Jonru Dikriminalkan. Betulkah Targetnya Delegitimasi Keterpilihan Anies?

Nusantarakini.com, Jakarta –

Belum berselang lama Asma Dewi ditahan dan harus menghadapi proses hukum, kini Jonru yang kondang sebagai icon penggiat media sosial Indonesia itu pun ikut berurusan dengan polisi. Jika Asma Dewi, orang banyak mengidentifikasinya sebagai representasi penggiat medsos yang cenderung Partai Gerindra, maka Jonru jelas dipersepsikan sebagai representasi PKS.

Baik Asma maupun Jonru sama-sama tidak dapat memerisai dirinya dengan kesaktian dua partai tersebut. Jangankan dijenguk ketua partainya, dikomentari sedikit pun tidak. Nasib…nasib. Makin kentallah perasaan umum bahwa penggiat medsos tidak boleh terlalu kencang membela partai atau figur idola. Toh nanti jika kejadian ditangkap, situ tak akan ditolong dan rasakan sendiri risikonya.

Kasus Jonru agaknya dibuat seperti bola salju. Menggelinding ke sana ke mari. Masak Jonru yang dicokok dengan pasal hatespeech, rumah dan koleksi bukunya pun ikut-ikutan digeledah polisi. Emangnya kasus terorisme?

Dikatakan, dari lusinan buku yang digeledah, terdapat buku 212. Lalu buku 212 itu disangkut pautkan dengan aksi Jonru. Benar-benar mantaplah main bola saljunya.

Dasar media tertentu yang memang dari sononya kagak suka dan nyimpen dendam kesumat sama aksi 212, maka diolahlah isu buku 212 itu sebagai olahan berita. Ujung-ujungnya kedeteksi motif untuk kriminalisasi aksi 212 yang memang telah berkontribusi jatuhkan Ahok itu.

Di sinilah titik permainan itu bermula. Bila kelak giringan isu mengarah kepada kriminalisasi aksi 212 dan ujungnya bahwa aksi itu dipaksapersepsikan sebagai aksi ilegal, maka akan timbul masalah berikut: berarti hasil Pilkada DKI yang faktanya didahului rally aksi yang memuncak aksi 212 itu bisa diopinikan ilegal, ya? Jika ilegal, atau setidak-tidaknya bermasalah secara proses, berarti pihak yang terpilih ilegal pula? Begitukah yang dikehendaki rekayasa isu Jonru yang kini hendak dikaitkan-kaitkan dengan buku 212?

Lha…kalau begitu ceritanya, kita biarkan sajalah orang-orang tim sukses mereka yang terpilih itu ngurusin sendiri urusannya. Sebab, baik Asma Dewi maupun Jonru, rasa-rasanya, mereka anteng-ayem aje. Karena merasa bukan urusan mereka.

Memang jika kita cermati, ada suatu perasaan di pihak yang berkuasa, mengapa terjadi suatu kecelakaan sejarah di luar agenda setting mereka, dimana ada realita aksi 212, 411 dan seterusnya, yang semuanya meruntuhkan salah satu penopang bangunan kuasa mereka. Ini jadinya berakibat mengental menjadi dendam kesumat politik.

Mereka maunya semua unsur Islam di Indonesia seperti yang mereka kehendaki: jinak, lunak, pragmatis dan tidak banyak akal. Tau-tau ada unsur Islam mengkristal secara politik dengan sebuah aksi 212. Ini benar-benar tidak kehendaki oleh kekuasaan yang tengah bertahta.

Nah…di antara jutaan anasir itu, di situlah Jonru dan Asma Dewi berada. Anasir inilah yang menopang terpilihnya cagub-cawagub yang tidak terlalu happy bagi penguasa. Cuman masalahnya juga, sebagian anasir dari cagub dan cawagub itu sebenarnya pragmatis saja. Sebenarnya secara ideologis mereka tidak suka juga adanya kristalisasi politik berdasarkan agama dan identitas yang mewarnai aksi 212 itu. Tapi apa boleh buat. Itu adalah fakta, sekaligus modal politik yang rugi total jika tidak dimanfaatkan. Jadinya, keuntungan politik aksi 212 itu mereka ambil dan nikmati, tetapi risikonya seperti sekarang ini yang menimpa Jonru dan Asma Dewi, tak suka mereka tanggung renteng.

Cuman, jika penguasa nantinya mengarahkan kasus Jonru beserta barang bukti buku 212 itu ditembakkan untuk mendelegitimasi cagub dan cawagub terpilih, atau setidaknya supaya menghalangi figur-figur itu tidak muncul jadi kuda hitam di Pilpres mendatang, laa…baru deh tahu gimana rasanya. Biarkan sajalah tim sukses mereka itu ngurusin. (ke9)