Internasional

Tulisan Ito Sumardi, Dubes Untuk Myanmar Tentang Tragedi Rohingya Dinilai Tidak Empatik Terhadap Korban

Nusantarakini.com, Jakarta –

Sebuah tulisan yang bertujuan mendudukkan perkara tragedi Rohingya yang berasal dari Duta Besar Indonesia untuk Myanmar, Ito Sumardi, dinilai kurang mengandung empati atas penderitaan etnik Rohingya yang dikejar, dibantai dan diusir dari Myanmar.

Pendekatan perspektif tulisannya kehilangan rasa empati atas tragedi kemanusiaan yang terjadi di Myanmar. Lebih jauh isi tulisan Dubes Ito, sebagaimana berikut ini:

Tulisan Dubes Indonesia di Myanmar, Ito Sumardi.

***

KONFLIK ROHINGNYA MYANMAR

Beberapa hari ini berita soal Rohingya sangat mengemuka di berita Regional dan Internasional, tapi lebih ramai lagi di berita nasional dan telah berdampak banyaknya pertanyaan teman-teman di tanah air tentang Myanmar dan Rohingnya. Untuk itu saya sangat ingin berbagi sudut pandang dan beberapa fakta peristiwa terkait isu Rohingnya sebagai orang yang sekarang tinggal di Yangon, Myanmar. Tulisan ini merupakan highlight saja dan akan saya susun juga pembahasan per-topik selanjutnya sebagai bagian penjelasan dari tulisan pertama ini.

Sejak tahun lalu sebenarnya konflik Rohingnya di Rakhine State sudah mengemuka dan menjadi perhatian internasional, ASEAN dan Negara-negara Islam (OKI).  Sejak awal Tahun ini bahkan Pemerintah Myanmar telah membentuk Advisory Commission yang dipimpin oleh mantan Sekjen PBB Kofi Anan. Bahkan beberapa tahun sebelumnya (2012) juga sudah ada persoalan tentang Rohingnya sehingga Indonesia kebanjiran pengungsinya.

Rohingnya memang memang persoalan yang menahun di Myanmar. Sejak persoalan kewarganegaraan dari etnis ini tidak dapat terakomodasi dengan baik dalam UU Kewarganegaraan Myanmar (Burma), Etnis Rohingnya juga terjerembab pada konflik horizontal dengan etnis Arakan yang menjadi suku mayoritas di Rakhine State, yang kemudian memuncak pada saat terjadinya kasus pemerkosaan dan pembunuhan antar dua kelompok etnis tersebut pada tahun 2012. Bahkan dalam konflik itu melibatkan tokoh agama, namun konflik itu sebenarnya juga soal social economy dan etnisitas.

Etnis Rohingnya ini secara umum tidak seberuntung dengan Etnis Bengali yang sudah hidup nyaman sebagai warga Negara sejak jaman kolonial Inggris. Asal muasal wilayah mereka ada yang menyebut sama dan berasal dari campuran Bangladesh dan Pakistan Timur. Namun jelasnya kedua etnis ini bukan penduduk aseli wilayah Myanmar (Burma). Etnis Bengali telah secara bebas hidup secara social ekonomi dan bebas menganut agama, dan bahkan banyak yang menganut agama Islam. Yang beragama Islam mereka bebas melakukan peribadatan dan banyak masjid yang didirikan di kota besar di Myanmar. Sampai dengan Idul Adha kemarin saja mereka masih menjalankan ibadah Shalat Ied dan berqurban.

Secara umum, konflik etnik di Myanmar tidak hanya terjadi di Rakhine State saja, Myanmar masih menyimpan konflik antar etnis di beberapa State (di 7 Negara Bagian). Bagi kita  bangsa Indonesia yang telah mendahului proses demokratisasi dan penataan kelembagaan Negara serta desentralisasi serta pengedepanan supremasi hukum, akan sedikit terheran jika mellihat struktur kenegaraan dan persoalan pemerintahan di Myanmar. Sebagai contoh, kita tidak biasa membayangkan bahwa di Myanmar ada tentara lokal (tentara etnis di Negara Bagiannya) di samping tentara nasionalnya. Contoh lainnya, bahwa SDM Kepolisian Myanmar masih belum mempunyai kapasitas menangani setiap konflik antar etnis tersebut, sehingga di Myanmar tentara nasional (Tatmadaw) lah yang mengambil peran (komando) pada setiap penanganan konflik di beberapa bagian di negaranya, Polisi berada langsung di bawah komando tentara. Seperti kita ketahui dan kita alami juga di negara kita dulu, kalau tentara yang turun artinya yang dilakukan adalah upaya pemberantasan (perang), bukan tindakan penegakan hukum, meskipun dalam beberapa keterangan resmi ada juga upaya penegakan hukum bagi kelompok yang melawan apabila tertangkap.

