Ini Cerita tentang Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Menggulingkan Rezim

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Perasaanku memang kacau akhir tahun 1966 itu. Sudah hampir satu tahun kami tidak masuk kelas. Kadangkala masuk beberapa hari, lalu ada pengumuman dari Ketua  Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) ITB, untuk turun ke jalan. Hubungan para mahasiswa yang tergabung dalam KAMI, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, dengan para dosen, yang juga tergabung dalam KASI, Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia, cukup baik; ada saling pengertian.

Seperti biasa, sesudah mendapat pengumuman, kami jalan berunjukrasa turun sepanjang Jalan Dago. Dimulai dari Kampus ITB, kumpul sebentar di Pertigaan RS Boromeous, mendengarkan instruksi dari senior Koordinator Lapangan, menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, lalu jalan kaki turun ke arah Jalan Merdeka. Begitu yang kami lakukan setiap “Turba,” Turun ke Bawah, kadangkala beramai-ramai bersama mahasiswa-mahasiswa dari Universitas Padjadjaran. Sampai di jalan Merdeka kami bergabung pula dengan para mahasiswa dari Universitas Parahiangan. Kami berhenti hampir bertepatan di depan Kampus mereka, atau di perempatan dengan jalan Aceh. Sambil duduk-duduk di jalan, kami mendengarkan orasi dari pimpinan mahasiswa tentang situasi negara pada saat itu, Pasca G30S/PKI.

Hari itu pun kami turun. Seluruh ITB seakan-akan libur. Rektor, Ir. Kuntoadji, tidak bisa menolak. Beliau memang seorang anggota TNI, berpangkat Kolonel, yang ditugasi untuk sekaligus menjaga keamanan ITB setelah terjadinya Kudeta gagal dari Dewan Revolusi pimpinan Letkol Untung.

Ketua MPM ITB, Rahmat Witular, yang juga kami anggap Pimpinan KAMI Kontingen ITB, tentu sudah mendapat ijin dari Rektor. Hari itu yang akan memimpin demo adalah seniorku dari Teknik Sipil, Adi Sasono. Seperti biasa, kami akan turun bersama para mahasiswa Universitas Padjadjaran, Unpad, yang akan dipimpin oleh Sugeng Saryadi. Sampai melewati perempatan Aceh-Merdeka, kami berhenti.

Kali ini agak lain. Kami diminta tetap berdiri dan membentuk lingkaran. Karena banyak, maka lingkaran luar mencapai trotoar di pingggir jalan, sedang yang di dalam membentuk lingkaran kecil. Hampir berhadap-hadapan dengan pimpinan demo.

Seperti biasa, kami bertepuk tangan meriah saat Adi Sasono mau bicara. Adi Sasono meneriakkan “Merdeka!,” beberapa kali sebelum memulai orasinya. Hari itu dia bicara tentang Bung Karno yang dituduhnya berkhianat, karena bekerjasama dengan PKI. Aku merinding juga mendengar pidato Mas Adi. Saya pikir, Bung Karno masih bisa membela diri dan bertahan untuk tetap dihormati sebagai Presiden RI Pertama. Aku sendiri masih selalu berharap Bung Karno yang dikagumi dan diharapkan rakyat akan selalu tetap begitu. Aku tersentak kaget, ketika Mas Adi membuka gulungan kertas yang selama berpidato dipegangnya. Dia membuka gulungan kertas itu, yang ternyata bergambar Bung Karno. Aku lupa apa yang dikatakannya, tapi dia segera merobek-robek gambar Soekarno itu dengan rasa dan ucapan marah.

Dalam mengakhiri orasinya, Adi Sasono meminta mahasiswa bubar dengan tertib, sambil berjalan sepanjang jalan di daerah pertokoan untuk mencari gambar Soekarno, membeli gambar-gambar tersebut dan merobek-robeknya sepanjang jalan.

“Di Bandung ini tidak boleh ada gambar Soekarno!,” pesannya. Kami benar-benar bubar dan berjalan-jalan di pertokoan. Aku ikut bersama teman-teman lain, sekalian pulang ke tempat kosku di Jalan Citarum.

Aku termasuk salah satu dari Kontingen Pertama ITB yang diberangkatkan ke Jakarta, menuju Kampus UI di Salemba. Pudjo, mungkin satu tahun di atas saya, yang menjadi pimpinan Kontingen. Kebetulan hari itu kami harus berangkat dalam satu rombongan bersepuluh, termasuk Pudjo. Dia dikenal sebagai anak asal Madiun yang ahli dalam Pencak Silat, “SH Terate,” pecahan dari Perkumpulan Pencak Silat dan Kebatinan “Setia Hati” dari Winongo, Madiun yang terkenal di era sekitar Kemerdekaan itu. “Setia Hati” itu pulalah yang melatih pendekar-pendekar yang dibuang ke Digul untuk tegar melawan Belanda.

