Warkop-98

SBY dan Prabowo Makan Nasi Goreng, Mengapa Jokowi yang Kepedasan?

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Sengaja saya tidak memberikan komentar atau artikel tertulis pada saat pertemuan SBY dan Prabowo dua hari lalu, tepatnya tanggal 27 Juli 2017 yang baru berlalu. Saya turut mengamati pertemuan tersebut dari dekat dan mengikuti detik demi detik. Pertemuan yang menurut pengamatan saya sangat akrab, sangat dekat, saling menghargai dan saling menghomati. Pertemuan dua poros politik dan dua tokoh Bangsa yang menjadi kekuatan politik Nasional.

Pertemuan tersebut jauh dari konotasi negatif namun sungguh seluruh pembicaraan bermuara pada bagaimana membentuk kerjasama moral mengawal perjalanan bangsa Indonesia dan bagaimana membangkitkan Indonesia yang tidak seharusnya mengalami masa sulit seperti sekarang. Itulah semangat pertemuan antara SBY dan Prabowo yang jelas terungkap dari isi pembicaraan dan substansi konferensi pers setelah pertemuan.

Pasca pertemuan yang bertujuan baik demi Bangsa dan Negara tersebut, anehnya justru memunculkan reaksi dan respon terbalik yang membalikkan logika waras. Pertemuan yang mestinya adalah kritik membangun bagi pemerintahan Jokowi, justru menunjukkan Jokowi anti kritik dan malah mengkritik balik pertemuan tersebut.

Nampaknya diplomasi Nasi Goreng Gerobak suguhan makan malam dari SBY kepada Prabowo membuat Jokowi kepedasan. SBY dan Prabowo yang makan nasi goreng, tapi Jokowi yang kegigit cabe rawit dan kepedasan. Itulah analogi yang bisa mewakili suasana sebelum pertemuan dan setelah pertemuan.

Sebelum pertemuan berlangsung, Jokowi sudah nampak keluar kegenitan politiknya mengomentari rencana pertemuan tersebut. Mungkin reaksi Jokowi yang tak sepatutnya tersebut adalah ungkapan kekuatiran dan kegalauan karena Dua tokoh yang diprediksi tidak akan bisa menyatu, ternyata malah bersatu akibat pemaksaan kehendak Pemerintah mengesahkan UU Pemilu yang cacat logika.

“Pertemuan tersebut bagus saja asalkan untuk kepentingan bangsa dan bukan untuk kepentingan kelompok atau diri sendiri”. Begitulah kira-kira tanggapan Jokowi atas rencana pertemuan SBY dengan Prabowo. Garis bawahi kata “asalkan” yang digunakan oleh Jokowi.

Pertanyaannya, apa hak Jokowi mencampuri dan mengatur-atur substansi pertemuan SBY dengan Prabowo? Kata asalkan itu adalah penekanan syarat, boleh ketemu dengan syarat asalkan untuk bangsa. Lantas apakah SBY dan Prabowo tidak boleh ketemu hanya untuk makan nasi goreng?

Ahh Jokowi panik, galau dan gusar karena strategi politiknya untuk melanggeng jadi presiden 2 periode hancur berantakan. Padahal SBY dan Prabowo baru akan makan nasi goreng malamnya, tapi efek pedasnya sudah dirasakan Jokowi sejak pagi hari.

Pernyataan yang disampaikan oleh SBY dan Prabowo pasca pertemuan tertutup kepada media justru sepatutnya dihormati Jokowi karena ada tokoh bangsa yang membantunya meluruskan arah pemerintahan. SBY misalnya, menyampaikan bahwa Pemerintahan tidak boleh berjalan tanpa kontrol dan Prabowo menyatakan sikap politiknya bahwa UU PEMILU yang disahkan adalah lelucon politik.

Apa yang disampaikan oleh SBY dan PRABOWO adalah sebuah sikap membangun demokrasi, sikap mengawal demokrasi dan mengawal negara dengan seruan moral bukan seruan makar. Sayang sekali, Jokowi justru menurunkan dirinya jadi tukang kritik yang anti kritik atau sebagai pengamat pertemuan. Maaf, saya harus menyampaikan seperti itu terkait dengan reaksi Jokowi yang tampak sangat kepedasan, meski Jokowi tak ikut makan nasi goreng di Cikeas.

Jokowi contohnya mengkritik ucapan SBY tentang pemerintahan tanpa kontrol dengan menyatakan bahwa ada DPR, ada LSM dan ada Rakyat. Apakah mungkin pak Jokowi pura-pura tidak tahu kalau DPR sudah kehilangan fungsi pengawasan dan berubah jadi lembaga tukang stempel pemerintah? Jokowi juga sepertinya pura-pura tidak menyadari bahwa ada beberapa pelanggaran UU yang didiamkan oleh DPR seperti pelanggaran UU Minerba, UU Keuangan dan UU APBN. Masihkah itu disebut pengawasan DPR?

Dan terkait LSM serta Rakyat, Jokowi tampaknya juga pura-pura tidak tahu bahwa banyak LSM dan Rakyat yang ditangkapi Polisi dengan alasan ujaran kebencian dan tuduhan makar.  Itu membust LSM dan Rakyat takut mengkritik. Ahh sudahlah, memang Jokowi tampak ahli dalam politik kepura-puraan.

Sementara itu, Jokowi mengkritik Prabowo tentang UU Pemilu yang merupakan lelucon politik hanya dengan mentampaikan bahwa dulu juga sudah 20%. Mengapa dulu begitu tampakya Jokowi tak punya argumen dan mengapa sekarang begitu tampak juga tanpa argumen. Jokowi sangat terkesan tidak paham tentang dulu dan tidak paham tentang sekarang pemilu serentak. Ahh sudahlah, tak berguna juga memberikan argumen, karena argumen dari pakar Hukum Tata Negara seperti Mahfud MD, Jimly Assidiqi, Saldi Isra dan lain-lain toh tak dianggap oleh Jokowi.

Cukup sampai di sini, nanti artikel ini terlalu panjang membuat Jokowi tak membacanya, karena saya sangat ingin Jokowi membacanya agar Jokowi merubah diri tidak menjadi anti kritik.

Dan paling perlu di sini, Jokowi jangan kepedasan karena yang makan nasi goreng dengan kerupuk dan sedikit rawit adalah SBY dan Prabowo. [mc]

Jakarta, 29 Juli 2017.

*Ferdinand Hutahaean, Rumah Amanah Rakyat.

Terpopuler

To Top