Tausiah

Baik Juga, Kan, Jika Taubat dan Tazkiyah Nafsi Ditunjang dengan Memerdekakan Orang Yang Terbelenggu…

Nusantarakini.com, Jakarta –

Dalam Islam, orang berdosa itu dapat membersihkan dirinya dengan suatu prosedur yang unik. Selain berdampak secara bathiniah, tapi juga berdampak besar secara sosial.

Prosedur penebusan dosa yang unik ini, terjadi dalam kasus ibadah puasa. Namun, bagus juga diterapkan pada seseorang yang ingin membersihkan dirinya, tazkiyah nafsi, kendati tidak diyakinkan sebagai suatu prosedur baku. Hanya sebagai upaya untuk membuat amal dalam rangka sebagai peneguhan atas maksud diri untuk melangkah pertaubatan kepada Allah secara mantap.

Seseorang yang melakukan hubungan seksual di siang puasa ramadhan secara sengaja, berlaku kepadanya penerapan prosedur kafarat atau sanksi syariat. Seperti apa itu?

Dalam suatu artikel yang panjang di Internet diuraikan sebagai berikut:

“Kafarat adalah suatu cara pengganti untuk menebus kesalahan (dosa) yang dilakukan secara sengaja. Kafarat Berasal dari kata dasar kafara (menutupi sesuatu). Merupakan sebuah denda yang wajib ditunaikan yang disebabkan oleh suatu perbuatan dosa, yang bertujuan menutup dosa tersebut sehingga tidak ada lagi pengaruh dosa yang ia perbuat, baik di dunia maupun di akhirat.

Terkait dengan kafarat puasa Ramadhan, orang yang membatalkan puasa dengan sengaja (tanpa alasan yang syar’i), maka wajib baginya menjalankan kafarat agar kesalahan yg diperbuat karena seseorang tersebut tidak berpuasa itu mendapat ampunan dari Allah Swt.

Berdasarkan hadist shahih dari Abu Hurairah ada 3 pilihan jenis kafarat yang disesuaikan dengan kemampuan orang yang akan menjalankan kafarat itu sendiri yaitu ;

  • Memerdekakan budak,
  • Berpuasa 2 bulan berturut-turut, dan
  • Memberi makan 60 orang miskin

Dari Abu Hurairah ra, Seorang lelaki datang menemui Nabi saw. dan berkata: Celaka saya, wahai Rasulullah. Beliau bertanya: Apa yang membuat engkau celaka? Lelaki itu menjawab: Saya telah bersetubuh dengan istri saya di siang hari bulan Ramadan. Beliau bertanya: Apakah engkau mempunyai sesuatu untuk memerdekakan seorang budak? Ia menjawab: Tidak punya. Beliau bertanya: Mampukah engkau berpuasa selama dua bulan berturut-turut? Ia menjawab: Tidak mampu. Beliau bertanya lagi: Apakah engkau mempunyai sesuatu untuk memberi makan enam puluh orang miskin? Ia menjawab: Tidak punya. Kemudian ia duduk menunggu sebentar. Lalu Rasulullah saw. memberikan sekeranjang kurma kepadanya sambil bersabda: Sedekahkan lah ini. Lelaki tadi bertanya: Tentunya aku harus menyedekahkannya kepada orang yang paling miskin di antara kita, sedangkan di daerah ini, tidak ada keluarga yang paling memerlukannya selain dari kami. Maka Rasulullah saw. pun tertawa sampai kelihatan salah satu bagian giginya. Kemudian beliau bersabda: Pulanglah dan berikan makan keluargamu (Muttafaq ‘alaih)

Begitu juga dalam kesempatan yang lain Hurairah juga ia berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah saw. kemudian berkata, ‘Aku tidak berpuasa sehari di bulan Ramadhan dengan sengaja.’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Memerdekakan budak, atau puasalah dua bulan berturut-turut, atau berilah makan enam puluh orang miskin’.” (Muttafaq ‘alaih).

Sehingga disini jelas bahwa orang yang melakukan perbuatan yang dapat membatalkan puasa dengan sengaja tanpa alasan yang syar’i (Jima’, Makan dan minum dengan sengaja dll) dapat dikenai kafarat seperti yang diterangkan hadits di atas.

Memerdekakan Budak

Opsi ini sangat sulit dilakukan, di samping biaya menebus seorang budak sangat mahal juga perbudakan sekarang sudah tidak ada di sekitar kita. Kalau parameter harga budaknya sama dengan yang dikeluarkan oleh Abu Bakar Ash-Shidiq dalam membebaskan bilal bin Rabbah ra orang yang tak punya harta jelas tidak sanggup melaksanakannya. Abu Bakar As-Shidiq ra Sewaktu membebaskan Bilal bin Rabah ra, Ia membebaskannya dengan harga 9 uqiah* yang setara dengan Rp. 157.842.000,- (9 x 7,4 x Rp. 2.370.000 ). Pertanyaannya apakah kita punya uang sebanyak itu?

