Peneliti NSEAS Ungkap Implikasi Jamuan Jokowi kepada GNPF MUI

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Kasus Pertemuan GNPF-MUI dan Presiden Jokowi di Istana Negara, hari pertama Idul Fitri lalu, menjadi perbincangan publik khususnya umat Islam politik. Kasus Pertemuan ini menimbulkan lebih banyak kontra ketimbang pro. Salah satu sebabnya, selama ini umat Islam politik sudah punya persepsi dan sikap politik negatif terhadap Rezim Jokowi. Kasus pertemuan menjadi negatif bagi umat Islam dapat dibuktikan dari pernyataan dan opini di berbagai media massa dan sosial. Demikian seperti disampaikan peneliti senior Network for South East Asian Studies (NSEAS), Muchtar Effendi Harahap.

“Di samping itu, kasus pertemuan politik ini telah menimbulkan beragam implikasi terhadap komponen-komponen umat Islam lain dan kondisi perbincangan atau perdebatan sesama umat Islam. Sejumlah implikasi dimaksud dapat menjadi dasar penilaian, pertemuan itu menjadi menarik dan unik,” kata Muchtar Effendi Harahap kepada Nusantarakini.com, Jakarta, Senin (3/7/2017).

Beragam implikasi dimaksud dari kasus pertemuan GNPF-MUI dan Jokowi al:

Muchtar menuturkan, perdebatan pro kontra muncul di berbagai media massa dan sosial. Menurut pengamatannya, lebih banyak umat tidak setuju atau kontra terhadap pertemuan itu ketimbang mendukung atau pro.

Bahkan, kata dia, ada sejumlah WAG secara sepihak tanpa peringatan mendelet para anggota WAG karena mengkritisi atau kontra terhadap pertemuan GNPF-MUI dan Jokowi. Satu WAG dimaksud bahkan melabeling dirinya sebagai WAG “perubahan”.

Lebih lanjut Muchtar membeberkan, munculnya tanggapan dan penegasan sikap politik Presedium Alumni 212 yang berbeda. Tanggapan ini muncul di Yogyakarta setelah M. Amien Rais selaku Penasehat memanggil Ketua Presedium Alumni 212 untuk datang ke Yogyakarta saat hari pertemuan FNPF-MUI dan Jokowi.

“Hal yg berbeda antara lain, pertemuan dengan Jokowi harus di tempat netral, bukan di Istana Negara,” ucapnya.

Muchtar juga mengungkapkan, munculnya tanggapan dan penegasan sikap politik Ketua Umum PP Parmusi, Usama Hisyam, yang berbeda.

“Usama Hisyam, salah seorang Tokoh Nasional terlibat aksi bela Islam, bahkan selalu memobilisir kader Parmusi untuk aksi kawal pengadilan Jakut penista Agama Islam, Ahok. Setiap sidang Usama selalu memobilisir kader Pramuka,” bebernya.

Muchtar melanjutkan, munculnya tanggapan dan pernyataan sikap Habib Rizieq Syihab (HRS). Salah satu poin tanggapan ini yakni meminta stop perdebatan di medsos soal pertemuan GNPF-Jokowi.

“Terkesan permintaan ini membatasi kebebasan suara kritis dan perdebatan pemikiran. Tentu saja dari sisi penegakan prinsip demokrasi, permintaan ini menjadi kontroversial,” tegas Muchtar.

“Juga HBS memprakarsai rencana rapat akbar umat Islam untuk al. menjelaskan ttg GNFP-MUI. Terkesan prakarsa ini untuk mengendalikan dan mengelola dampak negatif pertemuan GNPF-MUI dan Jokowi terhadap persatuan dan sinerjitas komponen-komponen, strategis perjuangan umat Islam,” imbuhnya.

Menurut Muchtar, betapa beragam dan besarnya implikasi pertemuan GNPF-MUI dan Jokowi ini bisa menjadi beragam penafsiran dan pemaknaan oleh pengamat dan juga aktor bela Islam selama ini.

“Dari sisi kepentingan perjuangan bela Islam, tentu negatif karena telah menimbulkan pro kontra cukup meluas dan membesar, bahkan bagi pimpinan GNPF-MUI telah menimbulkan fitnah keji terkait penerimaan uang 1 triliun rupiah oleh GNPF-MUI dari Rezim Jokowi,” terangnya.

Untuk strategi berjuang bela Islam, kata dia,  jelas mengandung tantangan dan kendala. Harus dikendalikan dan dikelola sehingga menjadi kekuatan dan potensi.

Di lain pihak, sambungnya, dari kepentingan politik pencitraan Jokowi untuk Pilpres 2019 mendatang, tergolong gagal. Bukannya mendapat persepsi positif dari umat Islam politik, malah semakin jelas dan terbuka di publik ketidaksukaan umat Islam terhadap Jokowi.

“Hal ini harus menjadi pelajaran bagi Jokowi, perlu langkah-langkah strategis menghadapi sikap politik negatif dan oposisional umat Islam politik. Adalah jauh lebih sulit mengendalikan umat Islam politik ketimbang kaum nasionalis sekuler agar mendukung diri Rezim Kekuasaan,” ujar Muchtar sedikit menyarankan.

“Pengalaman hubungan Partai Masyumi dan Rezim Orla Soekarno telah membuktikan hal itu. Lebih mau membubarkan Partai milik sendiri ketimbang bersikap kompromis dan bekerja sama dengan Rezim yang dinilai memiliki cita-cita bertentangan,” tegas Muchtar mengakhiri keterangannya. [mc]