Pertanyaan yang sering muncul adalah, kenapa justru ketika Myanmar memasuki era demokratisasi, peristiwa-peristiwa penanganan konflik dengan pendekatan militeristik masih dilakukan. Padahal Daw Aung San Suu Kyi (DASSK) sebagai pemimpin de Facto Myanmar saat ini adalah penerima nobel perdamaian. Saya ingin menjelaskan terlebih dahulu latar belakang politiknya. Pasca kemenangan pemilu yang kedua di Myanmar, pemerintahan militer Myanmar akhirnya menyetujui  proses demokratisasi dan memberikan kekuasaan kepada pemenang pemilu pada tahun 2015. DASSK merupakan pemimpin yang dicintai rakyat Myanmar menang 80 persen lebih dalam pemilu, namun dia terhambat menjadi presiden karena status kewarganegaraan anaknya yang berkewarganegaraan Inggris. Infra dan supra struktur politik di Myanmar akhirnya bersepakat untuk menempatkan DASSK sebagai State Counsellor, struktur baru sebagai pemimpin de facto yang berkuasa di samping struktur formal yang menurut konstitusi.

Proses demokratisasi Myanmar sudah dibuka dan dimulai namun belum bisa meluncur karena pemenang pemilu 2015, tidak bisa melakukan reformasi yang berarti sebab peran militer dalam pemerintahan masih terasa kuat, militer masih menjadi bagian dari parlemen dan memiliki hak veto, sebuah yang sangat istimewa untuk memveto setiap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sejalan dengan kebijakan “pengendali real” keamanan negara. DASSK sebagai pemimpin pemerintahan sipil belum punya instrumen aparatur keamanan yang kompeten sebagaimana di Negara-negara demokratis lainnya. Reformasi keamanan di Myanmar belum berjalan.

Ada satu nama penting dalam politik Myanmar yang tidak terlalu banyak muncul, namun dia merupakan tokoh penting, yang mempengaruhi  laju pemerintahan sipil Myanmar, sehingga Partai Politik harus bernegosiasi dengannya apabila hendak mengambil kebijakan. Tokoh ini adalah tokoh kunci di Militer Myanmar saat ini yakni Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing. Jenderal ganteng ini (seperti pak Harto dulu) adalah tokoh militer yang membela peran lanjutan militer dalam politik nasional Myanmar. Dialah salah satu tokoh penting yang membuat poros Myanmar-China, di mana pada saat pemerintahan Militerisme, sebelum masuk dalam keanggotaan ASEAN, Myanmar adalah negara proxy RRC, dan China juga banyak memberi bantuan langsung kepada Myanmar. Sejarah ini tidak bisa dinegasikan dalam konstelasi politik nasional maupun regional Myanmar.

Dari fakta ini ada beberapa analisis yang signifikan kenapa isu Rohingnya menjadi membesar karena terdapat permasalahan bahwa konflik ini ditangani oleh Militer yang akhirnya seperti tanpa kendali dantidak sesuai dengan standar HAM dan SOP Penanganan Konflik yang jelas.

Lebih lanjut dalam konteks isu konflik  Rohingya yang terjadi pada Bulan Agustus 2017 ini, pada dasarnya kejadiannya tidak berdiri sendiri. Runtutan peristiwa sejak akhir 2016 memberi warna hingga peristiwa terakhir. Penjelasannya seperti ini.