Menuju Jakarta, Pudjo menyetop bis dan kami naik lima-lima orang begitu saja, tanpa bayar. “Ya, begini kalau mau Revolusi!,” kata Pudjo mengajari kami dan membela diri. Di UI Salemba kami melanjutkan demo-demo. Yang sering, ke DPR-RI minta agar Soekarno dimintai tanggung jawab atas Peristiwa 65. Kami juga mendemo Kedubes RRC menuntut untuk memutus hubungan diplomatiknya dengan RI, yaitu dengan menutup Kedubesnya.

Akhirnya kita semua tahu,  Soekarno pada akhirnya jatuh. Ketua DPR Achmad Syaichu akhirnya berani meminta para anggota MPR untuk menggelar Sidang Istimewa MPR pada 7 Maret 1967. Soekarno dicabut mandatnya oleh MPR. Soeharto diangkat menjadi Penjabat Presiden sampai terbentuknya MPR hasil Pemilu. Soeharto juga sekaligus menjadi Ketua Presidium Kabinet Ampera untuk menyusun Kabinet Pemerintah Transisi. Pada saatnya nanti Soeharto mengangkat 4 orang sebagai anggota Presidium. SI-MPR ditutup tepat pada 11 Maret yang menjadi Tanggal Keramat bagi Soeharto. Soeharto menjadi Presiden Diktator RI selama lebih dari 30 tahun, yaitu terpilih untuk ketujuh kalinya selalu pada 11 Maret.

Tidak mudah menggelar SI-MPR itu tanpa rekayasa politik. Tetapi dengan kecerdikannya, Soeharto bekerjasama dengan Achmad Syaichu dan AH Nasution, Ketua MPR, semua persoalan bisa diatasi. Orang-orang PKI yang masih bercokol di DPR/MPR dicopotinya dan diganti dengan mereka yang setia dengan Pancasila dan UUD 1945. SI-MPR menjadi bersih dari para penjahat dan pengkhianat Rakyat, Bangsa, Negara dan Agama, sehingga Sidang berhasil dan berjalan dengan lancar.

Kalau SI-MPR nanti digelar untuk mencabut mandat Rezim Jokowi, maka juga harus begitu…! Sekarang sudah jelas betul, bahwa Jokowi bekerjasama dengan para Mafia Cina dan RRC untuk menghancurkan Indonesia. Pernyataan Mendagri Tjahjo Kumolo, bahwa UU Ormas yang baru diabsahkan, dan terbukti telah digunakan untuk meringkus Organidasi Islam macam Hizbut Tahrir, tidak akan digunakan terhadap kelompok Komunis dan Atheis. Bahkan dengan bangga menekankan, bahwa organisasi yang masih dilarang oleh Tap MPR ini sedang maju dengan pesat.

Pengkhianatan Jokowi tentu sudah amat sangat jauh dibanding dengan apa yang dituduhkan kepada Soekarno. MPR harus direbut untuk menghukum Jokowi. Karena itu, Pemuda dan Mahasiswa harus menyiapkan diri sesegera mungkin untuk menjatuhkan Jokowi, bukan karena sebab lain, melainkan karena pengkhianatannya membawa kekuatan asing yang terlarang, baik itu berupa ideologi Komunis, Anti Islam dan Anti Pribumi, maupun membawa ribuan Cina Asing dan ribuan pucuk senjata berat, memasuki wilayah kedaulatan NKRI.

Soekarno, yang sangat berjasa memerdekakan rakyat saja kita hukum. Soeharto yang berjasa menumpas komunis pun kita hukum. Ini Jokowi, entah keturunan Sie Djin Koei yang dari mana, tiba-tiba muncul dan melakukan kerusakan di muka bumi. Soeharto sendiri yang untuk ketujuh kalinya terpilih menjadi presiden pada bulan Maret 1998, ternyata dalam waktu kurang dari dua bulan, bisa jatuh pada Mei tahun yang sama.

Jadi, rakyat Indonesia, khususnya para Pemuda dan Mahasiswanya, harus yakin bahwa monster yang amat sangat berbahaya sekali ini pun bisa dijatuhkan sebelum 2017 berakhir. Tentu masih bagus kalau Jokowi mau mundur teratur seperti Soeharto, tetapi kalau tidak maka dia harus siap jatuh tersungkur dengan amat menderita! [mc]

*Sri Bintang Pamungkas, Dewan Penasehat Musyawarah Rakyat Indonesia (MRI).