SEJARAH BERULANG. Situasi Kontemporer Mirip Era Kolonial?

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Sarekat Islam (SI) yang berdiri tahun 1911 mencapai perkembangan luar biasa. Jumlah anggotanya menempatkannya sebagai organisasi terbesar era itu pada tahun 1917.
Melalui koran dan gerakan buruh, SI menekan pemerintah Belanda untuk mengurangi lahan gula yang dikuasai tuan tanah, perdagangan candu, nasionalisasi industri yang monopolistik yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Saat Pemerintah Hindia Belanda membentuk Volksraad (Dewan Rakyat) tahun 1918, SI diberi satu kursi dari 39 kursi yang ada. Sarekat Islam melalui Tjokroaminoto, yang kemudian digantikan Agus Salim, bersuara keras agar kepemilikan tanah oleh Suiker Syndicat (Sindikat Gula), yaitu para pemilik perkebunan swasta, dikurangi.

Tuntutan SI tersebut membuat gerah para Sindikat Gula. Mereka pun membentuk organ-organ gerakan rakyat bayaran untuk menandingi SI. Lahirlah kemudian Sarekat Hedjo, Pamitran, Sarekat Pompa, dan Tolak Bahla Toewil Oemoer, yang bercorak kedaerahan. Lalu muncul pula organ Jamiatul Hasanah dan Jamiatul Mutiin. Semua itu diarahkan untuk melawan Sarekat Islam.

Lalu muncul tuduhan keterlibatan para pimpinan SI atas gejolak di daerah-daerah. Banyak pemimpin SI ditangkap dan dipenjara dan Tjokroaminoto diperiksa terus menerus oleh Pemerintah Kolonial pada tahun 1919-1921. Akhirnya satu persatu dukungan dana dari masyarakat pun dihentikan dan SI mulai melemah.

Kisah demikian, bisa akan selalu berulang dalam sejarah Indonesia Merdeka. Kita harus belajar dari sejarah. Waspadalah! (Agus Maksum/mc]

*Dikutip dari Aji Dedi Mulawarman, “Jang Oetama: Jejak dan Perjuangan HOS Tjokroaminoto.” Yogya: Galang, 2015. P. 94-99 dan 130-134.