Analisa

Mengapa Indonesia Harus Kerja Sama dengan Perusahaan Singapura Soal LNG?

Nusantarakini.com, Jakarta –

Publik di Indonesia baru paham apa yang terjadi pascapenandatanganan Heads Of Agreement (HOA) antara PT PLN dengan perusahaan Singapura Keppel Offshore and Marine dan Pavilion Energy Ltd tanggal 7 September 2017 di Singapore bersamaan dengan kunjungan kenegaraan Presiden Jokowi dengan rombongan dalam acara memperingati 50 tahun hubungan diplomatik yang sudah terbangun antara Indonesia dan Singapore.

Sehingga menjadi agak benar ketika sebelumnya Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan kerjasama ini ada politiknya (6/9/2017), sehingga setelah tertunda 5 (lima) hari dari penanda tanganan HOA di Singapore, baru kemarin PLN resmi memberikan keterangan pers di depan berbagai media ibukota diwakili oleh Direktur Pemasaran Wilayah Jawa Amir Rosidin, bukan oleh Direktur Pemasaran Wilayah Sumatera PLN, padahal media di Singapore sudah memberitakannya sejak tanggal 7 September 2017.

Walaupun ada beda isi penjelasan antara yang disampaikan oleh Direksi PLN dengan CEO Pavilion Energy Ltd Seoh Moon Ming, ya sudahlah kita percaya saja saat ini baru HOA untuk melakukan studi bersama selama 6 (enam) bulan untuk kajian efisiensi suplai LNG untuk kebutuhan MPP (Mobil Power Plant) pembangkit PLN skala 25 MW di wilayah Tanjung Pinang dan Natuna, bukan sampai Pulau Nias seperti dikatakan Menko Kemaritiman.

Tetapi sebaiknya kita perlu mengetahaui kenapa hal ini bisa terjadi; sebagai sebuah negara yang pernah menjadi produsen terbesar LNG di dunia, akhirnya harus menunjuk traders Singapura untuk melakukan kajian ini.

Sudah sekitar 10 tahun yang lalu, Singapura dengan cerdik telah melakukan usaha untuk membangun terminal LNG dan regasifikasi. Pada saat itu, tidak ada satupun negara, termasuk Indonesia, yang mau bekerja sama untuk memasok LNG.

Namun dengan keuletan dan kegigihan serta kearifan Singapura sebagai negara kecil namun mempunyai infrastruktur perdagangan yang lengkap plus letak negara tersebut yang strategis, maka Singapura akhirnya berhasil membangun terminal LNG.

Terminal LNG ini dibangun awalnya bertujuan untuk memasok gas di jaringan gas di negeri tersebut. Maka sebagai negara yang miskin sumber daya alam, Singapura sangat bergantung pasokan migas dari negara lain, Indonesia adalah penyuplai terbesar gas ke negara tersebut lewat pipa bawah laut dari lapangan Natuna dan Lapangan Grissik Sumatera selatan.

Oleh karena itu, kebijakan diversifikasi sumber energi merupakan strategi yang tepat dan harus konsisten dijalankan oleh negara Singapura.

Pemerintah Singapura, melihat semuanya itu sebagai tantangan sekaligus peluang bisnis yang luar biasa, sehingga pemerintahnya memberikan insentif dan jaminan-jaminan yang diperlukan bagi perusahaan-perusahaan yang mau membangun fasilitas diversifikasi sumber energi. Tidak seperti di tempat kita “kalau bisa dipersulit, untuk apa dipermudah.” Hal itulah salah satu yang membuat pengusaha kita menjadi tidak efisien, karena banyak kena “jatah uang preman.”

Meski tidak ekonomis awalnya bagi pengusaha di Singapura, karena tidak ada “base load quantity” sebagai jaminan investasi, namun karena intervensi positif pemerintahnya jadilah Singapura membangun terminal LNG. Terminal LNG di Jurong yang dilengkapi dengan dua tanki raksasa dan sudah selesai dibangun serta sudah dioperasikan. Bahkan Singapura juga merencanakan pembangunan terminal kedua yang juga akan dilengkapi dengan dua tanki.

