Analisa

Elektabilitas Jokowi Turun, Begini Cara Pemecahannya

Nusantarakini.com, Jakarta –

 

Salah satu cara untuk meyakinkan dugaan atau hipotetis kita tentang tingkat keterpilihan Balon (Bakal Calon) atau Calon dalam pemilihan seperti Pilpres atau Pilkada yakni melakukan survei opini publik terkait elektabilitas para Balon atau Calon.

Untuk kasus Jokowi sebagai Balon pada Pilpres tahun 2019 mendatang, sudah mulai dibicarakan di publik berdasarkan hasil survei opini publik. Sebagai incumbent atau pertahana, Jokowi di mata lembaga survei pada umumnya menunjukkan penurunan elektabilitas. Akibatnya. bisa disimpulkan bahwa kemungkinan Jokowi memenangkan persaingan pada Pilpres 2019 semakin sukar dan kecil.

Di acara Rapimnas Partai Golkar, Mei 2017, Balikpapan, Kalimantan Timur, Menko Maritim Luhut B.Panjaitan menyatakan tanpa sumber bahwa elektabilitas Jokowi saat ini masih di atas 50 persen. Lebih tinggi dibandingkan dengan elektabilitas SBY, Megawati dan Prabowo.

Sebelumnya, pada Januari hingga April 2017 Litbang Kompas adakan survei berkala. Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan elektabilitas Jokowi mencapai 41, 6 persen.

Pada 14-20 Mei 2017, bulan sama dengan pernyataan Luhut B. Panjaitan di Acara Golkar, SMRC adakan survei opini publik. Hasil survei ini menunjukkan elektabilitas Jokowi mencapai 34,1 persen.

Pada 23-30 Agustus 2017 CSIS lakukan survei. Hasil survei menunjukkan elektabilitas Jokowi cukup tinggi, yakni 50,9%,

Selanjutnya, Lembaga Media Survei Nasional (Median) merilis hasil survei 14-22 September 2017, Hasil survei menunjukkan, elektabilitas Jokowi 36,2 persen. Namun, di lain pihak SMRC mengumumkan angka lebih tinggi, yakni elektabilitas Jokowi mencapai 38,9 persen. Angka ini menaik dibandingkan hasil survei SMRC sebelumnya, elektabilitas Jokowi hanya 34,1 persen.

Dari sejumlah data elektabilitas di atas, dapat disimpulkan bahwa terjadi penurunan elektabilitas Jokowi hingga mencapai di bawah 40 persen dan mendekati di bawah 35 persen dari tingkat elektabilitas sebelumnya, di atas 50 persen. Jika ditarik rata2 dari angka semua Lembaga Survei di atas, tetap mengalami penurunan, yakni rata2 sekitar 40 persen. Para Lembaga Survey membandingkan Jokowi sbg Pertahana dengan tokoh2 bukan Pertahana dan bahkan belum secara resmi menyatakan diri akan maju sebagai Capres pada Pilpres 2019. Sebagai Pertahana elektabilitas Jokowi kini hanya sekitar 40 persen, jauh dibawah perolehan suara Jokowi pada Pilpres 2014, di atas 50 persen. Tepat sekali kalau ada pendapat, semua Calon seperti Prabowo, Gatot N, bahkan SBY memiliki peluang yang sama dengan Jokowi untuk memenangkan kompetisi Pilpres 2019.

Intinya, tidak terdapat indikasi peningkatan elektabilitas Jokowi, bahkan dari bulan ke bulan tahun 2017 ini terus merosot. Waktu tinggal sekitar 1,5 tahun lagi bagi Jokowi utk hentikan penurunan elektabilitas dirinya. Kondisi Jokowi ini tanpa kegiatan promosi dan kampanye pesaing/kompetitor atau Tim Sukses, Relawan dan Partai Pendukung. Baru Jokowi seorang telah mendapatkan dukungan resmi dari Partai Golkar, Hanura, Nasdem, PPP dll. Ternyata dukungan resmi Parpol-parpol tersebut, tak usahkan meningkatkan elektabilitas Jokowi, mempertahankan agar tidak menurun pun tak sanggup.

