Analisa

Djoko Edhi: GNPF MUI Urung ‘Game Over’

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Bani Islam kalah. Bani Kotak menang. Bachtiar Nasir sudah jinak. Apalagi? Puja-puji Nasir pun mengalir kayak air pancuran di Tapian Nauli. Salah satu terpuji adalah program ekonomi umat dari Presiden Jokowi yang tiga bulan lalu dideklarasikan di Hotel Sahid Jakarta. Program 86.

Sebelumnya, Rais Aam PBNU, Prof KH Makruf Amin meraih gelar profesor di UIN Malang untuk bidang Ilmu Ekoinomi Keummatan. Sebuah cabang baru ilmu ekonomi klasik yang tengah saya pelajari. Maklum menyangkut Rois Aam saya di PBNU.

Dari tematik Ekonomi Keummatan itu, saya berkesimpulan bahwa Bani Islam kalah telak. Tadinya Bani Kotak kalah. Skornya 2:0. Yaitu, Ahok tumbang di pilkada DKI, dan masuk bui. Sejak temu pemimpin GMPF MUI kemarin, skornya 2:3. Bani Islam kalah.

Kalahnya di mana? Pertama, Bani Islam lempar handuk (menyerah). Ke Istana bersua Presiden Jokowi, dan kata berita, GNPF sudah mendukung Presiden Jokowi. Kalah.

Kedua, telah ada rekonsiliasi. Sebelumnya issu rekonsiliasi adalah pesan Habib Rizieq dari Saudi: “Rekonsiliasi atau Revolusi?”. Lalu, Prof Yusril Izha Mahendra bicara proses rekonsiliasi. Jadi, jelas ide dan ushulnya dari Habib Rizieq cq GNPF. Kalah.

Ketiga, Ahok masuk bui, tokoh-tokoh Bani Islam juga masuk bui. Tak ada deal pembebasan. Lebih maju saya bersama Bursah Zarnubi ke Tito Karnavian, masih punya deal pembebasan aktivis yang dituduh makar. Alhasil, skor Bani Islam kalah 3. Sedang Bani Kotak cuma kalah 2.

Bagi Fa’inya, Bro

Tapi semua itu, sudah dibantah GNPF di konpers Tebet, kemarin. Itu bukan sowan, melainkan ied mubarrok. Open house RI-1. Everythings is under control. Social shock Bani Islam, tak terjadi. Publik terkejut, tapi bisa paham.

Betapa sulitnya bagi Bachtiar Nasir Cs memutar kapal induk raksasa 180 derajat. Mereka harus melakukan dialog dengan Presiden Jokowi yang selama ini malah tak tahu ada kriminalisasi ulama. Beleid khas mukidi. Itu subtansi.

Jika tidak, ulama Bani Islam akan terus jadi bulan-bulanan KUHAP dan KUHP. Arah kapal induk pun diputar 180 derajat. Narasi tak lagi sangar dan sedikit dramaturgi candy and baby. Oups. Ilmu politik meyakini, yang dapat dicapai oleh politik hanya bargaining, kompromi. Bukan absolut. Salah satunya rekonsiliasi. Dari situ illustrasi ini.

Seperti saya tulis sebelumnya “FPI Game Over” empirik tabiat bargaining politik Indonesia. Ilmu reman. Jika di-86-in, begini: ormas Islamnya ada 18, jika benar ada, kalau dikali Rp 1 triliun, cuma Rp 18 triliun. Kecillah itu, kata Anak Medan. Satu taypan, lebih dari cukup untuk covered. Kasihkan ke James Riyadi, ambilkan dari Meikarta, beres.

Jadi keliru pernyataan Habil Marati, karena tak bicara persentase 86. Coba dihitung! Duit 86 masuk kategori ghonimah atau fa’i, terserah saja. LOL. Bahasa Indonesia rekonsiliasi adalah berdamai. Bahasa remannya 86. Bahasa politiknya “makan siang”. Idiomnya, “Nothings free for lunch” (tak ada makan siang yang gratis).