*Konversi = 1 uqiyah = 31,74 gr emas = 7,4 dinar , 1 dinar = 4,25 gr, 1 dinar = Rp 2.370.000 juta  dimana 1 dirham = 1/10 dinar = Rp 237.000

Melaksanakan puasa 2 bulan penuh

Mari berfikir logika, Di bulan Ramadhan semua orang muslim sebagian besar berpuasa. Hanya “oknum” tertentu saja yang mengindahkan perintah puasa tanpa alas an yang jelas. Sehingga suasananya adalah suasana yang hemogen (kesamaan), kondisi dibuat sama yang secara tidak langsung akan memudahkan kita dalam menjalankan puasa di bulan Ramadhan. Sedangkan di bulan lain (selain bulan Ramadhan), kondisinya sudah heterogen. Ada yang puasa (melanjutkan puasa sunah atau sedang mengqodho) ada yang tidak. Bisa jadi di saat kita sedang puasa, teman sebelah kita minum jus alpukat yang membuat kerongkongan kita makin deras menelan air liur. Belum lagi kalau kita bertamu kita disuguhi makan kesukaan. Apa tidak semakin tersiksa perut kita?

Kita diperintahkan sebulan puasa berturut-turut saja sudah batal dengan godaan yang ada, apalagi mau puasa 2 (dua) bulan berturut-turut di hari selain Ramadhan yang godaannya bisa jadi melipat ganda. Yakin sanggup?

Memberi makan  60 orang miskin

1 (satu) bulan dalam hijriyah berkisar 29-30 hari. Kalau opsi kafarat kedua adalah berpuasa selama 2 (dua) bulan berturut-turut dan di sambungkan dengan fidyah orang yang tidak berpuasa Ramadhan karena alas an syar’i dimana sehari tidak berpuasa maka ia member makan 1 orang miskin.

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Dari Ibnu Umar r.a., Rasulullah saw bersabda ” Barang siapa meninggal dunia dan masih mempunyai utang puasa, maka hendaknya memberi makan untuknya untuk setiap hari satu orang miskin” (HR. Tirmidzi).

Sehingga ketika dia tidak sanggup melakukan puasa selama 2 bulan berturut-turut maka sama saja dia tidak berpuasa selama 60 hari. Sehingga sebagai pengganti puasanya ia mempunyai kewajibannya adalah memberi makan 60 orang miskin. Dengan catatan Satu hari ada 24 jam, dalam 24 jam setiap orang rata-rata makan 3 x sehari.  Sehingga dalam sehari kita memberi 3 kali makan satu orang miskin.”

Nah mari kita tarik hal di atas dalam konteks perkara seseorang yang hendak membersihkan dirinya dari kekafiran masa lalu. Selain dengan jalan taubat, tak ada salahnya bila dia melengkapi pertaubatannya itu dengan menerapkan kaedah kafarat di atas, yaitu mulai dari memerdekakan budak, puasa dua bulan berkesinambungan, dan memberi makan 60 orang miskin, sebagai bentuk rasa sadar dan syukurnya untuk kembali ke jalan Allah.

Bukankah itu baik, jika seseorang mengiringi pertaubatannya dengan tazkiyah nafsi berupa amal memerdekakan orang yang terbelenggu? Apalagi di zaman ini banyak sekali muslimin muslimat yang terbelenggu.

Pertanyaannya yang segera muncul, memang di zaman ini masih ada orang yang tidak merdeka? Orang yang tidak merdeka banyak ragamnya saat ini. Orang yang terjerat utang, orang yang telah mengikat kontrak kerja pada suatu perusahaan atau majikan, dimana pekerjaan itu membuatnya terjajah, terbelenggu, itu juga wujud perbudakan.

Nah, mereka yang kembali bertaubat kepada Allah, kemudian bertazkiyah nafsi, dapatlah kiranya mengiringi usaha pertaubatannya itu dengan amal memerdekakan orang yang terbelenggu suatu utang atau kontrak kerja.

Bila tidak mampu, dia boleh mengamalkan puasa dua bulan berturut-turut dengan niat bukan sebagai kafarat puasa ramadlan, tapi rasa syukur dan pembersihan bathin. Bila juga tidak mampu, dia dapat membelanjakan hartanya untuk memberi makan 60 orang miskin sebagai wujud syukur atas pertaubatannya kepada Allah.

Apakah ini bid’ah? Wallahu A’lam. Jika niatnya untuk memantapkan pertaubatannya, memantapkan tazkiyah nafsinya, sekaligus beramal terhadap kaum muslimin, tentu baik sekali dan tidak masalah. Asal tidak diniatkan untuk mengubah dan mengganti syariat tentang kafarat orang yang berhubungan seksual di bulan ramadhan secara sengaja, tapi untuk beramal saleh sebagai penunjang pertaubatan dan tazkiyah nafsi di hadapan Allah.

Bagaimana, Anda siap memulai amalan tazkiyah nafsi dengan memerdekakan orang yang terbelenggu, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau… memberi makan 60 orang miskin? Itu sangat terpuji, lho. Bayangkan jika banyak orang yang merdeka dari belenggu majikan dan utang oleh karena amal tazkiyah nafsi dan pertaubatan seseorang. Tentu suatu pertaubatan yang liberatif dan produktif.

 

~ KYAI EMBUN

Terpopuler

To Top