Penurunan elektabilitas Jokowi ini tentu disebabkan berbagai faktor, terutama rakyat umat Islam politik dan kelas menengah perkotaan, bukan tokoh pesaing individual sebagai Balon.

Penurunan angka elektabilitas Jokowi ini bermakna semakin berkurang kemungkinan menangnya Jokowi pada Pilpres 2019. Kecenderungan menurunnya elektabilitas Jokowi ini akan terus mengambil tempat sepanjang kebijakan-kebijakan Jokowi tidak mengutamakan aspirasi dan kepentingan terutama Umat Islam politik dan kelas menengah perkotaan.

Ada asumsi bahwa elektabilitas Calon Incumbent atau Pertahana harus di atas 60 persen. Jokowi harus memiliki tingkat elektabilitas di atas 60%. Sebab, dalam berbagai pertarungan pemilu ketat, perolehan suara calon petahana berada di bawah tingkat elektabilitas hasil survei. Dalam Pilpres 2009, SBY-Boediono meraup 60,8% suara. Perolehan ini jauh di bawah hasil survei opini publik menempatan SBY-Boediono sebagai pemenang pemilu dengan tingkat elektabilitas 71%. Hal ini juga berlaku pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Pasangan Incumbent Ahok-Djarot menurut sejumlah rilis survei opini publik, tingkat elektabilitas mereka hingga 56%, hanya mampu meraih 42,99% suara dalam putaran pertama dan 42,04% suara pada putaran kedua.

Kecenderungan elektabilitas Jokowi ini kemungkinan besar akan menurun dan menjauhi zona aman (60%).

Jika asumsi dasar ini diterima, adalah sangat sukar bagi Jokowi untuk memenangkan pertarungan perebutan kekuasaan negara pada Pilpres 2019 mendatang.

Apa cara pemecahan masalah (solusi) trend penurunan elektabilitas Jokowi ini agar bisa menaik dan mencapai batas aman untuk memenangkan Pilpres 2019?

Cara pemecahan utama, sangat menentukan, menggunakan level analisis Parpol sebagai aktor mempengaruhi prilaku pemilih. PDIP sebagai Parpol peserta Pemilu harus segera menyatakan secara resmi dukungan terhadap Jokowi utk maju lagi sebagai Capres pada Pilpres 2019. PDIP harus mengambil posisi di mata publik sebagai “Lead Party”, Parpol Pemimpin, jangan beri ke Parpol lain yang tidak memiliki akar sosiologis dengan Jokowi seperti Golkar. Setelah adakan pernyataan resmi, lalu PDIP lakukan konsolidasi internal penguatan mesin Parpol untuk mempromosikan dan mengkampanyekan Jokowi di tengah-tengah masyarakat pemilih. Tentu saja, mesin Parpol ini akan terkendala dengan kepentingan Pemilu legislatif yang waktu bersamaan dengan Pilpres 2019.

Untuk mendapatkan dukungan sebagian umat Islam politik, Jokowi sudah mulai memberi pertanda kepada publik, Calon Wapres dirinya dari Tokoh atau Ulama umat Islam seperti Jusuf Kalla saat Pilpres 2014. Siapa Tokoh atau Ulama dimaksud, satu kriteria Tokoh itu memiliki basis massa atau organisasi masyarakat umat Islam atau didukung berat para Parpol Islam. Dari segi momentum memang terlambat, tapi Jokowi harus coba untuk pemenangan Pilpres 2019. Sudah saatnya Jokowi berpikir rasional untuk perolehan suara pemilih sebanyak mungkin. Semua kebijakan Pemerintah membuat umat Islam dan kelas menengah perkotaan antipati dan penurunan elektabilitas harus diminimalkan. Jangan terus lakukan politik pembiaran yang membuat persepsi masyarakat negatif meningkat dan meluas. Waktu hanya sekitar 1,5 tahun lagi! [mc]

*Muchtar Effendi Harahap, Peneliti Senior NSEAS.

Terpopuler

To Top