Analisis Tajam SBP: Dari Saudi dengan Rekonsiliasi. WAJIB BACA!

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Perkara yang dituduhkan kepada Habib Riziek Shihab (HRS) sesungguhnya telah mereda dengan sendirinya, habis lalu hilang. Sama seperti Perkara Tuduhan Makar Palsu. Sekalipun, Tito masih berusaha meyakinkan siapa saja tentang kekuasaannya, bahwa kapan pun dia mau perkara apapun bisa diangkatnya kembali. Dia malu, kepalsuannya terbongkar…tetapi tetap menjadi ancaman!

Jadi HRS sebenarnya sudah menang angin. Tito gagal menyentuhnya, sekalipun sudah minta bantuan Interpol. Jadi mestinya HRS tenang-tenang saja. Allah Swt pasti melindunginya! Meskipun HRS dan keluarganya tetap harus waspada dan berdoa. Dan jangan pulang dulu sampai Rezim ini tumbang!

Mungkin agak berat, tapi harus sabar menghadapi Rezim Multi Jahat ini. Anti kesejahteraan, anti Pribumi, anti Agama, anti umat, pro kemiskinan, pro penggusuran, pro PKI, pro reklamasi, pro Mafia Cina, pro RRC…wah!

Jadi, HRS tidak perlu minta rekonsiliasi. Apalagi, kok, begitu tiba-tiba. Lalu kenapa tiba-tiba ada isyu rekonsiliasi, sebuah ajakan berdamai? Siapa butuh perdamaian, ketika rakyat terus dianiaya? Dan harus terus melawan untuk bisa menang?! Apa dengan perdamaian, lalu penganiayaan yang Multi Jahat itu menjadi reda dan hilang?!

Kalau HRS tidak perlu rekonsiliasi, siapa lalu yg sebenarnya butuh rekonsiliasi? Mungkin saja Jokowi yang butuh. Kalau begitu, bisa menuntut tutup kasus HRS, tutup kasus Makar, tutup kasus penistaan kepada Islam dan pengejaran terhadap ulama-ulama dan aktivis-aktivis serta seribu satu kejahatan tadi itu. Kalau damai.

Dengan kata lain, sebaiknya rezim Joko-Jeka mundur saja. Rezim mundur dan kejahatannya tidak diteruskan ke Pengadilan, sebagian atau seluruhnya. Itulah makna sesungguhnya dari impeachment. Seperti pernah dialami Richard Nixon dan Roh Taewo, mungkin juga Donald Trump. Cabut Mandat dalam sebuah proses di SI-MPR.

Tapi kelihatannya tidak begitu, paling tidak sekarang ini. Justru yang diminta oleh Jokowi adalah agar dia bisa maju lagi pada 2019. Jokowi masih punya tugas yang belum diselesaikannya, berkaitan dengan nasib Indonesia supaya tunduk pada RRC dan Mafia-mafia Cina…! Dari sisi Sosial dan ekonomi sudah selesai. Tinggal sisi politiknya beberapa langkah lagi!

Bagi Jokowi, HRS bisa menjadi salah satu batu sandungan. Tentu batu sandungan lain adalah mereka yang menolak rekonsiliasi. Yaitu mereka yang merindukan cita-cita kemerdekaan, Indonesia yang adil dan makmur, bebas dari segala bentuk penjajahan, sejahtera lahir dan batin, berkelanjutan, serta sejajar dan terhormat di antara bangsa-bangsa di dunia.

Maka sangat mungkin yang meminta rekonsiliasi adalah justru rezim sendiri, dan mereka yang mempunyai pandangan sama terhadap 2019! Siapa saja mereka? Cukup banyak, yaitu para pemain yg mau berjudi memenangi Pilpres. Prabowo Subianto pastilah salah satunya, demi membayar kekalahannya di 2014. Tapi Bowo bukan satu-satunya. Termasuk juga Cawapres-cawapres. Sebutlah LBP, Hendropriono, Gatot Nurmantio, dan lain-lain.

Ada lagi yang butuh rekonsiliasi. Anies Baswedan, yang Oktober 2017 nanti dilantik menjadi Gubernur DKI Jaya; tentu mikir-mikir, kalau Jokowi masih menjadi presiden dan bosnya. Kalau bukan Jokowi, tidak soal. Tapi kalau Jokowi, maka dia pun sebagai Gubernur harus berbaik-baik.

Ada satu sosok lagi, Amien Rais, yang tidak mau mundur dari Amandemen UUD’45. Artinya, Amien pun merasa lega dan puas, kalau rekonsiliasi yang menolak kembali ke UUD 45 Asli bisa tercapai. Siapa pun yang menjadi presiden tidak soal baginya, mau Jawa, Cina, atau Arab. NKRI hilang dari peta bumi pun gak jadi soal!

Dari menengok HRS di Saudi, mereka bertiga membawa bisikan rekonsiliasi. Yusril Ihza Mahendra yang konon mendapat amanat rekonsiliasi pun punya kepentingan. Siapa tahu PBB dan dirinya bisa muncul lagi di medan politik! Dan menjadi salahsatu Capres atau Cawapres. [mc]

*Sri Bintang Pamungkas, mantan politisi, Akademisi Universitas Indonesia.