Pasca konflik etnis 2012, Etnis Rohingnya hidup dalam kamp-kamp di beberapa wilayah di Negara Bagian Rakhine, mereka hidup dalam pengawasan aparatur wilayah, meraka memliki masalah kemiskinan dan terhambat pembangunannya karena status kewarganegaraanya  yang tidak diakui. Di tengah situasi tersebut muncul kelompok solidaritas seperti Rohingnya Solidarity Organization (RSO) yang kemudian ada juga Arakan Rohingnya Salvation Army (ARSA). Kelompok-kelompok itu melakukan gerakan radikal dengan melakukan serangkaian serangan baik kepada aparatur keamanan maupun warga lainnya dan mulai bergulir secara simultan pada akhir 2016 lalu.

Pada akhir tahun 2016 mereka menyerang pos-pos polisi dan membunuh beberapa polisi, kemudian dibalas dengan serangan oleh kelompok aparat keamanan (polisi dan tentara). Namun apa daya tentara dan polisi itu ternyata kalah banyak dan terkepung dan terjadi kontak senjata dan menewaskan puluhan aparat. Pasca kejadian ini aparatur keamanan Myanmar menilai situasi sudah tidak kondusif, hingga mereka melakukan opreasi khusus dan berdampak pada jatuhnya korban warga Rohingya, karena mereka menyerang beberapa kampong yang dijadikan tameng oleh kelompok Radikal. Jumlah korban masyarakat sangat banyak dan terindikasi juga terjadi pelanggaran HAM oleh tentara dan polisi Myanmar pada saat operasi militer tersebut. Terjadi eksodus pengungsi ke Bangladesh utamanya

Peristiwa di awal Oktober 2016  tersebut mengekskalasi dan Pemerintah Myanmar mengambil sikap untuk membuat tim pencari fakta dan bahkan membentuk Komisi Penasehat yang dipimpin oleh Kofi Anan. DASSK seperti ingin netral tak ingin menyalahkan militer namun juga tidak mau kehilangan muka karena terjadi pelanggaran dalam pemerintahan demokrasi yang tengah dipimpinnya. PBB secara terpisah telah memberikan perhatian terhadap peristiwa ini dan telah membentuk tim pencari fakta. Namun hasil tim pencari fakta PBB secara tegas ditolak karena mereka melakukan investigasi di kamp pengungsi yang ada di Bangladesh, hingga akhirnya Tim itu tidak berikan visa untuk masuk Myanmar. Penolakan hasil Tim PBB oleh pemerintah Myanmar atas saran dari National Security Advisor (NSA) tersebut diamini dan diikuti oleh sikap Panglima Militer Min Aung Hlaing dan  juga oleh kelompok masyarakat lainnya, tidak terkecuali dari kelompok agama. Bahkan mereka mendukung upaya bahwa warga Rohingnya agar tetap tidak diberikan status kewarganegaraan Myanmar. Padahal salah satu saran dari Kofi Anan adalah untuk mengurangi dan meredam konflik mereka perlu diberi status kewarganegaraan. Hingga kini perdebatan solusi pemberian kewarganegaraan ini terus bergulir, solusi hukum, social dan keamanan masih terus menjadi bahasan di pemerintah Myanmar.

Bahkan dalam beberapa kesempatan pemerintah mensinyalir bahwa eskalasi konflik terjadi karena isu Rohingnya telah ditunggangi kelompok teroris, sebab ada fakta bahwa penyerangan kepada aparatur keamanan Myanmar dipimpin oleh ekstrimis yang terkatif di Afghanistan, dan telah terjadi pergeseran isu internasional di mana konflik etnis ini telah berkembang menjadi konflik agama. Aparatur Keamanan Myanmar mengidentifikasi ada 10 Organisasi yang berafiliasi dengan MUJAHIDIN dan ISIS jaringan Andaman Sea yang terkait dalam penyerangan pos-pos aparatur keamanan Myanmar. Bahkan ada fakta bahwa sesama muslim pun jadi sasaran pembunuhan.

Pasca kegagalan PBB mencari fakta dalam peristiwa Rohingnya di akhir tahun 2016, kemudian PBB menunjuk Ketua Tim Pencari Fakta yang baru, yakni telah dilakukan pembicraan intensif dengan Dewan HAM PBB untuk menujuk Marzuki Darusman. Belum saja upaya itu dilakukan meletus peristiwa baru.

