Analisa

Pentingnya Narasi Tunggal Komunikasi Publik soal Agenda Re-Negosiasi PT. Freeport Indonesia

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Agenda re-negosiasi PT. Freeport Indonesia (PTFI) kembali mengemuka. Selasa, 4 Juli 2017, sejumlah menteri Kabinet Kerja membahas masa depan PT. Freeport Indonesia. Hasil pertemuannya dimuat berbagai media pada hari itu. Sejumlah media mengutip pernyataan bahwa pemerintah telah menyetujui perpanjangan kontrak karya FI sebanyak 2 kali 10 tahun, hingga tahun 2041.

Namun masih di hari Selasa itu, Kementerian ESDM melalui Staf Khusus Menteri ESDM, Hadi M. Djuraid, membantah berita ini dan mengeluarkan klarifikasi bahwa pemerintah tidak secara spesifik membahas masalah perpanjangan PTFI karena proses perundingan antara Pemerintah dan PTFI masih sedang berjalan. Apa makna dari klarifikasi dari Kementerian ESDM ini?

Dalam pandangan penulis, hal ini sebenarnya menandakan sebuah komunikasi publik yang perlu dikelola lebih optimal di lingkungan Kementerian yang terkait agenda masa depan FI di Indonesia. Pesan-pesan kebijakan ke publik memiliki makna penting terhadap persepsi publik.

Sebelumnya, Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi Publik Johan Budi, ketika Istana Bogor, 23 Mei 2017, menyampaikan pesan Presiden Joko Widodo, agar humas pemerintah aktif menjelaskan pentingnya investasi asing yang masuk ke Indonesia. Menurut Johan Budi, keaktifan pemerintah menjelaskan maanfaat sebuah investasi itu juga berguna untuk menutup ruang munculnya berita hoaks yang menyudutkan pemerintah dan tidak produktif bagi masyarakat.

Menyimak ketidaktepatan pernyataan di seputar agenda re-negosiasi PTFI, tampaknya relevan untuk memaknai kembali perlunya sebuah narasi tunggal dari Pemerintah sehingga tidak menimbulkan kesimpangsiuran berita di publik yang menimbulkan persepsi publik yang membenturkan pihak-pihak yang berkepentingan dengan dunia investasi. Apa substansi yang berkembang dari poin ke poin dari re-negosiasi dan siapakah yang menjadi corong yang menyampaikan perkembangan dari tahap ke tahap, serta sejauhmana posisi dasar Indonesia dapat terwujud, dan bagaimana kesepakatan yang diambil sebagai jalan tengah.

Narasi tunggal ini sebenarnya merupakan kebijakan dari Presiden Joko Widodo di dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik. Dengan demikian, publik dapat memperoleh informasi yang benar soal agenda Freeport Indonesia yang dianggap strategis bagi kepentingan nasional. Disinilah narasi tunggal proses re-negosiasi perihal masa depan PTFI di Indonesia.

Posisi Dasar Indonesia

Beberapa hari setelah Barack Obama menyampaikan pidato kunci pada Kongres Diaspora Indonesia di Jakarta, 1 Juli 2017, agenda masa depan FI kembali dibahas secara khusus oleh Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri BUMN, Menteri ESDM, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Hukum dan HAM.

Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, ada 4 poin penting yang menjadi agenda pembahasan. Pertama, apakah ada perpanjangan kontrak antara PTFI dengan Indonesia. Kedua, mengenai pembangunan smelter. Ketiga, mengenai divestasi saham dan keempat, mengenai faktor fiskal atau penerimaan negara.
Pada intinya, Pemerintah masih terus menggodok konsep kebijakan yang tepat sebagai sebuah paket perundingan antara Indonesia dan PTFI. Pemerintah berpegang teguh dengan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Hal ini sebagai payung politik hukum yang memberikan arah pengelolaan sumber daya alam di Republik ini. Konsekuensinya, rezim kontrak karya yang dianut oleh PTFI wajib diubah sesuai regulasi UU No. /2009 tersebut.

Selain berpegang pada regulasi Minerba tahun 2009 ini, Pemerintah sebenarnya saat ini berada di dalam sebuah keputusan, suka atau tidak suka, untuk membuka masuknya investasi asing ke Indonesia di tengah ekonomi nasional yang melemah. Berulang kali diberbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo telah menegaskan betapa pentingnya investasi bagi keberlanjutan pembangunan. Berbagai perjalanan ke luar negeri juga dimaksudkan untuk mempromosikan Indonesia guna menarik calon investor masuk ke Indonesia. Dalam konteks itu, tugas dari seorang Presiden di dunia internasional adalah mengangkat profil positif Indonesia dan bahkan menjalankan fungsi marketing kepada komunitas bisnis di panggung internasional.

Namun, bersamaan dengan kebutuhan atas investasi asing, kedaulatan ekonomi Indonesia mutlak dikedepankan. Ketika pada awal Februari 2017 soal PTFI banyak diperbincangkan di publik nasional, Menteri Keuangan Sri Mulyani, pada 22 Februari 2017, menyampikan ke publik bahwa tidak ada lagi apa yang disebut berbagai macam negosiasi yang sifatnya tertutup, tidak transparan. Ia mengingatkan bahwa Indonesia menegakkan peraturan perundang-undangan, dan pemerintah terus menjelaskan secara baik kepada seluruh investor. Dengan perubahan regulasi di Indonesia, sebuah keniscayaan untuk mengkoreksi substansi kontrak karya yang selama ini diacu oleh PTFI.

