Tausiah

FITNAH JA’DAL (Bedhol Negoro)

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Betapa riang gembira hatiku melihat Indonesia baik-baik saja keadaannya. Indonesia sangat mantap dengan dirinya. Sangat percaya diri dengan keputusan langkah-langkahnya. Indonesia menegakkan pilar-pilar kemajuannya, tanpa ada masalah dengan harta benda tanah airnya, tidak ada kemerosotan pada kedaulatan Negaranya maupun harga diri kebangsaannya.

Indonesia sudah sangat teguh keyakinan atas dirinya sendiri, hari ini dan masa depan. Sudah tidak merasa perlu mempertanyakan apapun kepada dirinya. Sudah beriman penuh kepada prinsip dan formula kenegaraannya, kepada anatomi otoritas kenegaraannya, kepada konstruksi dan pilar-pilar konstitusinya. Indonesia tidak memerlukan cermin untuk berkaca dan mere-evaluasi dirinya.

Indonesia melangkah dengan gagah ke masa depan. Indonesia wajahnya sangat cerah dan tenang, badannya tegak, dadanya membusung, hatinya tidak resah dan pikirannya tidak berisi pertanyaan-pertanyaan. Indonesia benar-benar tidak bergeming oleh apapun saja, sangat yakin pada kepemimpinan dan pemerintahannya. Indonesia adalah kafilah besar yang berderap, di luar itu hanyalah anjing-anjing menggonggong.

Cintaku membabi buta kepada Indonesia. Di siang maupun malam. Di musim kemarau dan penghujan. Cintaku kalap kepadanya dalam keadaan segar maupun sakit. Cintaku kepada Indonesia kubawa hingga kelak ke sorga ataupun neraka. Sepanjang hidup sampai hari ini kujalani tarikat cintaku kepadanya, dengan selalu meng-ada-kan Indonesia dan meniadakan diriku. Dan hari ini Indonesia ceria wajahnya dan kunikmati setiap pori-pori kecantikan dan kekayaannya.

Dan di antara hamparan keindahan Indonesia, salah satu bahasa favoritku adalah Bahasa Madura. Orang Madura suka mendengar aku bicara di depan umum, karena banyak “pelisètan”-nya. Maksudnya pelèsètan. Gus Dur diucapkan Gus Dor, Eros Djarot dipanggil Erus Djarut. Aku jatuh cinta kepada orang Madura yang “tidak takut kepada tentara, Kopassus atau satuan apapun, asalkan bukan TNI”.

Juga kesayanganku adalah teman-teman dari Sulawesi Selatan, terserah Bugis atau Mandar atau lainnya. Yang menggeser pengucapan dari ‘n’ ke ‘ng’ atau kadang ‘m’ dan beberapa gejala lainnya. Memanggilku Cak Nung. Iklan salah satu stasiun televisi: “Wauuuw kerèm!”. Maksudnya kerèn. Seorang Polisi di jalanan mengeluh ketika menilang pengendara motor yang melanggar: “Mau saya tangkak, frèng. Kalau tidak saya tangkak kewajibang…”. Tangkak maksudnya tangkap. Frèng adalah friend. Kewajibang jelas maunya kewajiban.

Dan dari semua itu, yang paling mempesonaku adalah mereka mengucapkan Dajjal dengan Ja`dal. Itu membuatku kalau shalat selalu tersenyum dalam hati, terkadang tak tahan untuk terlontar dari bibir, sehingga kuulang takbiratul-ihram. Sejak kecil di Langgar atau surau aku diajari menambahkan di kalimat tahiyat shalat: “Allahumma innii a’uudzubika min ‘adzaabil qobri wa min ‘adzaabi jahannam wa min fitnatil mahyaa wal mamaati wa min syarri fitnatil masiihid Dajjaal”.