Singapura paham bahwa negara negara di sekitarnya akan membutuhkan LNG di masa depan. Oleh karena itu, mereka membangun kapasitas tangki yang jauh melebihi kebutuhan diversifikasi sumber energi yg dibutuhkan.

Keberanian Singapura menyiapkan logistik penyimpanan LNG semacam ini juga dikarenakan adanya pola konsumsi yang mengikuti musim di negara industri di Asia Pasifik. Tingginya permintaan LNG di musim dingin ini akan memicu kenaikan harga LNG, sehingga harga LNG yang disimpan di Singapura ini di pasaran spot bisa bersaing harganya dengan LNG berasal dari Timur Tengah dan Australia termasuk juga yang dari Indonesia.

Penjualan spot kargo di musim dingin ini tentunya juga dilihat oleh para pebisnis di Singapura dengan sangat cermat sebagai mitigasi untuk menutup biaya base load pembangunan tangki penyimpanan di negara tersebut.

Oleh karena itu, tidaklah heran apabila Singapura kemudian menawarkan kelebihan kapasitas fasilitas penyimpanan LNG ini kepada negara negara dengan empat musim. Korea Selatan dan Jepang menjadi negara-negara yang diharapkan mau bekerja sama.

Namun demikian sungguh mengejutkan manakala Singapura kemudian menawarkan fleksibilitas semacam itu kepada Indonesia sang produsen LNG, yang di masa lampau pernah menjadi produsen LNG terbesar di dunia!?
Lebih mengejutkan lagi kalau kita paham bahwa Indonesia sudah memiliki fasilitas penyimpanan semacam itu di Arun Lhok Seumawe Aceh!?

Perlu disimak juga bahwa Pavillion Energy LNG justru juga mempunyai MOU dengan Pertamina untuk pembelian LNG dari Pertamina.
Sungguh ini lelucon terbaik di bisnis LNG Indonesia, apabila suatu saat nanti PLN berdasarkan hasil kajian yang sedang dibuat akan membeli LNG dari perusahan Singapura dan LNG tersebut sebenarnya dipasok oleh Pertamina.

Seperti diketahui selama ini bahwa PLN sebenarnya adalah perusahaan yg sangat sulit diajak bernegosiasi. Tidak jarang PLN melakukan tindakan “walk out” dengan pihak lain dalam berbisnis. Mereka juga tidak sungkan sungkan membatalkan kesepakatan dagang meskipun dengan sesama BUMN seperti dengan Pertamina atau PGN. Namun demikian, saat ini PLN terkesan seperti dicucuk hidungnya mau melakukan kesepakatan dengan Keppel Ofshore and Marine dan Pavillion LNG, mengapa ini bisa terjadi? Biar Jenderal Nagabonar lah menjawabnya itu.

Pavillion LNG tidak punya sumber pasokan yang tetap saat ini yang bisa dijual kepada pihak lain di luar Singapura. Oleh karena itu, HoA ini pastilah akan dipakai oleh mereka untuk mencari supplier LNG di dunia ini, termasuk dari Pertamina Bontang dan BP Tangguh. Artinya pengusaha Singapura cerdik menggunakan kebodohan negara yang kaya sumber daya alamnya, tapi salah mengelolanya.

Saat ini konon Pertamina sedang pusing tujuh keliling mencari pembeli LNG. PLN yang diharapkan bisa dijadikan pembeli LNG hasil produksi Bontang tidak pernah progresif dalam melakukan pembahasan kontrak, sehingga relatif tidak ada progres sama sekali pembahasan pembelian LNG dari Bontang.

Inilah kisah sedih yang dialami dunia LNG di Indonesia. Cerita ini tidak jauh berbeda dari kisah bisnis BBM yang semula Indonesia gagah perkasa menjadi negara “net eksportir” selanjutnya menjadi “net importir” untuk minyak mentah dan BBM.

Sehingga saya dengan kasus ini, mengingatkan pesan leluhur saya “Bangsa yang tidak bisa mensyukuri nikmat berupa sumber daya alam yang melimpah dari Allah SWT, maka sumber daya alam itu akan menjadi kutukan bagi bangsa tersebut.” [mc]

*Yusri Usman, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI).

Terpopuler

To Top