Analisa

Super Power vs Soft Power

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Sejak permulaan abad ke-18, negara-negara Eropa terutama Inggris, Perancis,Jerman kemudian diikuti Spanyol, Portugal dan Belanda berhasil membentuk sejarah global. Melalui Revolusi Industrinya dan menjadikannya sebagai kekuatan “Super Power” sampai dengan pertengahan abad ke-19.

Di lain pihak, kita juga bisa melihat Jepang, dimana melalui “Restorasi Meiji”-nya memiliki sifat dan karakteristik yang sama, yaitu ekspansi penaklukan kolonialnya yang sangat mendasar (penjajahan).

Fakta sejarah hampir semua benua Afrika dan sebagian benua Asia adalah negara jajahan mereka. Namun peran negara-negara Eropa sebagai kekuatan global merosot dengan sangat cepat setelah perang dunia kedua tahun 1945. Sampai akhirnya tongkat komando global beralih ke Amerika Serikat (AS). AS akhirnya menjadi negara super power baru setelah menang dalam perang dunia kedua.

Amerika Serikat adalah penggerak utama berbagai lembaga multinasional seperti NATO, IMF, dan BANK DUNIA yang menjadi saksi bagi kekuasaan dan otoritas globalnya. Serta dijadikan sebagai alat untuk menguasai dunia melalui Lembaga-lembaga tersebut.

Ketika IMF dan BANK DUNIA memberi pinjaman ke negara berkembang, sangat menekankan sesuai agenda ideologis mereka; liberalisasi perdagangan luar negeri, privatisasi dan pengurangan peran negara, serta selalu menyertakan syarat-syarat politis terkait demokrasi dan hak asasi manusia (HAM), tanpa menghormati kedaulatan negara tersebut. Mengekang dan menguasai dengan karakteristik ekspansi kapitalis (penjajahan nihil kekuatan militer) sebagai super power, “Polisi Dunia.”

Kebangkitan Cina dan akhir “Dunia Barat” akan mengubah dunia yang selama ini kita kenal. Dari sebuah dunia yang diciptakan oleh Barat menjadi dunia yang semakin banyak dibentuk oleh Cina.

Karakteristik Cina sesuai dengan DNA-nya Konfusianisme,  sebuah kebudayaan yang berorientasi keluarga dan berakar dalam keluarga, serta memiliki komponen etik yang kuat dan berakar serta moralitas yang tinggi.

Semua sengketa perbatasan dengan Cina nihil menggunakan kekuatan militer dan kalau saja masalah Taiwan yang dianggap salah satu provinsinya untuk dicaplok kembali, barangkali hanya dalam hitungan hari bisa diselesaikannya.

Bantuan ekonomi Cina ke negara berkembang tanpa syarat yang mengekang seperti yang terjadi banyak di negara Afrika terbukti banyak membuahkan hasil yang positif. Sudah banyak negara di Afrika dapat mengatasi masalah kemiskinan yang berakar di negara tersebut serta sedang merangkak menuju tinggal landas menjadi negara maju.

Cina menganggap bahwa kebangkitan Cina lebih sebagai pemulihan keadilan daripada mengambil keuntungan atas bangsa-bangsa lain. Sebagai pemerolehan kembali atas status internasionalnya yang hilang, daripada meraih sesuatu yang baru.

Cina adalah negara jajahan, bukan penjajah! Oleh karena itu nihil narasi tentang penaklukan, ekspansi, serta imperialisme dan kolonialisme. China is Soft Power. [erche]

*Chandra Suwono, Pemerhati Ekonomi Politik, tinggal di Jakarta.

Terpopuler

To Top