Analisa

Indonesia Semakin Dekat Menjadi Negara Gagal. Ini Alasannya

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Sejujurnya Saya agak kesulitan mencari judul yang agak lembut dan tidak membuat kuatir publik namun pesannya sampai yaitu mengingatkan pemerintah akan ancaman kejatuhan ekonomi negara kita yang tentu tidak satupun dari kita menginginkan itu.

Semua warga negara pasti ingin pemerintah ini membawa bangsa ini makmur, dan bukan sebaliknya yaitu menjadi penyebab kejatuhan ekonomi negara akibat salah urus dan salah kebijakan. Saya menuliskan ini bukan sebagai seorang ekonom karena Saya pun belajar ekonomi hanya secara otodidak dengan membaca seadanya.

Namun apa yang ingin Saya sampaikan dibawah ini adalah sebuah situasi ciri-ciri yang akan menjadi negara gagal (Failed State) yang berakibat kejatuhan ekonomi, atau bahasa yang biasa ditelinga rakyat adalah krisis ekonomi. Dan tidak perlu ilmu ekonomi yang tinggi untuk memahami apa yang akan Saya sampaikan dibawah ini.

Banyak dan beragam teori ekonomi yang ada di dunia, ditambah penafsiran dan persepsi tentu akan semakin menambah banyak teori, meski teori-teori itu terkadang dilepaskan hanya sebagai pembenaran atas sebuah kesalahan dan kegagalan. Sama seperti teori-teori ekonomi yang disampaikan Pemerintahan Jokowi, hanya untuk membenarkan kegagalannya mengurus negara. Bahasa rakyatnya, teori ngeles agar tidak mentah-mentah kesalahan itu memukuli para pengambil kebijakan terutama Presiden yang mengendalikan pemerintahan.

Teori yang saya pahami dengan keterbatasan keilmuan saya di bidang ekonomi harus Saya sampaikan sebagai sebuah bentuk kritik dan peringatan dini kepada Pemerintahan Jokowi yang masih hidup dalam buaian mimpi dan lupa alam nyata bahwa kita sedang dalam kesulitan ekonomi.

Kondisi saat ini menurut saya sudah 90% memenuhi syarat kejatuhan ekonomi sebuah negara. Ada beberapa hal yang sudah terjadi sebagai indikator bahwa Negara semakin tidak punya jalan keluar dari masalah ekonomi yang kita hadapi. Ada beberapa parameter yang harus menjadi perhatian serius bagi Pemerintahan Jokowi.

Pertama, Defisit Anggaran Belanja yang terus meningkat diatas prediksi estimasi.

Kedua, Penerimaan Pajak menurun dan sudah tidak dapat ditingkatkan lagi kecuali menetapkan objek pajak baru atau menaikkan persentasi besaran pajak.

Ketiga, Penerimaan Negara sudah mencapai titik jenuh dan tidak ada peluang meningkat.

Keempat, kesulitan cash atau liquiditas untuk menjaga neraca pembayaran termasuk membayar hutang, dan bunganya.

Kelima, Pemotongan Anggaran dan pemangkasan atau pembatalan beberapa proyek untuk menurunkan beban APBN.

Keenam, menurunnya kemampuan pemerintah untuk membayar belanja rutin pegawai.

Ketujuh, terjadi penurunan daya beli masyarakat secara massal.

Kedelapan, kesulitan mencari hutang baru karena menurunnya kepercayaan pihak negara donor, kalaupun ada, hutang tersebut menuntut jaminan dan atau bunga tinggi.

Kedelapan parameter tersebut saat ini seluruhnya tampak sudah didepan mata dan sebagian besar sudah terjadi. Artinya lampu kuning sudah menyala, alarm peringatan sudah berbunyi.

Jika Pemerintah tidak segera melakukan langkah konkret dan keluar dari wacana-wacana tidak perlu, niscaya kelanjutan dari semua parameter tersebut akan terjadi yaitu gangguan sosial di tengah masyarakat. Tingkat kriminalitas akan meningkat dan mengakibatkan kerawanan sosial. Bangsa akan jatuh kedalam jurang krisis yang mungkin akan lebih parah dari sebelum-sebelumnya.

Seperti itulah kondisi yang terjadi setidaknya bisa kita lihat dan belajar dari beberapa negara yang kemudian bangkrut dan menjadi Failed State. Venezuela, Yunani adalah contoh terdekat dari kejatuhan ekonomi yang menyengsarakan rakyat dengan indikator dan parameter yang sama. Belum lagi ditambah parameter lain termasuk penegaksn hukum dan kondisi politik serta tingkat kemiskinan tinggi dan pengangguran meningkat karena subsidi dicabut. Semakin sempurna syarat kejatuhan ekonomi kita terpenuhi.

Dengan kondisi seperti tersebut di atas, masihkah Jokowi akan terus bermain di tataran pencitraan dan wacana-wacana tidak perlu? Dengan kondisi sangat menguatirkan tersebut, masihkan Jokowi tidak melakukan sesuatu secara konkret daripada hanya bermain ditataran opini demi kepentingan Pemilu 2019?

Saya pikir Jokowi sebagai presiden saat ini sangat tidak patut memikirkan pemilu 2019 disela sederet kegagalan dan sederet panjang daftar janji kampanye 2014 yang belum terealisasi atau bahkan tidak direalisasikan sama sekali.

Jokowi sebaiknya fokus dulu menyelesaikan janji kampanyenya 2014 lalu, fokus menyelamatkan perekonomian yang diujung krisis dan terancam jatuh daripada melempar wacana-wacana mimpi seperti pemindahan ibu kota, kereta api cepat dan segudang janji infrastruktur yang diluar kemampuan kita.

Memimpin itu butuh sikap berpikir realistis dan mengerti skala prioritas. Pemimpin juga harus tahu secara kongkrit kemampuan negaranya sebelum melakukan atau menetapkan segala sesuatu.

Semua negara ingin memiliki infrastruktur yang hebat dan mewah, tapi kita harus melihat kemampuan kita secara nyata supaya rakyat tidak disuguhi omong kosong dan janji-janji semata.

Akhir artikel singkat ini, Saya menghimbau Jokowi agar realistis dalam menetapkan skala prioritas membangun infrastruktur. Hentikan memajaki rakyat dan hentikan berhutang secara ugal-ugalan. Lebih baik bangsa ini hanya punya APBN 1600 Trilliun tapi sehat daripada 2000 Trilliun tapi ekonomi tidak sehat. Rasionalitas dan sikap realistis sangat dibutuhkan. Efisiensi harus benar-benar dilakukan mulai dari pemotongan anggaran dan penghematan perjalanan dinas.

Membawa anak mantu dan cucu dalam kunjungan kerja itu merupakan bentuk nyata inefisiensi. Semoga biaya perjalan itu dibayar dengan uang pribadi agar tidak membebani APBN yang sedang sekarat. [mc]

*Ferdinand Hutahaean, Rumah Amanah Rakyat.

Terpopuler

To Top