Analisa

Djoko Edhi: Tahu Apa Imam Aziz LKIS Tentang Seluk-beluk Film

Nusantarakini.com, Jakarta –

Ketua PBNU bidang kebudayaan, Imam Aziz, mendapat sorotan tajam dari Djoko Edhi Abdurrahman, mantan Direktur Litbang Studio 41, Mantan Anggota Komisi III DPR, Wasek LPBH PBNU.

Imam Aziz terkenal sebagai pendiri penerbitan LKIS di Yogyakarta, yang banyak menerbitkan buku-buku kritis, antara lain, Kiri Islam karangan Kazuo Shimogaki. Buku ini terkenal di kalangan lingkar-lingkar studi mahasiswa era 90-an.

Djoko Edhi tidak kalah masyhurnya dibandingkan Imam Aziz. Djoko Edhi punya reputasi dalam tulisan-tulisannya yang cadas namun penuh humor. Maklum, lama berkarir sebagai wartawan.

Inilah kritik Djoko Edhi kepada Imam Aziz, koleganya yang sama-sama bertugas di PB NU.

***

Saya ada di Studio 41 Tendean Jakarta waktu film “G 30 S /PKI” dibuat oleh Arifin C Noor dan mempelajari hasil riset film itu. Saya sempat menjadi Direktur Litbang Studio 41 jelang Dirut Studio 42 Mas Edy meninggal. Dan Direktur Perum Pusat Film Negara (PPFN) G. Dwipayana juga meninggal. Saya Wakil Sekretaris LPBH PBNU saat ini, tapi belum pernah mendengar karir maupun kompetensi Imam Azis yang  di PBNU mengurus kebudayaan, yang kemarin menyatakan film “G 30 S/ PKI” film sampah. Apalagi bikin film. PBNU sendiri belum pernah bikin film yang sutradaranya dari PBNU.

Saya baca Imam Azis yang juga di PBNU, mencaci maki film “G 30 S / PKI” yang disutradarai cineas Arifin C Noor sebagai film horor murahan di seantero medsos. Bukan budayawan, bukan film maker, bukan cineas, mencaci maki karya seni orang lain. Bagaimana membacanya ini bro Imam?

Studio 41 dan film G 30 S/PKI

Film G 30 S / PKI dirilis tahun 1984. Produsernya adalah PPFN (Pusat Produksi Film Negara). Pelaksana produksinya adalah Studio 41, Kapten Tendean, Jakarta Selatan.

Tak kurang selama setahun riset dan hunting location dilakukan Mas Edy CS dan Arifin C Noor, Umar Kayyam, Amoroso Katamsi, Syubah Asa, etc untuk menyusun naskahnya, skenario dan story board dengan metodologi jumping shoot. Bersama dengan film “G 30 S / PKI” juga dibuat film “Jakarta 66”. Entah jadi apa Imam Azis waktu itu. Salah-salah baru mengaji kitab gundul. Belum nyampe ke kebudayaan, apalagi bahasa kamera.

Studio 41 adalah studio pertama di Indonesia, didirikan oleh G Dwipayana (Pak Dipo), penulis naskah film “Si Unyil” yang juga Asisten Menteri Sekretariat Negara. Studio 41 adalah satu-satunya studio film (yang belakangan terkenal dengan Production House). IKJ (Institut Kesenian Jakarta), TIM, diinisiasi dari Studio 41, dan tempat praktikum anak-anak IKJ.

Kamera Celluloid

Film “G 30 S / PKI” dibuat dengan kamera celluloid. Untuk memakai kamera ini, kameramen, sutradara, penulis skenario, harus paham bahasa kamera. Edit tak bisa dilakukan di Indonesia, umumnya di Ad Lab, Australia atau Hongkong. Mahal sekali. Edit linier baru bisa dilakukan setelah PPFN membeli komputer Imix Family tahun 1990 an, bersistem mainframe. Operatornya terhitung dengan jari, hanya ada di Studio 41.

Bicara kualitas gambar, hasil celluloid jauh di atas kualitas digital sampai kini, karena sejumlah teknik celluloid tak dimiliki kamera beta maupun kamera digital. Juga penyusunan gambar yang kini tak menggunakan story board, sementara di Hollywood, story board masih prasyarat wajib hingga kini, bahkan untuk jenis skenario teleplay.

Arifin C Noor

Cineas terkemuka saat itu adalah Arifin C Noor. Karyanya sangat termashur. Arifin juga penulis naskah teater, antara lain, “Umang-Umang”, “Sumur Tanpa Dasar”, keduanya menduduki juara naskah nasional.

Demikian mashurnya Arifin, sehingga Noorca mengganti namanya menjadi Noorca Marendra Massardi. Noorca berasal dari C Noor, sedang Marendra berasal dari Rendra. Sedang nama aslinya sendiri adalah Mas Ardi. Noorca adalah alumni Echole, Perancis, almamater Nietzche, di pusat film Cannes, 9 kali menjadi Pimred, terakhir Pimred Majalah Forum Keadilan di mana saya jadi Kapusdata Majalah Forum.

Arifin C Noor adalah sutradara pertama yang melakukan pengambilan gambar tanpa skenario dan story board di Indonesia. Karena itu, ia dijuluki cineas jenius. Dan nama Arifin C Noor peringkat teratas, baik wibawa, karya seni, maupun wawasan kebudayaan. Lainnya di bawah dia, Teguh Karya, Wim Umboh, dst.

Ketika hari-hari ini karya Arifin C Noor dicaci maki sebagai sampah dan horror oleh budayawan PBNU Imam Azis, sudah pasti budayawan ini, tak paham karya cinema. Niscaya Imam lilu (kesasar) kalau menonton film “Gladiator”. Lho, di naskah teaternya, Brutus menikam Julius Caesar 14 kali. Kok dicekik?

Belajar Sejarah

Kalau mau belajar sejarah, jangan dari film besar. Melainkan di dokumenter, buku sejarah,  manuskrip. Bukan di film “G 30 S / PKI”. Ngawur berat. Film itu adalah film yang dibiayai oleh PPFN, berkisah tentang Presiden Soeharto. Versinya jelas PPFN. Tak lantas film ini sampah atau horror. Sampai kini, belum ada film sebaik karya Arifin C Noor itu.

Kalau merasa hebat, buatlah film yang lebih baik dari karya Arifin C Noor. Sampai matahari terbit dari Barat, niscaya takkan mampu. Kalau marah kepada Panglima TNI yang memutar film itu, caci maki saja Jenderal Gatot Nurmantio. Tak berani kan? Kurang nyalinya. LOL. Di mana salahnya film itu bro? Tolong tunjukkan kebenaran versi antum. Mana? (ke9)

Terpopuler

To Top