Kisah Seorang Mu’allaf Tionghoa (Bagian 14)

Nusantarakini.com, Yogyakarta

MENGETUK PINTU HIDAYAH (14)
MENAPAK LANGKAH KE PONDOK KRAPYAK

Setelah tiga hari dilanda kesedihan, rasa putus asa, kekecewaan, membuat saya seperti stres mengurung diri di kamar. Termenung memikirkan hasil kerja keras 2 (dua) tahun yang ditumpuk di usaha kayu tebangan liar akan hilang lenyap begitu saja.

Hari ke-4 saya seakan tersadar dalam mimpi. Kalau saya terus seperti ini pasti akan jatuh sakit. Kalau sakit yang mengurusi tidak ada, karena teman-teman ada di seberang sungai. Pikiran seperti itu merupakan titik balik, yang menimbulkan semangat perjuangan.

Saya harus berusaha tegar dan nekad. Besoknya saya nekad menemui Kapolres minta belas kasihan agar melepaskan kayu saya yang disita. Beliau bilang itu wewenang bapak Bupati, demikian juga Dandim yang saya temui juga berkata seperti itu.

Akhirnya saya berangkat menemui Bapak Bupati (waktu itu menemui pejabat masih mudah termasuk menemui Bupati). Saya pernah diperkenalkan dengan beliau sebagai seorang muallaf dalam beberapa pengajian. Ketika saya menyampaikan maksud dan tujuan saya menghadap beliau tidak lain adalah mengharapkan belas kasihan beliau untuk melepaskan kayu saya yang disita, karena itu untuk biaya saya belajar di pondok pesantren. Beliau bilang, “Aneh, mestinya kamu sembunyi karena termasuk koordinator tebangan liar, kok ini malah menampakkan diri?”  (memang teman-teman koordinator tebangan liar pada sembunyi takut masuk penjara).

Mungkin melihat saya yang nekad menghadap beliau, akhirnya beliau terenyuh juga, bukan hanya mengembalikan kayu silakan, tapi berjanji akan membantu selama saya mondok di Pondok Pesantren. Pak Sekda dipanggil untuk diminta membuatkan surat bantuan Rp. 50.000,- / bulan dan biaya Rp.300.000,00 untuk berangkat ke Pondok di Pulau Jawa.

Alhamdulillah saya mencium tangan beliau dengan mengucapkan terima kasih yang tak terhingga. Selang seminggu kemudian saya sudah mengemasi semua barang-barang yang ringan seperti buku-buku yang saya beli selama ini, dan menjual semua barang-barang yang berat seperti klotok (kapal kecil), mesin-mesin, dan tali rakit yang mahal.

Saya ingin tutup buku sebagai salah satu pengusaha tebangan liar untuk menapak tilas menuju kehidupan yang baru, belajar ilmu di Pondok Pesantren di Pulau Jawa.

Ketika Pesawat Deraya mengangkasa mengantarkan saya ke Kota Pontianak untuk pamitan dengan Bapakku, meninggalkan sejuta kenangan penuh suka duka selama 7 tahun lebih. Kota yang mengantarkan saya mendapatkan seberkas cahaya Ilahi. Kota yang tak akan pernah kulupakan. Kota yang mendidik jiwaku menjadi matang dalam menghadapi berbagai ujian hidup.

Ketika saya bersimpuh dihadapan bapakku meminta restu utk belajar di Pondok Pesantren, beliau hanya berpesan, “Sekali berjuang harus sampai berhasil…”

Dan di kemudian hari,  empat tahun setelah mondok beliau punya kebanggaan ketika temannya, Suhu Khun Kian/ Suhu AFAT tahu saya pulang menjenguk. Beliau ingin ketemu, penasaran. Kebetulan waktu itu saya sholat dzuhur dilanjutkan dengan wiridz. Beliau mengaku begitu masuk rumah kepalanya berat dan sakit seperti mau pecah. Begitu ketemu dan salaman dengan saya, beliau merasa sakit tersebut hilang tak berbekas, sehingga mengatakan sama bapakku bahwa anakmu sudah “jadi”, powernya besar sekali, padahal saya sama sekali tidak tahu.

Perkataan itulah yang membuat bapakku bangga atas keberhasilanku yang baru mondok empat tahun. Setelah kapal menyandarkan di Tanjung Priuk, saya langsung menuju ke Stasiun Gambir, naik kereta api menuju Yogyakarta dengan berbekal surat rekomendasi dari MUI Pangkalan Bun dan berbekal dengan kemauan yang keras, bahkan cenderung nekad.

Suara bunyi kereta api yang menuju Yogyakarta berpacu dengan detak jantungku yang tegang….

Bersambung ke episode terakhir…..

Selengkapnya

  1. Kisah Muallaf bagian 1
  2. Kisah Muallaf bagian 2
  3. Kisah Muallaf bagian 3
  4. Kisah Muallaf bagian 4
  5. Kisah Muallaf bagian 5
  6. Kisah Muallaf bagian 6
  7. Kisah Muallaf bagian 7
  8. Kisah Muallaf bagian 8
  9. Kisah Muallaf bagian 9
  10. Kisah Muallaf bagian 10
  11. Kisah Muallaf bagian 11
  12. Kisah Muallaf bagian 12
  13. Kisah Muallaf bagian 13
  14. Kisah Muallaf bagian 14
  15. Kisah Muallaf bagian 15

*Ustadz Abdul Hadi (Lay Fong Fie), Pakar Pengobatan Tradisional dan Ahli Spiritual, Pendiri Perguruan Tenaga Dalam “Hikmah Sejati”, Yogyakarta. [mrm]