sri Mulyani masih juga mau menegakkan banang basah, dengan meningkatkan pendapatan Negara dari pajak dan bukan pajak dari masyarakat. Justru yang seharusnya dilakukan Si Sri adalah mengurangi beban masyarakat, agar mampu bernafas menyelamatkan bisnisnya. Dan selanjutnya bisa menghasilkan output yang lebih besar di kemudian hari. Tentu di samping itu harus ada usaha-usaha lain untuk meningkatkan kemampuan masyarakat menyediakan barang dan jasa. Tapi, sudah hampir dipastikan Sri Mulyani gagal membikin perekonomian Indonesia bangkit.

Mungkin saja beberapa Pebisnis Asing tertarik untuk membeli beberapa fasilitas, seperti pelabuhan udara, Pertamina, atau tambang migas dan minerba. Tapi mereka juga khawatir tentang risiko situasi Pasca Jokowi. Tentu dalam pikiran mereka, Pemimpin baru pasca Jokowi bisa membatalkan semua perjanjian dan jual-beli yang merugikan Indonesia. Dengan alasan itu dilakukan oleh Rezim masa lalu yang dijatuhkan.Termasuk utang-utang luar negeri yang dibuat Jokowi dan sebelumnya pun bisa dibatalkan, karena jumlahnya sudah sampai pada tingkat yang membahayakan, dibuat secara ngawur, dan merugikan Negara. Sementara itu, waktu Jokowi pun habis. Demikian pula para Menteri dan Pejabat Tinggi di Rezimnya, termasuk para Wakil Rakyat, sudah tidak tahan untuk tidak merampok kekayaan Negara; selagi sempat.

Sudah tidak ada lagi rasa percaya, apalagi suka kepada Jokowi. Mungkin masih ada beberapa yang kasihan kepada Jokowi, berharap sesuatu yang ajaib terjadi, dan beberapa ribu “Wong Solo” yang masih ingin melihat pesta pernikahan anaknya yang konon Hedonis dengan 8.000 undangan. Mantan Menpan bilang itu haknya Jokowi. Mestinya juga hak Rakyat untuk berpendapat lain. Selebihnya dari mereka yang mendukung mencibir Jokowi. Aura Kerakyatan yang dulu dibuat-buat dengan berbagai cara, seperti blusukan dan lain-lain seperti orang kesurupan, sudah hilang.

Dua bulan ke depan yang menentukan ini memang menjadi taruhan. Persis seperti zaman menjelang Mei 1998. Panglima TNI membawa para pimpinan TNI meninggalkan Jakarta, pada saat Jakarta terbakar, sekalipun Maret itu Soeharto terpilih lagi untuk ke tujuh kalinya. Bahkan sebagian dari para Menterinya pun memutuskan mengundurkan diri. Dua bulan ke depan ini, semua itu bisa terjadi.

Tidak dipungkiri, bahwa RRC adalah mitra baik Jokowi, atau sebaliknya. Mitra dalam artian hubungan yang tidak wajar karena bisa merupakan kejahatan yang bisa membahayakan keselamatan Rakyat, Bangsa dan Negara. Mereka datang beramai-ramai sebagai pekerja, bisa jutaan jumlahnya, lalu menetap dengan KTP WNI, dan tidak mau balik.

Yang sangat mengkhawatirkan adalah ketika Jokowi menjadi kalap, lalu main bumi hangus. Kapolri Tito yang menjadi karibnya sudah lama kalap. Semua orang yang berseberangan dengan Jokowi ditangkapinya. Bukan hukum yang mau ditegakkan, tapi hukuman. Bisa saja Jokowi kalap, lalu membikin porak-poranda Republik. Menurut Wong Solo, “Barji-Barbeh,” kalau satu kalah, semuanya harus kalah! Jokowi bersedia mundur, asal NKRI hancur-hancuran. Mirip seperti Wiranto ketika meninggalkan Timor-Timur. Karena itu Wiranto tidak berani keluar negeri, kecuali ingin ditangkap. Bisa saja Jokowi memberi komando kepada Cina-cina RRC yang sudah masuk untuk bikin kerusuhan di mana-mana sambil angkat senjata. Bisa saja waktu itu komando sudah mau dibuat saat Gatot ke AS. untung saja Gatot diperingatkan untuk tidak pergi. [mc]

*Sri-Bintang Pamungkas, Dewan Penasehat Musyawarah Rakyat Indonesia (MRI).