 

Dalam konstelasi yang demikian itu terjadi antiklimaks pencarian fakta dan terjadi blunder baru yang kemudian terjadi pada Akhir Juli 2017 dan yang fantastis di bulan Agustus terjadi serangan secara sistematis pada lebih dari 10 pos polisi di wilayah Rakhine State Bagian Barat. Dan lagi-lagi jatuh korban terlebih dahulu di pihak aparatur keamanan yang kemudian diikuti dengan operasi yang mengakibatkan puluhan korban jatuh dan terjadi arus pengungsian lagi ke Negara terdekat.

Myanmar saat ini masih menggunakan pendekatan kedaulatan Negara dalam menyelesaikan konflik, sementara pendekatan HAM dan perspektif keamanan regional belum menjadi perhatian penuh. Saya melihat ini juga disebabkan oleh kondisi politik domestik Myanmar yang belum stabil dan ajeg menjalankan seluruh prinsip-prinsip demokrasi. Peristiwa ini telah menggugah kemanusiaan kita semua  namun perlu pertimbangan yang bijaksana dalam mengambil jalan sikap kita sehingga tidak gegabah memperlebar isu dan menimbulkan konflik baru.

Di tengah situasi yang demikian itu banyak pihak memfaatkan isu Rohingnya sesuai dengan kepentingannya. Indonesia sejak lama telah melakukan pendekatan kepada pemerintah Myanmar dan melakukan diplomasi non-megaphone dalam menyikapi isu Rohingnya. Jalan yang diambil adalah secara simultan memberikan bantuan kemanusiaan yang diberikan kepada masyarakat Rakhine. Karena sangat disadari di lapangan persoalan kemiskinan menjadi persoalan inti. Jalan ini merupakan kompromi dari pilihan politik luar negeri Indonesia. Tidak hanya di situ saja bahwa bantuan kemanusiaan Indonesia yang dikordinasikan dalam Aliansi Kemanusiaan Indonesia-Myanmar, telah melibatkan stakeholders yang lebih luas, yakni tidak hanya pemerintah saja namun juga organisasi keagamaan dan kemanusiaan, ada Mer-C, Dompet Duafa, Muhamadiyah, NU, DarutTauhid, PMI, Walubi, PKPU dkk.

Secara pro-aktif Indonesia juga melakukan double track diplomasi, yakni tidak hanya mengirimkan bantuan kemanusiaan, namun juga  melakukan appeal (tekanan) agar pemerintah Myanmar sebagai kawan baik bisa mengambil langkah yang tepat dan tidak meruncingkan keadaan agar terjaga stabilitas keamanan regional.

Berbeda dengan Negara tetangga kita Malaysia, Malaysia memang telah mengambil sikap untuk membawa persoalan ini secara organizational ke OKI dan secara eksplisit menyatakan kecaman kepada Myanmar. Namun sangat disayangkan, Malaysia menggandeng isu Islam dalam konflik Rohingnya ini. Myanmar balik menuduh Perdana Menteri Malaysia menggunakan isu Islam untuk menaikan Grade Pemerintahannya yang tengah terpuruk di dalam negeri.

Saya jadi tergelitik juga kalau di tanah air justru isu Rohingnya digeser jadi sentimen keagamaan (Islam) yang diusung oleh oraganisasi-organisasi yang mau terpuruk, dan menggunakan isu ini untuk meningkatkan popularitasnya.

Setiap kita punya cara, tapi mengedepankan fakta dan keadilan perlu menjadi langkah awal kita. Isu Rohingnya adalah isu kemanusiaan. Indonesia, PBB, OKI ASEAN telah turun melihat persoalan ini secara komprehensif, baiknya kita tak ikut-ikutan memperuncing keadaan dengan dasar penilaian yang cuma berdasarkan berita-berita yang tidak terklarifikasi.

Prinsipnya kita bersepakat agar peristiwa-peristiwa yang menyakitkan perikemanusiaan kita segera dihentikan oleh seluruh pihak yang berkonflik di Myanmar. Kecaman kita tentunya tak hanya kepada pemerintah saja, namun juga kepada kelompok Rohingnya supaya tidak melakukan tindakan yang anarkis juga.

Demikian sementara ini.

Salam (gft)

Terpopuler

To Top