“Ya Alloh! Sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari adzab kubur, dari adzab jahannam, dari fitnah kehidupan dan kematian, dan dari kejahatan fitnahnya Al-Masih Al-Ja`dal….”. Dan ternyata diam-diam hal itu juga yang membuatku lebih mendalam memikirkan soal-soal yang berkaitan dengan Ja`dal. Fitnah Masih Ja`dal: fitnah bukan tuduhan yang bohong, sebagaimana pengertian umum sehari-hari, melainkan ujian. Fitnah Ja`dal adalah default information setiap Nabi. Tidak ada Nabi di muka bumi yang tidak memberi peringatan kepada ummatnya tentang bahaya datangnya manusia Ja`dal.

Ya. Ja`dal itu manusia. Yang dipasung berabad-abad lamanya dalam gua di sebuah pulau. Tubuhnya pendek gempal, kulitnya kemerah-merahan, dada atasnya bidang, kakinya bengkok, matanya dua tapi buta sebelah.

Sekarang Ja`dal diam-diam disepakati secara umum sebagai dongeng dan khayal. Ujian Ja`dal tidak menjadi kesadaran primer Kaum Muslimin. Jangankan lagi dijadikan diskusi publik Kaum Muslimin, atau ditafsirkan dan diantisipasi oleh para pemimpinnya. Hanya satu dua Ulama yang masih menyebut-nyebutnya di mimbar. Maka sebagaimana kambing yang tidak mengerti bahwa ia tersesat, atau suatu bangsa yang tidak sadar sedang mengalami Bedhol Negoro – ummat manusia pengikut Ja`dal juga tidak mengerti bahwa mereka – dalam proses Globalisasi – adalah Ummat Ja`dal.

Mereka mungkin menunggu adegan nyata dan kelihatan mata di mana Ja`dal meyakinkan kepada ummat manusia bahwa dia adalah Tuhan – dengan cara menghentikan matahari, kemudian menjalankannya kembali dengan percepatan lebih tinggi dari tradisi alamiah biasanya.

Globalisasi Ja`dal secara bertahap mensosialisasikan cara pandang di mana manusia melihat api sebagai air dan melihat air sebagai api. Atau secara menyeluruh, Ja`dal dengan berbagai perangkatnya memobilisasikan anggapan bahwa sorga adalah neraka, serta neraka adalah sorga. Pembalikan nilai itu dipersekolahkan, dipermediakan, dipermedsoskan, diperinternetkan, diperyoutubekan. Diterapkan dengan penyebaran kenikmatan materialisme melalui keputusan Pemerintahan dan distribusi keuangan kepada semua yang patuh. Sehingga rakyat menyimpulkan bahwa kebenaran adalah datangnya uang ke saku mereka. Kebaikan adalah disampaikannya uang ke kantor mereka. Rahmat Tuhan adalah tumpah dan melimpahnya uang ke rekening mereka.

Informasi dari para utusan Tuhan menyebutkan bahwa sebelum hadirnya manusia Ja`dal – wajah para pengikutnya seperti tameng yang dilapisi kulit. Sebelum itu terlebih dulu muncul kenyataan-kenyataan politik di mana pendusta diamanahi menjadi pemimpin, sementara orang-orang yang amanah didustakan, dihardik dan disingkirkan. Barangsiapa patuh kepada Ja`dal, akan makmur. Dan siapa saja yang melawannya, akan miskin akses, tidak makmur, tidak sejahtera.

Ja`dal membuat manusia yakin bahwa kemakmuran duniawi itulah sorga. Kemakmuran adalah khittah. Tidak penting adil atau tidak, yang penting makmur. Tidak masalah kemakmuran diperoleh dengan hutang dan ketergantungan hidup. Bagi kambing, asalkan ada rumput dan rambanan dedaunan, itulah sukses dan kemajuan. Sila kelima kambing bukan keadilan sosial, melainkan bisa makan. Terserah yang menyediakan makanan adalah Tuhan beneran atau Ja`dal yang mengaku sebagai tuhan. Kambing tidak perlu pakai celana, yang penting makan. Pakaian, martabat hidup, harga diri sebagai manusia dan bangsa, rasa malu, Negeri Lautan impor garam, tidaklah utama bagi kambing. Yang penting makan banyak. Yang penting materialisme tercapai.

