Menakar Nasib Jokowi Pasca Penetapan UU Pemilu. Makin Terpuruk?

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Sebagai alinea pembuka atas tulisan ini, saya ingin mengirimkan satu pertanyaan kepada Presiden Jokowi yang menjadi subjek dalam tulisan ini dan objeknya adalah Nasib Jokowi 2019. Siapa penasehat politik dan atas dorongan siapa Jokowi hingga ngotot menetapkan Presidential Threshold 20% pada UU Pemilu yang baru ditetapkan 20 Juli 2017 lalu? Jawaban Jokowi atas pertanyaan ini akan sangat membantu Jokowi mengetahui siapa lawan siapa kawan sesungguhnya.

Pertanyaan ini menarik bagi saya karena justru Jokowi sebagai incumbent atau petahana mengecilkan peluang untuk dirinya bahkan berpotensi menutup peluangnya sebagai calon presiden tahun 2019 nanti.

Syarat bagi Jokowi berat untuk tetap bisa maju dengan peluang menang 2019 nanti jika kinerjanya terus anjlok, ekonomi memburuk, proyek-proyeknya mangkrak, penegakan hukum tidak jelas, politik gaduh dan elektabilitasnya terus merosot.

Kira-kira partai politik mana yang akan nekad bunuh diri mencalonkan seorang calon presiden dengan elektabilitas rendah dan acceptabilitas di tengah publik hancur? Saya pikir tidak akan ada, kecuali partai politik yang tidak punya kemandirian dalam berpolitik atau partai politik yang tersandera banyak masalah atau kasus.

Marilah kita mencoba mengukur atau menakar nasib Jokowi 2019 nanti dengan presidential threshold 20% yang sudah ditetapkan dan disetujui oleh sebagaian anggota DPR 20 Juli lalu. Saya harus menyatakan ditetapkan oleh sebagian anggota DPR, karena memang fakta ada 4 (empat) Fraksi yang tidak mau mengambil bagian menetapkan sebuah Undang-undang yang cacat logika dan cacat moral. Mereka adalah Demokrat, Gerindra, PKS dan PAN.

Kondisi elektabilitas Jokowi saat ini bila melihat hasil lembaga-lembaga survei terus merosot hanya dalam waktu singkat yaitu sekitar 2 (dua) tahun memerintah. Tercatat angka elektabilitas Jokowi bertengger di angka 30-an % terjun bebas dari persentase perolehan suara saat pilpres 2014 lalu yang dimenangi Jokowi sebesar 53,15%. Hanya dalam 3 tahun elektabilitas tersebut tergerus 20% lebih.

Bila melihat kondisi bangsa saat ini, dan melihat kinerja pemerintah yang tak kunjung mampu mengelola negara, saya prediksi bahwa elektabilitas Jokowi akan terus terjun bebas dan mungki hanya akan tersisa di angka 15% an akhir tahun 2018.

Ekonomi tidak kunjung membaik, merosot dan patahnya rakyat yang terus dibebani untuk menanggung operasional pencitraan pemerintah dengan memunguti pajak secara serampangan dan mencabuti subsidi untuk rakyat. Semua dialihkan untuk infrastruktur yang entah dimana dan kapan selesainya, karena hingga memasuki tahun ke-3 Jokowi masih sibuk dengan peresmian proyek peninggalan SBY.

Berbagai polling yamg dilakukan oleh netizen juga menunjukkan betapa hancurnya elektabilitas Jokowi saat ini. Bahkan ada netizen yang sedikit aneh membuat polling Jokowi dihadapkan dengan tiang listrik dan Jokowi dihadapkan dengan kotak kosong, keduanya tetap Jokowi kalah dengan angka yang sangat jauh. Ada juga polling yang menempatkan Jokowi berpasangan dengan tokoh-tokoh yang namanya sedang naik daun seperti Gatot Nurmantyo, Puan Maharani, Tuan Guru Bajang Gub NTB, semua hasilnya menempatkan Jokowi kalah dengan persentase yang cukup jauh selisihnya. Tentu ini indikator bahwa Jokowi terancam 2019 nanti.

Melihat pada realitas tersebut, menjadi pertanyaan besar mengapa Jokowi berani ngotot untuk meminta menetapkan presidential threshold 20% tersebut? Dugaan saya bahwa di sekitar Jokowi banyak yang menilai dirinya sudah bekerja benar, hebat dan Jokowi adalah pemimpin terbaik. Sayangnya itu dinilai oleh orang-orang di sekitarnya yang mengabdi untuk Jokowi, bukan atas dasar hasil penilaian publik tentang kinerja Jokowi, sehingga merasa yakin akan peluang kemenangan 2019 sangat besar. Itulah halusinasi dari sekeliling Jokowi.

Kembali kepada pertanyaan kedua diatas, jika elektabilitas Jokowi terus merosot hingga 15% di akhir 2018 mendatang, adakah PDIP dan Golkar akan tetap mengusung calon dengan potensi kekalahan yang besar? Belum lagi ditambah dinamika politik Golkar yang bisa saja haluannya berubah bila terjadi pergantian Ketua Umum karena Setya Novanto sudah menyandang gelar tersangka korupsi dari KPK.

Saya memprediksi justru peluang Jokowi bisa bubar 2019 nanti untuk mencalonkan diri lagi. Taruhannya cukup besar, mendongkrak kinerja yang sudah jatuh ke titik nadir akan sangat sulit dilakukan. Maka Jokowi harus berhitung ulang dengan peluangnya sendiri.

Lantas apa yang sebaiknya harus dilakukan oleh Jokowi? Sudah selayaknya Jokowi mendukung Judicial Review yang akan diajukan oleh beberapa pihak ke Mahkamah Konstitusi terkait UU Pemilu tersebut. Bahkan jika perlu, Jokowi harus membantu secara diam-diam upaya tersebut agar sukses menetapkan presidential threshold 0%. Karena itu adalah sesuai konstitusi dan justru menguntungkan bagi Jokowi.

Jika kelak PDIP dan Golkar putar haluan tidak mengusung Jokowi karena elektabilitas yang hancur, maka Jokowi masih bisa dan punya harapan maju sebagai calon presiden lewat Partai baru seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Nasdem dan PKPI yang sudah deklarasi penuh tanpa ada kemelut internal partai.

Pilihan politik sekarang harus di kalkulasi ulang oleh Jokowi. Jika ingin menutup peluang jadi capres, maka ngototlah bertahan di PT 20%. Namun jika masih ingin maju sebagai capres 2019, maka Jokowi harus mendukung MK memutuskan PT 20% melanggar Konstitusi dan menetapkan menghapuskan syarat ambang batas tersebut.

Sekali lagi, PT 20% itu blunder politik oleh Jokowi dan bagi Jokowi. Jangan pernah berpikir menggunakan politik kekuasaan dan hukum kekuasaan untuk berkompetisi di pesta demokrasi.

Jangan lupa juga bahwa PDIP dan Golkar bisa saja tiba-tiba mengusung Gatot Nurmantyo jadi Capres 2019 berpasangan dengan Putri Mahkota Megawati yaitu Puan Maharani.

Selamat berpikir pak Jokowi…!! Semoga tulisan ini tidak membuat bapak galau mendadak. [mc]

Salam..!!

Jakarta, 24 Juli 2017.

*Ferdinand Hutahaean, Rumah Amanah Rakyat.