Mengelola Komunikasi Publik di tengah Keberagaman Kepentingan
Dalam konteks pengelolaan komunikasi publik soal re-negosiasi PTFI ini, tampaknya penting untuk memetakan secara jelas berbagai kepentingan yang terkait dengan masa depan tambang emas di Tanah Papua ini.

Tidak hanya dari kepentingan Pemerintah, namun juga dari kepentingan pemerintah daerah, baik provinsi dan kabupaten-kabupaten sekitar wilayah eksploitasi, masyarakat adat pemilik hak ulayat, dunia usaha baik BUMN dan dunia swasta nasional dan daerah, maupun kepentingan para penanam modal di tubuh PTFI, dan bahkan Freeport Mcmorand yang bermarkas di Phoenix.
Kepentingan PTFI telah jelas posisinya.

Ketika awal Februari 2017 lalu, President dan CEO McMorand Inc, Richard Anderson, menegaskan bahwa kontrak karya merupakan dasar dari kestabilan dan perlindungan jangka panjang bagi Freeport. Kepastian hukum dan fiskal sangat penting bagi Freeport untuk melakukan investasi modal skala besar berjangka panjang di Papua. Bahkan, jika perundingan dengan Indonesia menemui jalan buntu, maka Richard Anderson mengancam untuk memulai Arbitrase untuk menegakkan setiap ketentuan KK dan memperoleh ganti rugi yang sesuai.

Bagi rakyat Papua dan pemerintah daerah Papua, kehadiran PTFI adalah sebuah realitas yang signifikan di dalam pembangunan daerah, apalagi dalam konteks pembangunan kabupaten Mimika. Sejak pertengahan tahun 2013 Gubernur Papua Lukas Enembe telah menyodorkan 17 poin tuntutan Papua dalam konteks re-negosiasi. Intinya, apa hak-hak rakyat Papua yang wajib diperoleh dari poin demi poin di dalam proses re-negosiasi PTFI. Soal divestasi, Gubernur Enembe sepakat dengan konsep Pemerintah agar Indonesia menguasai 51 persen saham PTFI. Tentu juga, sejauhmana kepentingan masyarakat adat, hak atas lingkungan, dan pembangunan sosial yang masih dibutuhkan oleh masyarakat lokal disekitar wilayah pertambangan emas ini.

Belum lagi, bagaimana pemerintah mengelola komunikasi publik yang tepat, sebagaimana respon dari komunitas masyarakat sipil di tingkat nasional dan daerah. Simak saja, pernyataan Menteri ESDM Ignatius Jonan yang membandingkan kecilnya kontribusi sebesar Rp 8 Triliun ketimbang kontribusi cukai rokok sekitar Rp 135 Triliun namun tapi tidak rewel.

Kontan, pernyataan ini dikritisi oleh Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, pada 22 Februari 2017. Ia menilai pernyataan Menteri Jonan lebay bahkan menyesatkan. Bagi Tulus Abadi, cukai rokok Rp 135 Triliun bukan dibayar oleh industri rokok, namun dibayar oleh konsumen perokok. Bahkan, industri rokok melakukan perlawanan terhadap regulasi pemerintah.
Memang tidaklah mudah mengelola kepentingan yang beragam soal agenda re-negosiasi PTFI ini. Belum lagi dengan faktor geopolitik dan warisan sejarah hadirnya PTFI di Indonesia yang tida terlepas di masa transisi Irian Barat kembali ke pangkuan Indonesia.

Pemerintah telah tepat untuk berpegang teguh dengan politik regulasi Minerba tahun 2009 dan sejumlah aturan pendukung di tahun 2017 ini, dengan tetap menghormati hak-hak rakyat Papua, termasuk pemerintah daerah, di atas tanahnya sendiri di Tanah Papua. Pasti ada saja pro dan kontra, baik dari sisi filosofis nasionalisme ekonomi maupun dari sisi pragmatisme keberlanjutan ekonomi nasional dan daerah, khusus Tanah Papua.

Sebagai pengambil keputusan tertinggi di eksekutif, Presiden Joko Widodo, pada 16 Oktober 2015, bahkan telah menegaskan keputusan perpanjangan kontrak karya Freeport hanya bisa dilakukan dua tahun sebelum kontrak berakhir sesuai UU No. 4 Tahun 2009, yakni di tahun 2019. Lima pesan dari Presiden Joko Widodo, perlunya pembangunan Papua, peningkatan lokal konten, divestasi, royalti, dan industri pertambangan di Papua.

Akhirnya, kita juga menyadari, investasi asing adalah komponen penting di dalam pembangunan nasional. Apalagi ketika ekonomi Indonesia melemah. Suka atau tidak suka, Indonesia masih membutuhkan kehadiran PTFI dengan semua cerita yang melatarinya.

Tinggal kita saat ini, khususnya, di Kementerian ESDM untuk mengelola sebuah narasi tunggal re-negosiasi PTFI yang tepat. [mc]

*Dr. Velix V. Wanggai, Pengamat Hubungan Internasional, Putra Papua.

Terpopuler

To Top