Ini Alasan Kuliah di Fakultas Hukum, Sia-sia dan Percuma

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Tujuan adanya hukum adalah tegaknya keadilan, tanpa pandang bulu. Hukum hanya sarana bagi keadilan. Apabila di tengah perjalanan penegakan hukum yang tidak pandang bulu itu, terdapat masalah-masalah baru, maka diperlukanlah kajian dan penelitian hukum agar pemecahan masalah dapat ditemukan sehingga penegakan hukum tidak pernah berhenti dan melenceng. Di titik inilah salah satu urgensi adanya Fakultas Hukum pada suatu perguruan tinggi.

Nah, di Indonesia ada masalah mendasar sehingga Fakultas Hukum kehilangan relevansi misi utamanya.

Jika masyarakat ditanya, adakah penegakan hukum dapat dipercaya berlangsung secara adil, berlaku tanpa pandang bulu, dari rakyat kecil, petugas hukum, hingga penguasa, orang pada umumnya skeptis. Dengan demikian, sebenarnya hukum tidak pernah benar-benar berlaku di lapangan. Yang berlaku adalah kekuasaan atas nama hukum.

Sudah merupakan kebiasaan, bahwa siapa yang kuat, siapa yang punya uang banyak dan koneksi ke penguasa dan petugas hukum, maka dia dengan mudah lepas dari jerat hukum. Apalagi di dalam sistem yang berlaku, terdapat banyak sekali celah formal untuk lepas dari hukum, mulai dari pra peradilan, hingga kasasi.

Masih jelas dalam memori masyarakat bagaimana suatu kasus e-KTP yang bernilai triliunan rupiah, seseorang lepas dengan mekanisme pra peradilan. Karena sistem yang tersedia, memberikan banyak celah untuk melepaskan diri dari proses penegakan hukum. Belum terkadang penerapan pihak penyidik yang dapat memungkinkan terjadinya diskriminasi, dimana yang satu ditahan langsung, sedang yang lainnya cukup dilepas.

Dalam realitas semacam itu, dimana bukan hukum yang berlaku, tapi kekuasaan atas nama hukum, menjadi timbul pertanyaan: lalu kalau begitu apa pentingnya lagi fakultas hukum mendidik mahasiswa, kecuali melatih untuk masuk dalam sistem permainan kekuasaan atas nama hukum?

Begitulah jadinya fakultas hukum tak dapat melampaui tugasnya kecuali hanya menjadi bagian dari sistem kekuasaan terhadap masyarakat.

Yang paling celaka lagi, yaitu Fakultas Syariah. Kenapa? Karena syariah secara penuh, tidak maujud dan berlaku di Indonesia. Jadi orang mempelajari syariat hanya sekedar mengetahui saja, tetapi tidak dapat diterapkan secara penuh, kecuali beberapa aspek saja yang terakomodir di dalam sistem peradilan agama. Padahal, syariat itu menuntut pemberlakuan secara penuh.

Dengan begitu, jika patokan dan standardnya ialah tegaknya keadilan secara penuh dan tanpa pandang bulu, maka mempelajari hukum di fakultas hukum yang ada di Indonesia hanya sia-sia belaka. Demikian juga, jika tolak ukurnya ialah bagaimana syariat dapat diterapkan dengan paripurna, maka adanya fakultas syariah, sia-sia belaka. Bagaimana tidak, seorang Muslim dituntut menerapkan syariat secara penuh di dalam diri dan masyarakatnya, kemudian mempelajarinya di Fakultas Syariah, tetapi tidak dapat mengaplikasikannya, maka yang ditemukan ialah kesia-siaan belaka.

Lebih celaka lagi, orang masuk ke Fakultas Syariah, tapi hasilnya hanya untuk meragukan, mengabaikan dan merongrong serta mendelegitimasi syariat Islam itu sendiri agar tidak dapat berlaku, seperti fenomena yang banyak terdapat saat ini di fakultas-fakultas syariah. Hal ini harusnya jadi renungan dan catatan bagi pembaca semua. (ke9)