Di forum “Pancasila Jiwa Bangsa”, aku bertanya kepada publik: apa idaman Anda tentang Indonesia? Mereka menjawab: makmur sejahtera. Padahal di Pancasila goal-nya adalah keadilan sosial, bukan kemakmuran dan kesejahteraan. Tidak begitu makmur dan sejahtera tak apa, asal adil. Khazanah Jawa menyebut “toto tentrem kerto raharjo, gemah ripah loh jinawi” – memang berkecenderungan ke arah kemakmuran duniawi.

Sementara Islam mencakrawalai “baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghofur”. Negeri yang baik dan Tuhan mengampuni. Bukan soal kesejahteraan materiil. Tapi manusia mengelola dunia dengan baik dan memproduksi kebaikan bersama. Tidak menunjuk ke produk pembangunan, melainkan merujuk ke moral politik dan budaya pengelolaan sosialnya. Itu pun puncak sukses adalah kalau Tuhan mengampuni. Kalau tidak ada perilaku pemerintahan, pembangunan dan rakyat yang Tuhan tidak berkenan.

Aku bertanya kata panca dan sila dari Bahasa apa? Tidak menentu jawabannya. Panca itu lima baik Sanskrit, Kawi atau Jawa kuno. Sila itu arti Sanskritnya perilaku. Kawinya sila, bersila, dasar. Arabnya keterkaitan: interkoneksi antara lima prinsip. Sebagaimana sila-turahmi, persambungan kasih sayang.

Kukejar terus: Pancasila itu cita-cita atau rumusan watak dan keberhasilan peradaban orang-orang terdahulu? Dijawab: rumusan. Apakah nenek moyang sukses berpancasila sehingga kita tinggal merumuskan? Ya, berhasil. Di abad 21 ini apa goal Pancasila? Jawaban mereka tegas; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sudah berhasil? Seratus persen menjawab: Belum.

Lima sila itu parade butiran filsafat atau suatu rangkaian manajemen? Urutan kata mutiara ataukah konstruksi dinamis tata kelola Negara? Perwujudan sila kedua itu apa? Siapa sila ketiga? Apa sila keempat? Ketuhanan Yang Maha Esa versi yang mana? Hindu, Budha, Konghucu, Nasrani, Kebatinan? Dijawab: belum pernah dipikirkan. Kalau Tuhan ada di Indonesia karena Pancasila, posisi Tuhan apa? Buruh? Direktur? Komisaris? Pemegang saham mayoritas atau mungkin absolut? Atau alat kepentingan politik? Tuhan yang menentukan segala hal tentang Indonesia, ataukah Tuhan patuh kepada filosofi, konstitusi dan policy NKRI? Bagaimana praktiknya selama ini?

Tidak ada jawaban. Andaikan ada, pasti berbeda-beda, Bhinneka Tunggal Ika. Perbedaan itu baik. Begitu kata ilmu. Ilmu adalah alat untuk menemukan perbedaan, ooo itu logam, ini kayu, yang sini tanah, sana angin. Bagaimana kalau perbedaan menghasilkan egosentrisme kebenaran sehingga menimbulkan pertengkaran. Apakah Indonesia punya minat untuk naik tingkat dari ilmu ke level atasnya? Yakni kebijaksanaan: bersama-sama menemukan kesamaan? Apakah Indonesia membutuhkan keseimbangan antara ilmu dengan kebijaksanaan? Proporsi antara kebenaran, kebaikan, kemashlahatan dan kearifan?

Terimakasih. Indonesia baik-baik saja. Tidak memerlukan itu semua. [mc]

*Emha Ainun Nadjib, Budayawan.

Sumber: Caknun.com

Terpopuler

To Top