Akibat rekonsiliasi muncul para pihak yang lalu diberi agreement, tertulis maupun tidak: tak boleh begini, tak boleh begitu, harus begini, harus begitu. Ya game over! Para pihak juga memiliki kewajiban: yang bayar fa’i dan menerima fa’i. Makanya juga bisa sebagai ghonimah. Sebab traktat menyangkut para pihak yang menang dan kalah. Pada perjajian Versailles, Turki dan Jerman harus membayar fa’i. Sedang Detente menerima ghonimah. Yaitu, kolonialisme atas Turki dan Jerman, karena kalah dalam Perang Balkan. Resiko kekalahan diplomasi bisa berubah jadi kolonisasi Bani Kotak.

Dampak rekonsiliasi ber-fa’i dan atau ghonimah itu, luar biasa kritikal. Hal itu, karena publik Bani Islam tahu, ini bukan laksana perjanjian Hudaibiyah, tapi agreement fa’i. Niscaya takkan ada lagi demo jutaan. Niscaya tak bakal ada lagi Demo Bela Islam ke depan. Keikhlasan mereka dicabut, expired, kembali ke rumah tuhannya. Mosok orang bersedia jalan kaki dari Ciamis ke Jakarta kalau tak ikhlas. Payah FPI yang jadi motor awal 411 dan 212 dan berakhir Ketum FPI di-red notice oleh kasus ecek-ecek.

Padahal saya sudah mengidolakan Habib Rizieq yang mampu berdakwah nahi mungkar. Sebab, tak mampu dilakukan oleh PBNU. PBNU hanya mampu berdakwah amal makruf (mengajak ke kebaikan), bukan dakwah nahi mungkar (melawan kejahatan). Kalau sama-sama amar makruf, di PBNU saja.

Amien Rais Heboh

Tak nyana Presiden Jokowi jenius. Mampu menjinakkan singa-singa Islam, jikalau benar dengan fa’i Rp 18 T. Itu, jika Rp 1 T per ormas Islam. Apalagi ke 18 ormas Islam itu kelak jadi timses pilpresnya. Kecil. Sangat kecil. Dengan angka-angka itu, saya tidak menuduh. Tapi untuk ilustrasi scheme costing Paduka Jokowi, dengan ongkos fa’i Rp 18 T, Paduka sudah melaju ke periode kedua Presiden RI, lus-mulus, kata orang Madura.

Apapun hambatannya, Paduka kudu menjinakkan Bani Islam jika masih berharap ikut pilpres. Tak terkecuali ruling party dan parpol pendukung Bani Kotak. Legacy dari Ahok adalah permusuhan Bani Islam versus Jokowi yang dirasakan publik memusuhi ulama, minus NU. Praktis posisi NU menjadi tameng.

Kemarin, Muharli Barda, Ketua FPI Bekasi japri saya, mengirim protesnya, menolak anggapan ada ghonimah maupun fa’i dari sowan ke Presiden Jokowi di Istana Negara. Hebat dia. Idealisme balak kosong. Salah judul, mestinya bukan rekonsiliasi kalau tak ada si fa’i.

Pertemuan itu heboh. Pentolan Bani Kotak protes, beranggapan presiden membuka pintu bagi musuhnya, sedang Bachtiar Nasir melakukan wawancara panjang dengan TVMU yang isinya pada part tiga memang rekonsiliasi.

Karuan Amien Rais ikut heboh, minta Ustadz Sambo berangkat ke Jogyakarta. Sedang GMPF bikin konpers. Isinya menurut berita Sosmed, menyatakan dana Rp 1 triliun adalah fitnah, tapi plesiran ke Cina benar menggunakan dana sendiri, serta menjelaskan gagasan pertemuannya dengan Presiden Jokowi. Sudah benar sanggahan itu.

Pernyataan pemimpin Presidium 212 dapat memahami inisiatif 7 Pemimpin GNPF dialog ke istana. Ada tapinya: (i) rekonsiliasi kudu melibatkan semua unsur anak bangsa, (ii) di tempat netral terbuka, (iii) sebelum dialog, kriminalisasi dihentikan, mereka yang ditangkap dibebaskan, (iv) stop diskriminasi ekonomi dan hukum: usut korupsi RS Sumber Waras, BLBI, Reklamasi, bla, bla, bla.

