Analisa

Sebagai Presiden, Jokowi Saatnya Gunakan Wewenang Konstitusional untuk Negara

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Seminggu terakhir ini, situasi politik nasional benar-benar diaduk aduk bagai mengaduk air di kubangan yang sudah butek. Kubangan butek merupakan gambaran kondisi bangsa saat ini yang bisa saya gunakan sebagai perbandingan situasi. Diaduk-aduk entah untuk mencari sesuatu supaya muncul kepermukaan atau entah untuk membuat suasana terus tidak stabil atau hanya sebuah upaya cipta kondisi dengan tujuan tertentu, semua hanya bisa dijawab oleh kekuatan kekuasaan yang memerintah. Karena semua ini terjadi adalah sebagai akibat dari pertarungan kekuatan internal kekuasaan atau yang sering disebut dengan istilah Power Struggle.

Menarik mencermati perkembangan ini. Menarik sekaligus memprihatinkan bagi masa depan karena terlihat dengan jelas bagaimana para elit pemangku kekuasaan yang mengurus negara ini tidak kompak, tidak kordinatif, tidak menyatu dalam satu kerangka kepemimpinan dan bergerak sendiri-sendiri.

Presiden Jokowi mungkin pusing juga melihat jajarannya bermain dengan gaya masing-masing, dan sekaligus mungkin lebih bingung lagi karena tak kunjung mampu mengendalikan seluruh mainan yang dimainkan oleh jajarannya. Persaingan dan pertarungan politik antar elit pimpinan lembaga negara terjadi diluar kerangka kepemimpinan. Ini lah akibatnya, politik bangsa riuh justru bukan oleh politisi tapi oleh elit pemimpin lembaga negara yang memegang kekuasaan.

Mari coba kita lihat sedikit saja contoh dari semua itu. Kapolri dengan penegakan hukum yang timpang sering membuat kondisi politik panas. Kepala BIN yang bertemu Gubernur Papua membuat Politik riuh. Panglima TNI bangkit berdiri dengan teriakan demi negara, melawan kebangkitan PKI dan cerita impor senjata ilegal yang justru menampar wajah BIN.

Belum lagi ditambah isu-isu lain dari kementerian seperti peresmian patung serdadu Poa An Tui di Taman Mini oleh Menteri Dalam Negeri yang dalam
Catatan sejarah justru diduga adalah kelompok penghianat yang membantu Belanda, serta sederet isu ekonomi lainnya yang dimainkan Kemenko Maritim maupun Menkeu.

Dengan kondisi seperti ini, kepemimpinan Presiden Jokowi sangat dituntut dan dibutuhkan. Negara dalam keadaan genting, Presiden harus berbicara dan bertindak. Mungkin kata genting ini kata yang bisa kita pinjam meniru ucapan pasukan Cakrabirawa dalam Film G30S PKI. Bukan ingin meniru Cakra, tapi mencoba menggambarkan situasi yang teraduk aduk hingga negara genting.

Yang paling menggemparkan itu adalah adanya upaya impor senjata ilegal oleh institusi non militer yang disampaikan oleh Panglima TNI. Siapa institusi yang dimaksud Panglima TNI? Ini tentu berbahaya karena dibumbui dengan pencatutan nama Presiden Jokowi. Semudah dan seberani itukah sekarang orang mencatut nama Presiden?

Tercata sudah beberapa kali nama Presiden Jokowi dicatut. Pertama dicatut dalam skandal Papa Minta Saham yang sekarang berakhir kemesraan antara Presiden dengan Setya Novanto. Kedua dicatut namanya dalam pertemuan Kepala BIN dengan Lukas Enembe yang sesuai kabar beredar diminta mengamankan Jokowi 2019. Kisah ini masih bergulir sekarang dan belum ada komentar dari Presiden. Serta sekarang nama Presiden dicatut untuk impor senjata ilegal, namun ironisnya Presiden belum terlihat memberikan respon apapun.

Ada apa dengan negara ini? Haruskah hal-hal yang lebih buruk akan terjadi mengingat lemahnya kepemimpinan yang terjadi?

Kita harus mendukung Presiden Jokowi menghantar bangsa ini hingga akhir periodenya 2019 nanti. Kita dukung presiden ciptakan suasana kondusif agar tercipta pemilu yang bersih, jujur dan adil tahun 2019. Tanpa kondusifitas yang baik, maka jangan berharap akan ada pemilu yang baik 2019 nanti. Tanpa Pemilu yang baik, jujur, bersih dan adil, maka niscaya kepemimpinan nasional tidak akan berubah menjadi lebih baik. Ini penegasan yang sangat penting demi masa depan bangsa dan negara.

Untuk itu, sudah saatnya Presiden sekarang tegas dengan menggunakan hak konstitusionalnya dengan mencopot elit-elit lembaga yang justru menyebabkan ketidak stabilan politik. Ini point penting, Presiden harus menjadi pemimpin, menyatukan jajaran dalam satu kerangka kepemimpinan dengan pengabdian satu-satunya hanya untuk negara.

Kegaduhan ini mestinya sekarang diakhiri dengan memulai mengganti Kapolri, menganti Kepala BIN dan mengganti menteri-menteri yang hanya bikin gaduh dan berpihak pada kepentingan asing.

Waktu bekerja tidak banyak lagi, Presiden harus bergerak cepat menyelamatkan bangsa bersama seluruh komponen bangsa. Awali dengan perintah pengibaran bendera setengah tiang 30 September 2017 dan lanjutkan dengan resufle kabinet 1 Oktober 2017. Ini cuma saran, bukan perintah. Diterima syukur, tidak diterima juga tak apa. [mc]

Jakarta, 24 September 2017

*Ferdinand Hutahaean, Rumah Amanah Rakyat.

Terpopuler

To Top