Jika tidak? Pilihan Presidium 212 adalah revolusi konstitusional. Jika tidak? People Power. Yang menarik revolusi konstitusional. Ini kesulitan kedua memutar kapal induk Bani Islam. Sejak awal, domainnya soal blasphemi Al Maidah 51. Ketika Ahok ditaklukkan, tour of duty selesai.

Faktanya, tak selesai. Pertandingan Bani Islam vs Bani Kotak memasuki babak baru. Dapat dipahami landasan berpikir dan recht idea sua Bachtiar Nasir Cs dengan Presiden Jokowi: tour of duty itu sudah selesai! Ternyata belum. Apa yang dipikirkan bapak buah paradoks dengan anak buah. Kalau tadi matranya agama, bertransformasi ke bangsa. Baguslah. Agar “NKRI Harga Mati” dan “Saya Pancasila” tak sekedar jargon tatkala kepepet.

Split imagine

Revolusi konstitusional adalah jalan keluar dari mundurnya pembangunan bangsa yang diakibatkan kekacauan UUD 2002, hasil dari amandemen UUD 1945. Apa Amien Rais mau? Apa Bachtiar Nasir bisa ngomong bangsa dari yang tadinya agama ansich? Habib Rizieq jelas bisa, karena dari sononya serba bisa. Ustadz Sambo malah canggih. Dari statementnya, ia enlightenment dan brain wash. LOL.

Tapi minta Presiden Jokowi melakukan revolusi konstitusi, adalah naif. Ada satu makna lagi dari Sambo, kemungkinan yang diminta adalah SI MPR untuk mengganti presiden kepada Presiden Jokowi. Ini dagelan.

Menurut Marwan Batubara, Amien Rais sepaham “Kembali ke UUD 1945 Asli”. Tapi kata Hatta Taliwang, Amien Rais justru menolak. “Takut jadinya otoriter kayak Orde Baru”, tulis Hatta. Yang paling tak yakin Amien Rais ok, ialah Sri Bintang Pamungkas. Masalahnya kini, Amien Rais adalah bossnya Sambo di Presidium Alumni 212. Mentah. Amien Rais tak paham apa itu “Kembali ke UUD 45 Asli”. Apalagi Kapal Induk Bani Islam.

Menata Konstitusi = Revolusi

Kembali ke UUD 45 Asli itu, memakai metodologi amandemen, terdiri dua bab. Bab I berisi: 1. Proklamasi (asli). 2. Preambule (asli). 3. UUD 1945 (asli). 4. Catatan kaki (asli). Pancasila termuat di Preambule.

Bab II Addendum, berisi: 1. UUD 2002. 2. Hukum Khusus (lex spesialis).

Prasyaratnya: Bab I tak boleh melawan Bab II. Kecuali Lex Spealisnya.

Prinsipnya: metodologi amandemen ialah “melindungi aslinya, menaruh perubahan pada Adendum”.

Karena itu, sekalipun The Bill of Rights itu sudah diamandemen 43 kali, eksistensi Amerika tak berubah. UUD 2002 malah menghapus Bangsa Indonesia, diganti Warga Negara. Jumlah Pasal dan Bab sama dengan aslinya, tapi Bab IV nya kosong melompong. LOL. Amandemen 2002 menggunakan metodologi Universal State Law, negara hukum percobaan (mixed). Kapan-kapan saya presentasikan, OK?

NU, Muhammadiyah, Al Wasliyah, Pepabri dan PPAD dalam muktamar/kongresnya sudah menyatakan kembali ke UUD 1945.

Apakah Kapal Induk Bani Islam itu bersedia mengawal? U tell me! [mc]

*Djoko Edhi S Abdurrahman (Mantan Anggota Komisi Hukum DPR dan Wakil Sekretaris Pemimpin Pusat Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama, PBNU).

Terpopuler

To Top